Advertisement

Kelompok Wanita Tani Mentari Sleman, Pemberdayaan Ekonomi Bermula dari Hobi

Sirojul Khafid
Kamis, 28 Maret 2024 - 10:17 WIB
Ujang Hasanudin
Kelompok Wanita Tani Mentari Sleman, Pemberdayaan Ekonomi Bermula dari Hobi Kegiatan para anggota KWT Mentari di Karangploso Rukun Warga 60, Maguwoharjo, Depok, Sleman. - Ist/KWT Mentari

Advertisement

Harianjogja.com, SLEMAN—Mengerjakan yang kamu cintai. Prinsip ini yang Kelompok Wanita Tani (KWT) Mentari terapkan dalam mengembangkan pertanian kota. Berawal dari bertani dengan cinta, kini hasilnya lebih dari yang terduga.

Dusun Karangploso, Maguwoharjo, Depok, Sleman hanya berjarak dua kilometer dari jalan provinsi yang memutari Kota Jogja atau ringroad. Dari lokasi dan juga tingkat keramaian, wilayah itu bisa disebut sebagai pinggiran kota.

Advertisement

Masih ada beberapa titik dengan hamparan sawah di sekitar Karangploso. Namun jika dibandingkan beberapa puluh tahun lalu, lahan persawahan sudah banyak beralih fungsi menjadi permukiman. Termasuk warga di perumahan Karangploso, sekarang tidak banyak yang memiliki lahan sawah.

Meski tidak memiliki sawah, bukan berarti tidak ada pemandangan hijaunya daun-daun dari berbagai jenis sayuran. Ibu-ibu di Karangploso cukup gemar berkebun. Salah satu warga Karangploso, Sri Harnani, mengatakan bahwa berkebun menjadi hobi ibu-ibu di sekitar rumahnya. Kegiatan itu mereka lakukan di sela-sela aktivitas sebagai ibu rumah tangga, pengusaha katering, pensiunan, hingga penulis lepas.

“Dari kesamaan hobi dalam bercocok tanam, akhirnya kami membuat kelompok wanita tani. Awal terbentuk ada 10 ibu-ibu,” kata Harnani, saat dihubungi secara daring, Jumat (22/3/2024).

Dalam obrolan yang lebih intens, ternyata kesamaan para perempuan ini tidak hanya dalam bercocok tanam. Mereka juga punya kesamaan tekad untuk memberikan sumbangsih bagi masyarakat sekitar. Mereka ingin memberdayakan masyarakat untuk meningkatkan taraf ekonominya. Salah satunya menggunakan jalur hobi. Lakukan apa yang kamu cintai, begitu kira-kira pedoman kelompok yang kemudian bernama Kelompok Wanita Tani (KWT) Mentari.

BACA JUGA: KWT Bantu Wujudkan Ketahanan Pangan di Sleman

Saat terbentuk pada 28 November 2018, mereka belum punya lahan bersama. Meski sebelumnya masing-masing menanam sayuran, namun tidak ada rumah yang halamannya cukup lapang untuk budidaya dalam skala yang lebih besar. Setelah mencari-cari, ternyata ada lahan kosong di kompleks gereja Karangploso yang tidak terpakai.

“Kami diizinkan menanam di situ. Pertama kali menanam kangkung dan bayam. Ternyata hasil panennya bagus,” kata Harnani yang juga Ketua KWT Mentari. “Hasil panen pertama dijual ke internal anggota dengan harga murah. Yang penting bisa untuk beli benih sayuran kembali.”

Panen pertama tentu membahagiakan para anggota. Meski kebahagiaan itu tidak bisa terulang sempurna pada panen ke-2 dan ke-3. Meski sayuran bisa tumbuh, namun hasilnya tidak sebanyak panen pertama. Momen ini kemudian membuka mata anggota KWT Mentari akan unsur hara dalam tanah yang berkurang seiring waktu. Mereka belum banyak ilmu mengolah tanah sebagai media tanam.

Haus Akan Ilmu

Kurang maksimalnya panen membuat KWT Mentari merasa perlu meng-upgrade ilmu pertanian. Mereka mengakses pelatihan dari berbagai sumber, termasuk dari pemerintah daerah. Fokusnya pada pertanian perkotaan. Pelatihan ini semakin membuka potensi pertanian perkotaan. Tidak sebatas pada menanam dan memanen, petani-petani kota juga sangat memungkinkan untuk mengolah hasil panennya menjadi produk lainnya.

Lahan kosong di gereja kembali mendapat benih-benih sayuran. Para anggota KWT Mentari menanam sayuran seperti selada, bayam, buncis, kangkung, timun, dan lainnya. Penambahan ilmu dalam teknik bercocok tanam ternyata berbuah manis dalam panen terbaru kelompok ini. Tidak hanya untuk internal anggota, panen juga dipasarkan ke eksternal kelompok.

“Setiap hari Minggu kami menjual hasil budidaya di kantin gereja, para jemaat gereja banyak yang membeli. Sehingga menjadi salah satu sumber pemasukan rutin kami. Respon dari umat rata-rata positif karena bisa membeli sayuran segar dan bebas pestisida dengan harga yang terjangkau,” kata Harnani.

BACA JUGA: Kelompok Wanita Tani Jadi Penyanggah Pertanian di Sleman

Harga sayuran berkisar antara Rp12.000 sampai Rp30.000 per kilogram. Untuk jumlah panen perbulannya tidak tetap. Omzet penjualan produk sayur per bulan rata-rata Rp3 juta hingga Rp5 juta.

Dalam merawat sayurannya, KWT Mentari menggunakan pestisida alami. Teknik menanam juga semakin beragam, mulai dari sistem hidroponik NFT, aquaponik, dan sistem irigasi tetes. Hasil panen kemudian semakin terolah menjadi produk seperti tepung mocaf (tepung singkong), eggroll mocaf, bumbu pecel, keripik bayam brazil, stik bayam brazil, teh mint, dan minuman Seruni (serai jeruk nipis). Ada produk yang murni berasal dari hasil panen, ada yang dikombinasikan dengan produk di luar kebun mereka.

Memasuki tahun 2021, KWT Mentari mengajukan proposal untuk pengembangan kelompok dan kegiatannya. Mereka mengirimkan proposal ke Bank Rakyat Indonesia (BRI) untuk mengakses program corporate social responsibility (CSR) dengan kriteria urban farming. Beruntungnya, proposal KWT Mentari lolos dan memenuhi kriteria pemberdayaan melalui CSR.

BRI kemudian memberikan dana untuk pembuatan fasilitas seperti greenhouse, kolam ikan, aquaponik, sistem irigasi tetes, sampai bantuan bibit tanaman obat keluarga. Adapula pemberian peralatan penunjang produksi seperti vacuum sealer, peniris minyak, alat suling sederhana, dan lain-lain.

“Bantuan bila dirupiahkan mencapai Rp250 jutaan. Sedikit cerita, CSR pertama tema urban farming, [KWT Mentari] menjadi wakil DIY yang menerima CSR berupa greenhouse, hidroponik, dan aquaponik. Se-Indonesia ada 18 penerima CSR,” kata Harnani. “Setahun kemudian dipilih lima kelompok yang konsisten menjalankan urban farming. KWT Mentari menjadi salah satu yang menerima CSR tema tanaman obat keluarga.”

Melalui program CSR, BRI berupaya ikut andil dalam mengembangkan perekonomian masyarakat. Regional Chief Executive Officer (RCEO) BRI Jogja, John Sarjono, mengatakan sebagai bank yang memiliki fokus kepada segmen usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), peran BRI tidak terbatas sebagai lembaga intermediary keuangan.

BACA JUGA: KWT dan Petani Milenial di Sleman Didorong Kembangkan Urban Farming

“Untuk mendukung stabilitas ekonomi serta keberlanjutan usaha para pelaku UMKM, maka BRI memberdayakan perekonomian baik kepada individu pelaku usaha maupun kelompok. BRI Regional Office (RO) Jogja selalu berkomitmen untuk mendukung program pemerintah,” kata Sarjono, dalam keterangan tertulisnya, Rabu (21/3/2024).

Tidak hanya dari CSR, upaya meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat juga bisa melalui program Kredit Usaha Rakyat (KUR) BRI. Pada 2023, BRI RO Jogja yang mencakup wilayah DIY dan sebagian Jawa Tengah telah menyalurkan KUR sebanyak Rp18,45 triliun dengan total 432.452 debitur. Di samping itu, ada pula penyaluran KUR Mikro sebanyak Rp16,46 triliun dengan total 424.919 debitur serta KUR Kecil sebanyak Rp1,98 triliun dengan total 7.533 debitur.

Dari total KUR di BRI RO Jogja 2023, penyaluran di sektor perdagangan sebanyak 42,2%. Sementara di sektor jasa sebanyak 23,6%, sektor pertanian 21,0%, sektor industri pengolahan 11,7%, dan sektor perikanan 1,6%. “UKM yang mendapat kredit KUR cenderung semakin maju dengan kesempatan nasabah untuk bisa naik kelas. Dari kredit KUR Supermikro ke Kredit KUR Mikro, dan Kredit KUR Mikro bisa naik kelas ke Kredit KUR Kecil. Sehingga nasabah dapat terus membangun usahanya untuk berkembang lebih maju. Dan BRI senantiasa siap untuk mendukung pertumbuhan nasabah UKM,” katanya.

Mandiri Selama Pandemi

Semakin ditimba, ilmu justru semakin dalam. Seakan tidak ada habisnya. Setelah belajar banyak tentang budidaya sayuran, para anggota KWT Mentari menekuni perihal jamu. Mereka belajar dari para suster di Biara Syantikara, yang berlokasi di Samirono, Karang Malang, Caturtunggal, Depok, Sleman.

Pelatihan pada 2019 itu semakin mengembangkan variasi tanaman di KWT Mentari. Resep dan proses produksi yang mereka pelajari dari para suster dikembangkan lagi. Produknya berupa jamu instan. Ada tiga varian yaitu empon bubuk, jahe bubuk, dan kunyit bubuk.

“Produk jamu bubuk kami sudah dicampur gula, sehingga langsung dapat dinikmati setelah diseduh,” kata Harnani.

Harga jahe bubuk dan empon-empon bubuk kemasan ukuran 125 gram senilai Rp17.000. Produk yang sama dengan kemasan 250 gram harganya Rp30.000. Sementara untuk harga kunyit bubuk kemasan 125 gram sebesar Rp15.000, dan ukuran 250 gram senilai Rp25.000.

Produk jamu instan milik KWT Mentari seakan mendapat jodohnya saat ada pandemi Covid-19. Kala itu, pemerintah menyarankan masyarakat untuk banyak mengonsumsi makanan sehat, termasuk jamu. “Sewaktu pandemi setiap hari kami bisa tiga kali produksi, hasilnya sekitar 12,5 kilogram jamu bubuk,” katanya. “Jualan jamu selama pandemi bisa membantu ekonomi para anggota. Efek pandemi tidak begitu terasa [secara ekonomi], ada penghasilan dari penjualan jamu.”

Waktunya Berbagi Ilmu

Ada saatnya belajar, ada pula waktunya mengajar. Keilmuan para anggota KWT Mentari yang berpadu antara teori dan praktik sejak 2018 menjadi ruang belajar banyak orang. Banyak individu atau kelompok yang datang atau mengundang KWT Mentari. Mereka banyak berbagi tentang ilmu pertanian kota, pengolahan pangan lokal, pelatihan meningkatkan kesejahteraan anggota, sampai konsultasi mengenai pembangunan instalasi hidroponik.

Pada tahun 2022, KWT Mentari dipercaya BRI dan Dharma Wanita Persatuan atau Ikatan Istri Pimpinan (IIP) Kementerian BUMN, untuk berbagi ilmu pertanian kota serta mendampingi para petani di KWT Kartini Bendhung Lepen, Giwangan, Jogja. Di samping itu, banyak juga yang datang ke KWT Mentari dari kalangan kampus, seperti Universitas Gadjah Mada, Universitas Sarjanawiyata Taman Siswa, UPN Veteran, UIN Sunan Kalijaga, hingga Universitas Atma Jaya Jogja.

Di sela-sela berbagi ilmu, KWT Mentari tetap konsisten dengan tujuan awalnya, sebagai penghobi pertanian. Menanam sayuran tetap menjadi kegiatan favorit. Namun berbeda dengan awal-awal berdiri yang lebih banyak murni secara sukarela, kini setiap anggota yang datang dan mengurus pertanian, akan menerima upah.

Sekali datang, masing-masing mendapat uang saku antara Rp50.000. “Anggota yang terlibat dalam kegiatan produksi dan budidaya mendapatkan insentif atau apresiasi untuk jasa mereka. Jumlahnya tidak besar, belum dapat dikatakan menjadi mata pencaharian, namun lumayan untuk menambah uang belanja,” kata Harnani.

BACA JUGA: Kejar Panen 3 Kali Setahun, Petani di Prambanan Mulai Tanam Musim Kedua

Kegiatan ini membuat bantuan dari BRI berupa greenhouse tidak pernah sepi dari warna hijau sayuran. Setidaknya kini ada 26 orang anggota, dari yang awalnya hanya 10 orang. Usia anggota termuda 40 tahun dan tertua umur 75 tahun. Kini mereka sedang senang-senang dalam mengurus kebun baru, yang diperuntukkan untuk budidaya melon.

“Tantangan menjalankan pertanian kota itu memotivasi anggota untuk terus konsisten berkegiatan. Semoga KWT Mentari dapat bertahan dan terus berkembang mencapai visi misinya, untuk menyejahterakan masyarakat sekitar,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Menhub Budi Karya Ajak Masyarakat Manfaatkan Kereta Bandara YIA

Jogja
| Sabtu, 27 April 2024, 12:27 WIB

Advertisement

alt

Sandiaga Tawarkan Ritual Melukat ke Peserta World Water Forum di Bali

Wisata
| Sabtu, 20 April 2024, 19:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement