Advertisement

Duh .. Risiko Gejolak Rupiah Diprediksi Terjadi hingga 2020

Hadijah Alaydrus & John Oktaveri
Kamis, 20 September 2018 - 10:30 WIB
Mediani Dyah Natalia
Duh .. Risiko Gejolak Rupiah Diprediksi Terjadi hingga 2020 Ilustrasi. - Bisnis Indonesia/Dwi Prasetya

Advertisement

Harianjogja.com, JAKARTA—Gejolak nilai tukar rupiah diperkirakan hingga 2020. Situasi ini terjadi seiring dengan meredanya pengetatan suku bunga Amerika Serikat (AS) pada 2020.

Direktur Eksekutif Departemen Internasional Bank Indonesia (BI) Doddy Zulverdi menuturkan bank sentral AS, Federal Reserve, masih berencana menaikkan suku bunga sampai dengan 2020. Namun, dia meyakini kenaikannya akan melambat pada 2019 dan 2020.

Advertisement

Selain itu, Federal Reserve (the Fed) berjanji normalisasi neraca asetnya (balance sheet) yang akan dilakukan dengan sangat terukur. "Artinya dengan normalisasi terukur dan kenaikan subung tidak seperti sebelumnya, kita berharap sampai dengan 2020 tekanan sudah mulai berkruang," ungkap Doddy, Rabu (19/8).

Dengan komunikasi transparan dan lebih mudah diprediksi, serta pasar keuangan yang bisa mengantisipasi, Doddy yakin gejolak di pasar keuangan bisa mereda atau tidak seperti di awal tahun ini. "Karena tekanan masih ada sampai 2020, kita harus perbaiki dengan transaksi berjalan," tegas Doddy.

Pasalnya, risiko tetap ada selama negara ini masih dalam posisi nett demand terhadap dolar. Oleh karena itu, dia menilai kuncinya ada di upaya mengurangi ketergantungan terhadap dolar AS. Dalam kondisi saat ini, dia menuturkan depresiasi adalah hal yang niscaya bisa terus terjadi selama neraca pembayaran di dalam negeru masih defisit.

"Kalau current account kita surplus, itu bisa terapresiasi nilai tukar, tetapi selama masih defisit, itu masih akan depresiasi."

Menurutnya, hal yang patut diawasi adalah seberapa cepat depresiasi itu. Jika depresiasi masih sekitar 3%, tingkatnya masih normal. Apabila depresiasi nilai tukar sampai 40% seperti Turki, itu baru bahaya. "Jadi sampai kapan depresiasinya? Ya, yang terpenting depresiasinya stabil dan sama dengan kebanyakan negara lain," ujar Doddy.

Lebih lanjut, dia percaya kondisi volatilitas rupiah akibat asset rebalancing tidak akan berujung ke arah siklus krisis 10 tahun. Dia menghimbau agar semua pihak tidak sebatas melihat level rupiah yang dikatakan bisa tembus Rp15.000 per US$1. Kondisi saat ini, kata Doddy, jauh berbeda dibandingkan krisis 1998. Indikator ekonomi, salah satunya inflasi, sudah jauh lebih baik.

Hasil Banggar

Badan Anggaran (Banggar) DPR menyepakati angka pertumbuhan ekonomi 5,3% dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2019. Patokan angka tersebut dinilai paling rasional dengan mempertimbangkan perkembangan ekonomi nasional dan kemungkinan gejolak global.

“Kami memutuskan asumsi makro. Pertumbuhan ekonomi pada 2019 dipatok 5,3 persen,” ujar Wakil Ketua Banggar Jazilul Fawaid di sela-sela rapat kerja dengan pemerintah di Gedung DPR, Rabu.

Meski banyak kalangan yang pesimis dengan angka pertumbuhan itu, tetapi pemerintah tetap yakin dengan proyeksinya. Angka pertumbuhan ekonomi itu, lanjut politikus PKB itu, akan mengurangi jumlah pengangguran dan kemiskinan. Bila dulu angka kemiskinan masih dua digit, kini diupayakan satu digit saja, yaitu 8%-9%. “Dengan pertumbuhan 5,3 persen ada yang pesimis dengan angka itu. Tetapi pemerintah tetap yakin dan optimis tahun depan di 2019, pertumbuhan 5,3 persen akan diupayakan. Artinya, akan mengurangi pula jumlah pengangguran dan kemiskinan,” ujarnya.

Hal menarik adalah ketika pemerintah mematok kurs rupiah menjadi Rp 14.500 per US$1 pada asumsi makro RAPBN 2019. Sebelumnya, Komisi XI DPR menetapkan Rp14.400. Penetapan kurs rupiah ini, kata Jazilul, setelah melewati diskusi panjang antara pemerintah dan Banggar.

“Terbukti, beberapa tahun lalu, rupiah selalu di atas melampaui yang diputuskan. Kami berasumsi Rp14.500 itu angka yang rasional, melihat perkembangan ekonomi dan penguatan ekonomi global, termasuk penguatan dolar. Ini didasarkan dari hal-hal yang rasional saja,” ujarnya.

Pad bagian lain, Banggar juga sudah menetapkan ICP US$70 [Rp1,04 juta] per barel dan lifting migas 775.000 barel per hari. Sebelumnya, dalam RAPBN 2019, lifting migas 750.000 barel per hari. Banggar masih terus menggelar rapat dengan pemerintah membahas asumsi dasar makro untuk merumuskan RUU APBN 2019.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : Bisnis Indonesia

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Puluhan Kilogram Bahan Baku Petasan Disita Polres Bantul

Bantul
| Kamis, 28 Maret 2024, 21:27 WIB

Advertisement

alt

Mengenal Pendopo Agung Kedhaton Ambarrukmo, Kediaman Sultan Hamengku Buwono VII

Wisata
| Senin, 25 Maret 2024, 20:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement