Advertisement
Bisnis Spa Dikenai Kenaikan Pajak Hiburan, YLKI: Masa Mau Sehat Kudu Bayar Mahal?
Advertisement
Harianjogja.com, JAKARTA—Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) angkat suara ihwal kenaikan besaran pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) atas jasa hiburan.
Ketua Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi menilai besaran pajak hiburan yang ditetapkan pemerintah terlalu tinggi. Dia mengusulkan agar kenaikan pajak merujuk pada besaran angka inflasi di masing-masing daerah. “Paling tidak kenaikannya merujuk pada besaran angka inflasi di masing-masing kota/kabupaten,” kata Tulus, Selasa (16/1).
Advertisement
Dia juga mengkritisi soal usaha spa yang dikenakan pajak hiburan. Menurut dia, usaha spa tidak pantas dikenakan pajak yang besar.
Merujuk pada UU No.1/2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, usaha spa masuk dalam kategori jasa kesenian dan hiburan.
Tarif Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) atas jasa hiburan pada diskotik, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap atau spa, ditetapkan paling rendah 40% dan paling tinggi 75%. “Masa orang mau sehat dikenakan pajak tinggi,” ujarnya.
Di sisi lain, dia berharap pemerintah dapat menunda pemberlakuan pajak hiburan ini mengingat kondisi ekonomi nasional yang belum pulih pasca dihantam pandemi Covid-19. Selain itu, pemerintah diminta untuk menjelaskan secara adil dan transparan alasan ditetapkannya pajak maksimal 75% untuk jasa hiburan. “Apakah ini murni untuk pendapatan [negara] atau tujuan lain,” ucap dia.
Keputusan pemerintah menetapkan pajak hiburan maksimal 75% mendapat penolakan dari sejumlah pelaku usaha industri jasa hiburan.
Ketua Asosiasi Spa Terapis Indonesia (Asti), Mohammad Asyhadi mengatakan, kenaikan pajak hiburan berpotensi mematikan usaha SPA di seluruh Indonesia, lantaran harga jasa spa otomatis naik sehingga menurunkan minat masyarakat melakukan terapi kesehatan di spa.
BACA JUGA: Ekonom Sebut Kenaikan Pajak Hiburan Bisa Berujung pada PHK
Pelaku usaha juga akan semakin terbebani dengan pajak yang besar karena selain pajak PBJT 40%, pelaku usaha juga tetap membayar pajak PPN sebesar 11%, pajak penghasilan badan (PPh) 25%, PPh pribadi selaku pengusaha sebesar 5%-35%, tergantung penghasilan kena pajak (PKP).
Lantaran dalam penyusunannya pemerintah tak melibatkan para pelaku usaha dan dinilai bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945, Asti telah mengajukan judicial review atau pengujian yudisial ke Mahkamah Konstitusi.
“Kami sepakat untuk melakukan judicial review sehingga pada 3 Januari kami ke MK, kemudian diterima secara resmi itu 5 Januari 2024,” kata Didi dalam konferensi pers di Taman Sari Royal Heritage Spa, Kamis (11/1/2024).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber : JIBI/Bisnis.com
Berita Lainnya
Berita Pilihan
- Kunjungi Washington DC, Ini Oleh-Oleh yang Dibawa Menkeu untuk Indonesia
- BI Rate Naik, Ekonom Berharap Bunga KUR Tak Ikut Naik
- Proyek Kereta Cepat Jakarta-Surabaya, Luhut Bentuk Tim Khusus
- Airlangga Nilai Nilai Tukar Rupiah Lebih Baik Dibandingkan Negara Lain
- Nilai Tukar Rupiah Remuk Akibat Konflik Iran-Israel, Ini Proyeksi Ekonom
Advertisement
Advertisement
Sandiaga Tawarkan Ritual Melukat ke Peserta World Water Forum di Bali
Advertisement
Berita Populer
- UMKM DIY Bisa Manfaatkan Securities Crowdfunding Sebagai Alternatif Pendanaan Selain Perbankan
- Kadin DIY Optimis Ekonomi Masih Stabil di Tengah Pelemahan Rupiah
- Digitalisasi Keuangan Daerah, BPD DIY Dukung Penuh Pemkot Jogja
- Journalist Competition Astra Motor Yogyakarta Kembali Digelar
- Tok TikTok Dilarang di AS! CEO Shou Zi Chew Bakal melawan UU Pelarangan
- Pertegas Brand Identity, GAIA Cosmo Kembali Luncurkan Seragam Baru
- Kemenkeu Sebut Sejak Awal Mendesain Defisit APBN, tetapi Semua Tetap Terjaga dalam Sasaran
Advertisement
Advertisement