Advertisement

Toko Mahasiswa Condongcatur Sleman, Saat Kerja Keras Bertemu dengan Peluang

Sirojul Khafid
Jum'at, 29 Maret 2024 - 23:47 WIB
Sunartono
Toko Mahasiswa Condongcatur Sleman, Saat Kerja Keras Bertemu dengan Peluang Suradi saat berada di Toko Mahasiswa, Sanggrahan, Condongcatur, Depok, Sleman, Rabu (27/3/2024). - Harian Jogja/Sirojul Khafid

Advertisement

Harianjogja.com, SLEMAN—Dalam perjalanan hidup, kita bertemu dengan orang-orang yang ke depannya bisa berdampak besar. Bagi Suradi, pemilik Toko Mahasiswa dan empat Agen BRILink di Sleman, pertemuan dengan dosennya semasa kuliah berdampak besar pada hidupnya sekarang.

Di Sleman, tempat yang sering ramai salah satunya di Terminal Condongcatur, Depok. Lalu Lalang bus serta TransJogja nyaris setiap belasan menit sekali. Kepadatan orang juga terjadi di sekitarnya, termasuk toko kelontong di seberang terminal.

Advertisement

Namanya Toko Mahasiswa. Pengunjung silih berganti datang dan pergi. Siang itu seperti tidak ada jeda para pelayan toko melayani para pelanggan. Pembeli rokok sudah selesai, datang pembeli tabung gas. Pelanggan itu pergi, datang lagi pembeli telur. Tidak hanya urusan jual beli, pemilik Toko Mahasiswa, Suradi, juga berurusan dengan sales sampai pemasang spanduk sponsor.

Suradi perlu memeriksa banyak hal setiap harinya. Meski namanya Toko Mahasiswa, bangunan dua reko berukuran sekitar 8x4 meter itu menjual bahan-bahan sembako. “Kadang mikir juga, namanya toko mahasiswa, tapi enggak jual perlengkapan mahasiswa sama sekali. Ini usaha sudah lama, jadi waktu buka lagi tahun 2005, pakai nama yang di kalangan supplier sudah familiar,” kata Suradi, saat ditemui di Toko Mahasiswa, Sanggrahan, Condongcatur, Depok, Sleman, Rabu (27/3/2024).

Usaha toko kelontong ini Suradi bangun bersama teman-temannya sejak masih mahasiswa. Itulah asal muasal nama toko. Toko miliknya para mahasiswa, bukan toko yang menjual perlengkapan mahasiswa. Kuliah sambil kerja menjadi pilihan yang paling rasional kala itu. Kondisi ekonomi membuat segala pembiayaan kuliah, dari biaya hidup sampai kampus harus Suradi tanggung sendiri.

Pengalaman sulitnya ekonomi dalam mengakses pendidikan sudah dia rasakan jauh sebelum kuliah. Lulus sekolah dasar (SD) di Temanggung, Jawa Tengah, Suradi perlu jeda untuk melanjutkan ke tingkat sekolah menengah pertama (SMP). Tiga tahun dia bekerja setelah lulus SD. Barulah setelah itu Suradi masuk SMP. Setelah lulus SMP pun, dia harus bekerja lagi. Tidak ada biaya dari keluarga untuk menempuh pendidikan.

Dari Temanggung, Suradi merantau ke Jogja. Tujuan utamanya bekerja. Setelah beberapa bulan bekerja, ada keinginan untuk melanjutkan sekolah ke jenjang sekolah lanjutan tingkat atas. Bermodal informasi dari kenalannya, Suradi bisa mendapat fasilitas pendidikan dari Yayasan Realino Jogja. Dia pun mendapat fasilitas asrama.

Masuk kuliah, Suradi mendapat beasiswa di Universitas Sanata Dharma (USD) Jogja. Sembari menjalani perkuliahan di Program Studi Pendidikan Ekonomi, dia kerja serabutan untuk biaya hidup. Semua pekerjaan Suradi lakoni, dari menjual buku, jasa fotocopy, membantu penelitian dosen, bekerja di perpustakaan dosen, sampai bersih-bersih kaca di kampus.

Semua aman-aman saja, sampai ada study tour ke Bali, yang membutuhkan biaya besar. “Selama SMK sampai kuliah semester tiga belum bilang sama orang tua kalau saya sekolah, sampai ada studi tour ke Bali, butuh uang, minta tambahan uang saku ke orang tua. Mereka bilang, ‘kerja kok minta uang’,” kata Suradi.

Diberi Kesempatan

Kondisi dan juga semangat Suradi selama kuliah mendapat perhatian dari Bismoko, dosen yang juga sempat menjabat sebagai pembantu rektor USD. Bersama empat mahasiswa lain yang juga kurang baik secara ekonomi, Bismoko menawarkan ruko serta modal usaha untuk mereka.

Dosen itu membebaskan mahasiswanya untuk usaha apapun. Ini caranya untuk melatih kreativitas Suradi dan teman-teman dalam mencari uang. Usaha pertama berupa pembuatan dan penjualan gorengan. Selama tiga bulan berjalan, ternyata banyak kendala. Mulai dari pembagian kerja dan kuliah, manajemen keuangan, sampai rasa gorengan yang tidak semuanya cocok. Usaha gorengan pun tutup buku.

“Sempet kepikiran jasa antar jemput, tapi butuh armada dan modal gede. Akhirnya bikin toko sembako, lebih simpel, enggak butuh ini itu. Cukup misalnya beli beras terus jual, margin berapa,” kata Suradi.

Lahir lah usaha sembako bernama Toko Mahasiswa pada 2003. Nama mahasiswa lantaran semua pengelolanya berstatus mahasiswa. “Awalnya kami malu-malu. Kami jualan beras tapi kok namanya Toko Mahasiswa. Bahkan awal-awal kami harus dorong-dorongan untuk melayani pembeli, kamu saja, kamu saja,” katanya.

Membuka usaha toko kelontong mengharuskan Suradi dan teman-temannya belajar banyak hal, dari pemasaran sampai laporan keuangan. Tidak ada yang berlatar belakang pengusaha. Suradi memang kuliah ekonomi, tapi lebih fokus pada pendidikannya. Teman-temannya yang lain berasal dari jurusan Pendidikan Sejarah, Otomotif, sampai Geologi.

Namun semua berprogres seiring berjalannya waktu. Meski tantangan tidak hanya dari internal pengelolaan toko. Masalah datang juga dari luar. Suatu hari, ada konsumen kalangan ibu-ibu yang membeli rokok dalam jumlah banyak. Sebagian rokok sudah dibungkus. Sisanya, ibu itu meminta Suradi dan teman-teman untuk mengantarkan ke sebuah warung yang tidak jauh dari Toko Mahasiswa.

Pembayaran akan dilakukan di warung itu, setelah semua barang diberikan. Sayangnya, saat Suradi sudah sampai di warung, ibu yang membeli rokok itu tidak ada. Pemilik warung pun tidak merasa memesan rokok. Kondisi itu mengarah pada penipuan yang baru Suradi sadari belakangan. “Saya sempat naik motor keliling warung itu, tapi tetap tidak menemukan ibu-ibu yang membeli rokok saya,” katanya.

Meski fluktuatif, pendapatan dari Toko Mahasiswa bisa menopang kehidupan para mahasiswa tersebut. Memasuki tahun 2005, atau dua tahun setelah menjalankan toko kelontong, mereka sudah masuk fase skripsi di perkuliahan. Kesibukan membuat toko kadang tutup kadang buka.

Merasa kasihan dengan pelanggan atas tidak konsistennya jam operasional toko, Suradi dan teman-temannya memutuskan menutup Toko Mahasiswa. Semua barang dijual dan hasilnya dibagi rata.

Setelah lulus, semua punya jalan masing-masing. Suradi bekerja di Jakarta, menjadi marketing di lembaga kursus Bahasa. Temannya yang lain menjadi dosen di Surabaya, kerja di Pertamina, sampai pertambangan di Kalimantan.

Pulang Lagi ke Jogja

“Pak, kalau saya pulang, saya buka tokonya lagi boleh?” tanya Suradi pada Bismoko.

Pertanyaan itu menjadi permulaan Suradi pulang dari Jakarta ke Jogja. Dia hanya kuat tiga bulan bekerja di Jakarta. Suradi lebih nyaman bekerja di Jogja. Bismoko membolehkan Suradi untuk kembali menggunakan rukonya.

Namun berbeda dengan 2003, dia membuka sendiri toko kelontongnya pada 2006. Sempat ada kebingungan untuk menamai toko kelontongnya. Namun dengan pertimbangan supplier sebelumnya sudah familiar dengan nama Toko Mahasiswa, maka nama itu kembali bertengger di depan toko. Usaha toko kelontong ini yang menjadi penopang hidup Suradi sampai dia berkeluarga dan tinggal permanen di Jogja.

Relevan dengan Zaman

Berbeda zaman, berbeda pula tantangan usahanya. Terlebih minimarket semakin hari semakin banyak bertebaran. Suradi harus menyesuaikan zaman pula. Zaman berubah, orang-orangnya juga berubah. Orang akan meninggalkan toko kelontong misal tidak ramah teknologi dan berdaya saing.

“[Untuk bersaing dengan minimarket, saya] usahakan barangnya lengkap, dianter juga bisa. Termasuk juga harga yang lebih murah dan pelayanan yang baik. Toko kelontong enggak cuma jualan barang, yang lebih lengkap juga banyak, kadang pelayanan yang lebih pokok sebenarnya,” kata Suradi yang kini berusia 47 tahun.

Agar usaha semakin berkembang, Suradi mengakses permodalan melalui Kredit Usaha Rakyat Bank Rakyat Indonesia (KUR BRI). Dari mengakses belasan juta, naik terus sampai di nilai Rp50 juta. Hubungan yang baik, serta tidak adanya masalah dalam kredit, membuat BRI menawari Suradi untuk menjadi Agen BRILink. Meski sudah mendapat penjelasan tentang produk, jasa, serta potensi keuntungan, Suradi masih belum mantep menjalankan BRILink.

Walaupun sudah mendapat beberapa mesin transaksi keuangan dari BRI, selama tiga bulan tidak ada aktivitas sama sekali di Agen BRILink-nya. Masih ada ketakutan uang yang tadinya cash kemudian hilang dalam bentuk digital. Suradi khawatir kapan uang akan masuk setelah transaksi dan sebagainya.

Di samping itu, lokasi tokonya dengan Bank BRI Unit Depok juga hanya sekitar 50 meter. Misal ke bank saja bisa gratis, ngapain ke Agen BRILink yang ada biaya adminnya? Begitu pikir Suradi kala itu.

Seiring mencoba mengoperasikan Agen BRILink, ternyata ada saja yang menggunakan jasanya. Ternyata orang-orang memilih BRILink salah satunya agar tidak mengantre seperti di Unit Bank. Lebih mending keluar uang administrasi daripada lama menunggu karena antre.

Memang sekarang sudah banyak masyarakat yang punya mobile banking, sehingga tidak perlu antre ke bank atau bahkan tidak usah keluar rumah. Namun belum tentu di mobile banking ada saldo untuk berbagai urusan. Menurut Suradi, Agen BRILink masih punya pasarnya sendiri. Dalam lima tahun ke depan, sektor usaha ini masih cukup menjanjikan.

Suradi juga bergabung dalam paguyuban Agen BRILink Sleman. Dalam agenda kumpul rutin, satu sama lain saling berbagi ilmu untuk mengelola BRILink. “Dari pengaruh temen-temen pas kumpul, oh temen ini udah tambah satu lagi Agen BRILink-nya, promonya seperti ini, kita termotivasi. Tanya juga manajemen, keuangan, dan lainnya,” katanya. “Perkembangan yang baik, akhirnya saya buka lagi Agen BRILink. Sekarang total ada empat Agen BRILink.”

Agen BRILink milik Suradi ada di Jalan Anggajaya (di samping Toko Mahasiswa), di Jalan Raya Manukan, serta Jalan Nusa Indah Ngringin. Ketiganya berada di Condongcatur, Depok, Sleman. Satunya berada di Jalan Kapten Haryadi, Sinduharjo, Ngaglik, Sleman. Setiap harinya, masing-masing agen bisa menerima puluhan transaksi keuangan. Sekitar 70% konsumen yang mampir ke Agen BRILink milik Suradi, menggunakan jasa untuk transfer uang.

Di setiap agen, Suradi menyandingkan BRILink dengan usaha lain seperti toko kelontong atau jasa ekspedisi. Cara ini agar satu sama lain bisa saling mendukung. Perkembangan dari satu menjadi empat agen tentu terlihat membahagiakan. Namun bukan berarti semuanya berjalan mulus. Salah satu masalah muncul karena human error.

“Saya pernah, mungkin pas lagi capek, transaksi Rp300 ribu saya transfer Rp3 juta. Setelah dikonfirmasi mereka ternyata pinjol. Saya minta uang saya dikembalikan tapi mereka minta dana pemindahbukuan Rp700 ribu. Saya pikir kenapa tidak dipotong saja dari uang yang sudah saya kirim? Akhirnya uang itu saya ikhlaskan,” kata Suradi.

Suradi merupakan satu dari puluhan ribu Agen BRILink di BRI Regional Office (RO) Jogja, yang mencakup DIY dan sebagian Jawa Tengah. Regional Chief Executive Officer (RCEO) BRI Jogja, John Sarjono, mengatakan sampai Desember 2023, Agen BRILink di BRI RO Jogja mencapai 61.309 unit. Layanan yang sering masyarakat gunakan melalui Agen BRILink seperti transfer, tarik dan setor tunai, serta pembayaran BRIVA.

“Selama tahun 2023 terjadi 93 juta transaksi di Agen BRILink RO Jogja, dengan jumlah FBI (fee based income) yang dihasilkan sebesar Rp122 miliar, dan total nominal transaksi atau sales volume lebih dari Rp100 triliun,” kata Sarjono, dalam keterangan tertulisnya, Rabu (21/3/2024).

Lahir sejak 2014, awalnya Agen BRILink untuk mengakomodir layanan laku pandai yang berfungsi melayani inklusi keuangan di seluruh lapisan masyarakat Indonesia. “Kemudian berkembang menjadi bisnis yang menghasilkan FBI bagi Bank BRI dan juga meningkatkan kesejahteraan Agen-Agen BRILink di seluruh Indonesia,” katanya.

Tidak Melulu Mencari Untung

Mungkin benar apabila usaha menjadi cara untuk mendapatkan keuntungan finansial. Namun Suradi tidak ingin mencari keuntungan sebagai satu-satunya pencapaian toko kelontong maupun Agen BRILink-nya. Tetap perlu berkontribusi secara sosial kepada masyarakat.

Misal dari satu transaksi BRILink, ada biaya administrasi sekitar Rp5.000. Apabila nasabah hanya punya uang Rp3.000 untuk membayar biaya administrasi, Suradi tetap akan menerimanya. “Cara membantu masyarakatnya dengan tidak saklek dari sisi biaya adminnya. Nasabah ada yang bener-bener uangnya pas, sisa dari uang administrasi bisa untuk jajan anaknya,” katanya.

Konsep yang sama pula dalam merekrut karyawan. Suradi mau menampung karyawan meskipun secara pendidikan tidak tinggi. Alhasil, Suradi perlu banyak membimbing dari awal sampai pekerjaan berjalan. Perlu sabar. Perlu ada yang menampung dan mendampingi semua lapisan masyarakat seperti ini.

“Saya teringat saya dulu. Kalau enggak ada yang mengajak mereka, meski enggak punya pendidikan, siapa lagi?” kata Suradi. “Saya berangkat dari orang yang pernah merasakan ditolong orang.”

Untuk Toko Mahasiswa, ada enam karyawan. Sementara setiap Agen BRILink ada dua pegawai. Apabila ada mahasiswa yang ingin cari tambahan uang atau magang, Suradi juga membuka kesempatan selebar-lebarnya. “Kalau ada mahasiswa kesulitan [secara ekonomi], silakan mau bantu-bantu apa [di toko]. Sebisa mungkin saya tampung, berbagi rezeki,” kata Suradi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Pemda DIY Didorong Implementasikan Pelayanan Publik Berbasis HAM

Jogja
| Jum'at, 03 Mei 2024, 16:37 WIB

Advertisement

alt

Jadwal Agenda Wisata Jogja Sepanjang Bulan Mei 2024, Ada Pameran Buku Hingga Event Lari

Wisata
| Rabu, 01 Mei 2024, 17:27 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement