Advertisement

Ingin Melestarikan Tradisi Musyawarah, Belajarlah dari Sejarah Majapahit

Sunartono
Minggu, 02 September 2018 - 08:50 WIB
Bhekti Suryani
Ingin Melestarikan Tradisi Musyawarah, Belajarlah dari Sejarah Majapahit Para narasumber menyampaikan materi dalam diskusi kebangsaan bertajuk Kemerdekaan Demokrasi dan Pancasila, Membudayakan Musyawarah Mufakat di Resto Cangkir 6, Bintaran, Mergangsan, Kota Jogja, Sabtu (1/9/2018). - Harian Jogja/Sunartono

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJA - Musyawarah untuk mencapai mufakat harus terus diberdayakan di tengah masyarakat. Sejarah mencatat metode musyawarah mufakat telah digunakan para pendiri bangsa dalam menentukan dasar negara.

Hal itu dibahas dalam diskusi kebangsaan bertajuk Kemerdekaan Demokrasi dan Pancasila, Membudayakan Musyawarah Mufakat di Resto Cangkir 6, Bintaran, Mergangsan, Kota Jogja, Sabtu (1/9/2018).

Advertisement

Ketua Dewan Kebudayaan DIY Djoko Dwiyanto dalam diskusi itu mengatakan mulai dari masa Kerajaan Mataram Jawa Tengah sampai Majapahit, peninggalan naskah tertulis sangat banyak sehingga sangat disayangkan jika tidak dikaji sebagai referensi untuk melestarikan musyawarah, karena memiliki nilai sejarah kebangsaan yang besar.

Apalagi dasar negara lebih banyak mengambil inspirasi Majapahit, mulai dari lambang negara, bendera organisasi, birokrasi, sistem pengambilan keputusan, semboyan dan paham toleransi yang sangat mengakar. Frasa semboyan negara ada dalam kitab Sutasoma. Demikian pula persoalan toleransi di Majapahit seperti penegak hukum ditempati dua orang yang memilih keagamaan berbeda yaitu Hindu dan Buddha bisa menjadi referensi.

"Dua-duanya bisa berjalan sangat harmonis, kalau masyarakat memiliki paham hinduisme, kemudian dalam teks naskah wujud toleransi memang sudah mengakar," terangnya, Sabtu.

Dosen Fakultas Filsafat UGM Ahmad Charis Zubair mengatakan musyawarah mufakat era saat ini harus terus diberdayakan di tengah masyarakat. Pada masa lampau, sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) juga melalui musyawarah untuk menentukan bentuk negara. Ada tiga opsi bentuk negara kala itu, yaitu monarki, federal dan negara kesatuan. Saat itu hasilnya mufakat yang memilih monarki sangat kecil, sedangkan yang memilih federal cukup banyak, sementara negara kesatuan jumlah pemilihnya di tengah-tengah kedua pilihan lainnya. Tetapi akhirnya terpilih negara kesatuan melalui musyawarah. "Saat sidang BPUPKI negara yang hendak dibangun adalah negara kesatuan, ini hasil musyawarah," ujarnya.

Ia menambahkan, terkait hukum dasar negara saat itu diusulkan untuk diubah menjadi UUD, karena hukum dasar kala itu tidak tertulis, sementara UUD bisa tertulis. "Bayangkan kalau dulu itu voting menang, kita bisa perang terus karena waktu itu klaimnya adalah Majapahit Raya. Kita bisa menghadapi persoalan rumit keamanan negara, tetapi justru kemudian diputuskan wilayah Hindia Belanda memberikan otoritasnya," katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terbaru

Pemda DIY Perkuat Komitmen Antikorupsi

Pemda DIY Perkuat Komitmen Antikorupsi

Jogjapolitan | 5 hours ago

Advertisement

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

Berita Pilihan

Advertisement

alt

Cabuli Santri, Pengasuh Pesantren Divonis 15 Tahun Penjara dan Denda Rp1 Miliar

News
| Kamis, 18 April 2024, 23:47 WIB

Advertisement

alt

Sambut Lebaran 2024, Taman Pintar Tambah Wahana Baru

Wisata
| Minggu, 07 April 2024, 22:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement