Advertisement

OPINI: Polemik Vaksin, Agama, dan Kesehatan

Winanti Praptiningsih
Sabtu, 11 Agustus 2018 - 07:25 WIB
Budi Cahyana
OPINI: Polemik Vaksin, Agama, dan Kesehatan Ilustrasi vaksin. - Reuters

Advertisement

Polemik isu vaksin kembali mencuat saat Majelis Ulama Indonesia (MUI) menegaskan lembaganya tidak pernah menyatakan vaksin MR halal atau boleh dipergunakan. Kontroversi publik tentang vaksin lagi-lagi menyeruak ke permukaan. Sikap ini tentu membawa wacana yang turut berpengaruh terhadap keberlanjutan program vaksin. Tulisan ini tentu saja tidak berpretensi untuk memasuki wilayah konten vaksin. Tulisan ini hanya mencoba untuk membaca polemik isu tersebut dalam aspek problem mendasar, yakni soal negosiasi otoritas antara institusi kesehatan dan institusi agama dalam sisi yang lain.

Tentu ini bukan fenomena baru. Jauh dalam sejarah perkembangan awal sains kesehatan modern, ketidaksepahaman tersebut seringkali bertemu, beririsan, dan dalam banyak kesempatan bisa bersitegang. Apalagi jika hal tersebut menyangkut isu kesehatan yang menyentuh prinsip-prinsip sensitif kearifan tradisi maupun tafsir keagamaan.

Advertisement

Sekadar mengingat, di pengujung 2017, wabah difteri pernah menggemparkan beberapa wilayah di Indonesia. Data Kementrian Kesehatan RI per Desember 2017 mencatat wabah difteri sudah menyebar di 20 provinsi dan 95 kabupaten kota. Pemerintah cepat merespons dengan menggelar imunisasi massal untuk memutus rantai penyebaran difteri. Dalam momentum itu, polemik vaksin kembali bermunculan. Bahkan, kasus demam tinggi yang pernah dialami putri seorang artis karena terinfeksi virus campak akibat menolak vaksin, mampu menambah panjang daftar polemik.

Mencuatnya kasus vaksin menegaskan kembali irisan polemik soal negosiasi antara bidang kesehatan dan tafsir keagamaan. Tafsir agama seakan-akan turut menentukan jaminan mutu yang sejatinya telah dipercayakan menjadi otoritas sepenuhnya institusi kesehatan. Bahkan, tidak hanya ahli kesehatan anak yang turut angkat bicara terkait sikap anti-vaksin itu. Komunitas agama pun juga akhirnya turun tangan dalam kampanye gerakan provaksin maupun sosialisasi keamanan vaksin untuk menghindari meluasnya polemik.

Klaim Kesehatan

Sejatinya, klaim otoritas kesehatan modern yang dimiliki oleh institusi-institusi kesehatan seperti kedokteran, rumah sakit maupun industri farmasi modern tidak hadir tiba-tiba. Dalam prosesnya, mereka juga harus menemui banyak pergulatan dengan klaim otoritas lain seperti kebudayaan dan kearifan adat ataupun otoritas keagamaan. Contoh yang masih tersisa hari ini adalah polemik pengobatan tradisional yang bersinggungan dengan pengobatan modern. Dua dimensi itu acapkali masih terus saling berkontestasi.

Fenomena polemik vaksin yang muncul adalah sisa wajah lama dari mencuatnya kembali kontestasi dan negosiasi antara dunia pengobatan modern dengan tafsir keagamaan. Pilihan untuk menggunakan atau tidak mengonsumsi pengobatan modern kini telah menghadapi legitimasi ataupun sekaligus delegitimasi dengan wacana keagamaan.

Seperti halnya perdebatan kencing unta yang viral di media sosial beberapa waktu lalu bisa menjadi bagian potret kecil praktik wacana. Bahkan, menilik sejarah masa lalu di era Orde Baru, program Keluarga Berencana (KB) juga mengalami polemik keras sejak wacana tersebut digulirkan. Polemik yang muncul akibat ketidaksepahaman KB, vaksin dan juga soal urine unta bisa menjadi contoh konkret upaya wacana dalam perebutan ruang hegemoni klinis kesehatan yang selama ini seolah-olah telah menjadi klaim otoritas kesehatan dan kedokteran modern.

Dialog

Untuk menjawab persoalan ini, sudah saatnya agama dan sains kesehatan modern perlu membangun dialog produktif untuk memecahkan polemik sekaligus problem sosial yang ada. Dialog ini diharapkan mampu mengurai kebuntuan-kebuntuan yang sering muncul menyangkut isu sains modern yang acapkali cukup sensitif terhadap nilai-nilai kepercayaan agama.

Pertama, peran komunitas agama untuk terlibat aktif dalam mendukung perkembangan sains modern seperti isu kesehatan, harus dibangun secara lebih bijak dengan pola pendekatan yang lebih produktif, positif, dan ilmiah. Kedua, pemerintah juga harus membangun model sosialisasi dan pendidikan isu kesehatan yang lebih bisa menjangkau dan memecahkan problem krusial. Hal ini terutama dengan berkembangnya pola politisasi isu-isu agama yang mengintervensi wacana-wacana sains kesehatan saat ini. Ketiga, pola pendidikan dan diseminasi isu kesehatan harus lebih terbuka pada penghargaan atas berbagai kemungkinan penemuan-penemuan alternatif kesehatan yang datang dari berbagai kearifan dan kepercayaan lokal.

Prinsipnya, sains modern juga harus menghindari perilaku dan nalar pemutlakan kebenaran bagi penyelesaian isu-isu kesehatan masyarakat. Bukankah penelitian ilmiah kesehatan juga merupakan sebuah proses long life learning? Artinya, seperti wacana-wacana berbeda yang datang dari kearifan lokal, keagamaan ataupun diskursus sosial yang lain harus ditempatkan secara arif sebagai medan wacana yang bisa memberi masukan. Ia tidak harus dibaca kaku sebagai intervensi atas otoritas.

Kehadiran wacana lain bisa menjadi mitra dalam pelaksanaan program kesehatan lebih besar. Penyertaan lintas disiplin nilai, wacana, dan juga keilmuan yang beragam justru akan mengembangkan setiap program kesehatan yang tidak hanya bersifat mekanis, tetapi bisa berorientasi dalam cakupan multidimensi sosial yang lebih luas. Bukankah keterbukaan atas pengetahuan akan membuka cakrawala perkembangan peradaban?

*Peneliti & praktisi humas Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan UGM.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Gunakan Drone, Pencarian Bocah Tenggelam di Sungai Oya Wonosari Terkendala Arus Deras

Gunungkidul
| Jum'at, 29 Maret 2024, 13:37 WIB

Advertisement

alt

Rela, Ungkapan Some Island tentang Kelam, Ikhlas dan Perpisahan

Hiburan
| Jum'at, 29 Maret 2024, 09:07 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement