Advertisement

Tantangan Menyejahterakan Anak Sangat Kompleks

Tim Lipsus Harian Jogja
Selasa, 21 Agustus 2018 - 09:25 WIB
Budi Cahyana
Tantangan Menyejahterakan Anak Sangat Kompleks Ilustrasi anak dan orang tua - Reuters

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJA—Target Pemda DIY untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs) empat tahun lagi bakal berat. Tiap kabupaten dan kota punya hambatan besar yang tidak mudah diatasi untuk menciptakan kesejahteraan.

Kepala Unicef Perwakilan Jawa-Bali Arie Rukmantara menyarankan DIY memprioritaskan tujuan-tujuan yang berkaitan dengan kesejahteraan anak seperti pendidikan, kesehatan, air, sanitasi, dan makanan. Menurut dia, ketika anak memperoleh pendidikan, tinggal di tempat aman, dan tumbuh dengan sehat, ekonomi akan tumbuh dan masyarakat bakal makmur.

Advertisement

Namun, upaya mengerek kesejahteraan anak di berbagai daerah terhambat. Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Gunungkidul Sri Suhartanta mengatakan angka kematian ibu hamil masih tinggi. Menurut data Dinas Kesehatan Gunungkidul, pada 2016 ada lima kasus kematian ibu hamil. Lalu pada 2017 meningkat menjadi 12 kasus. Tahun ini Agustus, sudah terjadi lima kasus kematian ibu hamil.

Pengentasan kemiskinan menjadi tantangan berat. Sebab meski perekonomian di Gunungkidul mulai maju karena wisata, angka kemiskinan di kabupaten ini masih sebesar 18,65% pada akhir 2017. Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Gunungkidul menargetkan angka kemiskinan turun menjadi 15% pada 2021. Padahal, SDGs mengharuskan angka kemiskinan 0%.

Sri mengatakan pembenahan sanitasi dan penataan kawasan kumuh menjadi tantangan terberat Pemkab. Musababnya, anggaran untuk merehab rumah belum cukup.

“Kalau hanya dari APBD ada keterbatasan, tetapi kami mengupayakan bantuan dari berbagai sumber termasuk CSR perusahaan,” ujar dia.

Bappeda belum tahu secara pasti jumlah anggaran dari APBD yang akan dikucurkan untuk mencapai SDGs. Menurut dia, Rencana Aksi Daerah (RAD) SDGs 2018-2022 yang sudah diluncurkan Pemda DIY belum merinci ihwal pembiayaan.

Sri mengatakan sejumlah hak dasar anak seperti memperoleh pendidikan, kesehatan anak dan balita, bayi baru lahir, rasa aman dan aspek perlindungan anak dari segala bentuk tindak kekerasan masih menjadi pekerjaan rumah.

“Lingkungan yang ramah terhadap anak juga masih kurang,” kata dia.

Penyebab masalah ini adalah rendahnya akses terhadap layanan kesehatan, kekurangan gizi, kekurangan energi kalori, dan masih adanya penyakit karena faktor lingkungan dan sanitasi.

“Kami membentuk forum penanganan korban tindak kekerasan terhadap anak, program perbaikan gizi anak, pemberian makanan tambahan bagi anak sekolah, dan beasiswa anak keluarga miskin,” ujar Sri.

Berdasarkan data dari Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Gunungkidul, hingga Maret 2018 angka putus sekolah untuk jenjang SD mencapai 3% atau 1.710 dari 57.000 siswa Untuk jenjang SMP juga 3% atau 810 dari 27.000 anak. Adapun di jenjang SMA/SMK mencapai 6% atau 1.620 dari total 27.000 anak.

Kepala Disdikpora Gunungkidul Bahron Rosyid mengatakan tingginya angka putus sekolah ini disebabkan faktor ekonomi. Anak-anak yang mengalami putus sekolah tergolong dalam kategori keluarga kurang mampu. Mereka lebih memilih untuk bekerja dibandingkan sekolah yang membutuhkan banyak biaya.

Stunting

Di Kulonprogo, kesejahteraan anak diadang persoalan stunting (bayi tubuh pendek) dan pernikahan dini. Pemkab Kulonprogo sudah membuat kebijakan untuk mengintervensi 10 desa yang mengalami kasus stunting.

Kepala Seksi Kesehatan Keluarga Dinas Kesehatan Kulonprogo Suhartini mengatakan stunting disebabkan faktor kemiskinan, buruknya sanitasi, dan pola asuh anak yang tidak baik bisa membuat gizi sebuah keluarga bermasalah dan memicu stunting. Pernikahan dini juga memengaruhi stunting karena orang tua belum siap merawat anak sehingga anak menderita malnutrisi akibat pola asuh anak yang kurang tepat.

Tingginya angka pernikahan dini itu terlihat dari banyaknya dispensasi nikah. Pengadilan Agama Wates pada 2018 ini memutuskan 15 dispensasi pernikahan yang melibatkan anak di bawah umur. Sementara Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menerima 22 permintaan dispensasi menikah akibat hamil di luar menikah oleh pasangan di bawah umur.

“Mereka [22 pasangan] keluar dari sekolah,” ujar Kepala Bidang Permpuan dan Anak, Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kulonprogo Woro Kandini.

Minimnya anggaran yang ditujukan untuk program perlindungan anak masih menjadi penghambat SDGs. Bupati Kulonprogo Hasto Wardoyo harus memilah kebijakan pembangunan mana yang harus diutamakan dalam rancangan kerja pemerintah.

“Konsekuensinya, ada organisasi perangkat daerah yang tidak mendapat cukup dana, dan ada program lain yang tidak dimaksimalkan,” kata Hasto.

Kematian Bayi

Di Bantul, angka kematian bayi malah meningkat. Pada 2017 mencapai 108, jumlah ini lebih banyak di banding 2016 lalu yang hanya 94 orang kematian bayi.

Sementara angka kematian ibu memang cenderung menurun pada 2017 dibanding 2016. Tahun lalu ada sembilan ibu yang meninggal, dan 12 orang pada 2016. Penyebab kematian ibu sebagian besar disebabkan rendahnya pengetahuan tentang kehamilan, dan pemilihan fasilitas layanan kesehatan yang kurang tepat.

“Berbagai upaya sudah kami lakukan [untuk mengurangi angka kematian ibu dan bayi],” kata Kepala Seksi Kesehatan Keluarga dan Gizi, Dinas Kesehatan Bantul, Anugrah Wiendyasari, Sabtu (18/8).

Dinas Kesehatan sudah menggratiskan pemeriksaan ibu hamil di puskesmas, serta memberikakan jaminan persalinan, kelas ibu hamil, pendampingan oleh dokter ahli anak, pemeriksaan HIV, hingga peningkatan sumber daya manusia dalam pelayanan ibu hamil, bayi, dan balita

Kepala Dinas Kesehatan Bantul Maya Sintowati mengklaim perkembangan pembangunan kesehatan selama 2017 meningkat. Indikasi yang dia tunjukkan adalah persentase cakupan persalinan yang ditolong tenaga kesehatan secara umum mencapai 99,98%, persentase cakupan KB 75%, cakupan imunisasi lengkap 97,50%, cakupan jaminan kesehatan 94,27%, rumah tangga berperilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) 47,14%, dan dukungan APBD untuk kesehatan sebesar 13,05%.

Namun, SDGs mengharuskan 17 tujuan benar-benar sempurna, yakni masyarakat tanpa kemiskinan; tanpa kelaparan; kesejahteraan yang layak dan kesehatan yang baik; pendidikan berkualitas; kesetaraan gender; air dan sanitasi yang bersih; energi bersih dan terjangkau; pertumbuhan ekonomi dan pekerjaan yang layak; industri, inovasi dan infrastruktur; mengurangi kesenjangan; keberlanjutan kota dan komunitas; konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab; aksi terhadap perubahan iklim; kehidupan bawah laut; kehidupan di darat; perdamaian, peradilan, dan institusi yang kuat; serta kemitraan untuk mencapai tujuan.

Persoalan di Bantul tidak hanya pada kesehatan, tetapi juga administrasi kependudukan. Persoalan ini cenderung lebih gampang diatasi. Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) Bantul Bambang Purwadi Nugroho mengatakan dari 200.000 anak di Bantul, baru 115.000-an yang punya kartu identitas anak (KIA). “Targetnya sampai 2019 semua anak di Bantul sudah memiliki KIA,” kata dia.

Mulai Juli 2017, Disdukcapil aktif pengurusan akta kelahiran untuk anak usia 0 tahun dengan empat produk layanan sekaligus, yakni nomor induk kependudukan (NIK), akta kelahiran, kartu keluarga, dan KIA.

“Pelayanan tersebut hanya membutuhkan waktu 30 menit bagi masyarakat yang mengurus sendiri,” ucap Bambang.

Di kawasan perkotaan, tuberkulosis atau TBC menjadi tantangan utama. Kepala Dinkes Jogja Fita Yulia Kisworini mengatakan memberantasan penyakit ini tidak mudah dan membutuhkan keterlibatan aktif masyarakat.

Menurut catatan Dinkes, penemuan kasus TBC meningkat. Pada tahun lalu, 550 penduduk Kota Jogja diketahui menderita TBC, sedangkan pada 2016, penduduk yang diketahui terserang penyakit ini 400 orang.

“Meski temuan kasus penyakit ini meningkat yang penting penderita ditemukan supaya tidak menularkan penyakit,” ujar Yulia.

Contoh Bagus

Contoh bagus dalam mencapai tujuan-tujuan dalam SDGs diperlihatkan Sleman. Kepala Bidang Kesejahteraan Rakyat dan Pemerintahan Bappeda Sleman Pranama mengklaim permasalahan tentang ibu dan anak di Sleman dapat tertangani dengan baik.

“Tidak ada penghambat untuk mencapai SDGs karena skema program kegiatan sudah terdistribusi dengan merata,” ujar dia.

Pranama mencontohkan akses pelayanan kesehatan, sarana prasarana dan jaringan kader kesehatan untuk menangani berabagi masalah anak dan bayi. Kebutuhan akan administrasi kependudukan juga sudah memiliki akses yang mudah. Salah satunya dalam hal pembuatan akta. Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dispendukcapil) Kabupaten Sleman sudah bekerja sama dengan rumah sakit, bidan, dan klinik bersalin untuk segera memproses pembuatan akta setelah bayi lahir.

Saat ini tingkat kepemilikan akta anak usia 0-18 tahun di Kabupaten Sleman meningkat sejak awal 2017 sampai pertengahan 2018 dari hanya 63% menjadi 87,31% dengan total jumlah anak sebesar 274.129.

“Kendala kami [dalam hal pembuatan akta anak] adalah nama. Ada orang tua yang begitu anaknya lahir belum menyiapkan nama, kalau belum sepasar [lima hari] belum dikasih nama. Jadi kami juga kesulitan di situ. Maunya cepat tapi orang tua masih ragu memberi nama,” tutur Kepala Dispendukcapil Kabupaten Sleman, Jazim Sumirat.

Angka kematian ibu dan anak menunjukkan tren menurun. Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman, jumlah kasus kematian ibu pada 2014 sebanyak 12 kasus, 2015 ada empat, 2016 ada delapan dan pada 2017 ada enam kasus. “Ini menurun sejak kami membuat inovasi Terbitkan Buku Pedoman Manual Rujukan Maternal Neonatal,”kata Kepala Bidang Pelayanan Masyarakat Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman, Wisnu.

Tren kematian bayi juga menurun. Berturut-turut sejak 2014 sampai semester I tahun 2018 adalah 67 kasus, 51, 44, 59, dan 31 kasus.

Gubernur DIY Sri Sultan HB X mengatakan penanganan anak bisa dijabarkan dalam banyak program.

“Bisa kesehatan anak, pendidikan anak juga tidak lepas dari kesejahteraan orang tua, masalah itu harus saling berkait,” kata dia,

Menurut dia, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di DIY sebenarnya lumayan tinggi, tetapi angka putus sekolah masih saja ada.

Berdasarkan data Disdikpora DIY, angka putus sekolah pada tahun ajaran 2017/20218 tercatat 0,11% dari total siswa 158.222 SMA/SMK/MA di DIY sebanyak siswa. Persentase itu menurun dibandingkan 0,14% pada tahun ajaran 2016/2017 dan 0,27% pada 2015/2016 tercatat 0,27%.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Jadwal Bus Damri dari Jogja-Bandara YIA, Bantul, Sleman dan Sekitarnya

Jogja
| Jum'at, 29 Maret 2024, 04:37 WIB

Advertisement

alt

Mengenal Pendopo Agung Kedhaton Ambarrukmo, Kediaman Sultan Hamengku Buwono VII

Wisata
| Senin, 25 Maret 2024, 20:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement