Advertisement

Perjalanan Guru TK Jadi Guru Petani

Sirojul Khafid
Senin, 29 April 2024 - 14:07 WIB
Sunartono
Perjalanan Guru TK Jadi Guru Petani Srini saat sedang berada di rumahnya di Magelang, beberapa waktu lalu. - Ist/Dok. Pribadi

Advertisement

Harianjogja.com, MAGELANG—Beralih profesi dari guru di Taman Kanak-Kanak (TK) menjadi guru para petani, Srini Maria Margaretha justru merasa lebih hidup. Berawal dari nol pengetahuan, kini dia membudidayakan berbagai jenis sayur dan buah.

“Akhir-akhir ini saya lagi banyak sosialisasi kesehatan dengan produk volten jahe hitam, banyak yang minta didatangi,” kata Srini Maria Margaretha, saat dihubungi secara daring oleh Harianjogja.com, Jumat (19/4/2024).

Advertisement

Perlu membuat janji jauh-jauh hari apabila ingin bertemu dengan Srini. Sejak menjadi petani, banyak orang yang belajar dengannya. Belajar dengan mendatangi Srini di rumahnya di Desa Sengi, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang. Tidak jarang pula Srini yang perlu mendatangi tempat orang atau kelompok yang ingin belajar.

Petani. Jenis pekerjaan yang bahkan tidak Srini bayangkan saat menempuh pendidikan formal baik di sekolah maupun kampus. Apabila bekerja sesuai jurusan, lulusan Prodi Bahasa Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Tidar Magelang ini harusnya menjadi guru. Dan itu memang pernah Srini coba. Dia sempat menjadi guru TK di Muntilan dan Guru Bahasa Indonesia di sekolah yang berada di Kota Magelang. Namun pekerjaan bertemu anak-anak itu bertahan tidak sampai setahun.

Srini seakan tidak menemukan dirinya dalam baju profesi guru. Justru petani, profesi orang tuanya, yang dulu tidak dia bayangkan akan terjun, seakan cukup menarik saat itu. Sekitar tahun 2010, Srini memutuskan pulang ke kampung halamannya. “Ingin pulang dan merawat lahan yang diberikan orang tua,” kata perempuan berusia 61 tahun ini.

Bangunan rumah Srini tidak terlalu besar. Namun halaman yang mengelilingi bangunan rumah cukup luas. Ada lahan sekitar 2.500 meter persegi. Ada potensi besar sayuran atau buah-buahan yang bisa Srini tanam dan rawat di lahan tersebut.

Sejak tahun itu, Srini sering mengakses pelatihan pertanian dari banyak pihak, termasuk dari Dinas Pertanian, Tanaman Pangan, dan Hortikultura Provinsi Jawa Tengah. Srini pernah juga belajar budidaya sayuran organik di Pusat Pelatihan Organization for Industrial and Cultural Advancement (OISCA) di Karanganyar, Jawa Tengah.

Dalam pelatihan itu, hampir semua peserta sudah berpengalaman menjadi petani hingga puluhan tahun. Sementara Srini, nyaris belum ada pengalaman maupun ilmu tentang pertanian sama sekali. Pengalaman dari nol itu sempat membuat Srini bingung menerapkan bekal ilmu pertanian yang dia dapat dari pelatihan. Jenis pelatihan yang Srini ikuti kebanyakan tentang pertanian organik hingga potensi ekspor hasil pertanian.

Kebingungan ini sedikit pudar saat dinas pertanian menyarankan Srini untuk membentuk kelompok wanita tani (KWT). Dengan berkumpul, sesama petani bisa bertukar ilmu, saling memberi saran dan masukan untuk pengolahan lahan. Namun masalahnya belum selesai, “Saya bahkan tidak tahu apa itu KWT,” katanya.

Memang belum ada KWT di tempat tinggal Srini di Sengi. Proses belajar kemudian membawa Srini mengerti apa itu KWT dan kegunaannya. Dia berkunjung dari satu arisan ke arisan lainnya. Tujuan utamanya untuk berbagi ilmu pertanian organik dan potensi ekonominya. Dan yang paling penting mengajak ibu-ibu untuk bergabung ke KWT.

Usaha Srini tidak sia-sia. Pada Juli 2010, Srini bersama 28 perempuan lain mendirikan KWT Merapi Asri. Sayangnya ‘bulan madu’ pembentukan KWT tidak bertahan lama. Tiga bulan setelahnya, Gunung Merapi erupsi dan berdampak besar ke Desa Sengi.

Secara lokasi, Desa Sengi berada di lereng Gunung Merapi. Sengi menjadi desa yang paling terdampak di Magelang. Status Desa Sengi masuk dalam kawasan rawan bencana Gunung Merapi. Saat Gunung Merapi erupsi, ada potensi awan panas, aliran lava, lontaran batu, longsoran, dan hujan abu yang singgah di desa ini.

Erupsi yang besar kala itu melumpuhkan pertanian di Sengi. Tidak ada tanaman yang terlihat. Semua mati. “Apabila para petani ingin bangkit dan menanam lagi, maka mulai dari nol,” kata Srini.

Bangkit dari Bencana

Bencana datang silih berganti. Namun hidup tetap harus dijalani, termasuk para petani. Saat kondisi sudah mulai membaik, Srini dan KWT Merapi Asri mulai kembali bertani. Langkah awal berupa pembukaan Sekolah Lapang di Desa Sengi.

Melalui ruang belajar ini, Srini mengedepankan berbagi ilmu dengan langsung praktik di lapangan. Sehingga orang yang belajar bisa lebih paham dan mencoba bereksperimen. Di sekolah ini pula, Srini berbagi ilmu pembuatan pupuk dan pestisida tanpa kimia. Cara-cara merawat sayuran dan buah-buahan secara organik agar lebih ramah lingkungan. Hasil produk organik juga berpotensi lebih sehat.

Untuk memastikan ilmu yang Srini bagi sudah tepat, dia sudah mencoba terlebih dahulu di rumahnya. Contohnya tentang cara merawat buncis Prancis atau baby buncis. Srini sudah mencoba menanam buncis berbentuk kecil dengan tekstur lembut itu di rumahnya. Di lahan sekitar 400 meter persegi di rumahnya, pertumbuhan baby buncis berjalan cukup bagus. Baru setelahnya dia kenalkan ke anggota KWT Merapi Asri atau orang lain yang ingin belajar.

“Saya mencoba menanam dulu. Akhirnya ibu-ibu saya suruh nanam, mereka mau,” kata Srini.

Panen pertama baby buncis dari lahan pribadi Srini sekitar 30 kilogram. Harga per kilogramnya sekitar Rp10.000. Kala itu dia jual ke pengepul di Semarang, yang kemudian di ekspor ke Singapura. Potensi besar ini menarik minat para anggota KWT Merapi Asri lainnya.

Di lahan hasil budidaya KWT Merapi Asri, mereka bisa menghasilkan sekitar 100 kilogram dalam sekali panen. Penjualan dan harga baby buncis yang bagus membawa dampak positif bagi keuangan para anggota KWT. Dampak penguatan ekonomi semakin terasa bagi para anggota KWT. Hasil konkret ini membuat penanaman semakin beragam ke jenis sayuran dan buah lainnya.

Tidak hanya baby buncis, Srini dan anggota KWT Merapi Asri lainnya kemudian menanam berbagai sayuran lain seperti rosemary, buat bit, hingga peterseli. Penanaman dan perawatan secara organik membuat harga penan cukup tinggi. Namun sistem pertanian ini memang perlu ketelatenan dan juga ilmu yang luas. Dibandingkan sistem pertanian sebelumnya yang konvensional, pengolahan dengan organik bisa lebih menguntungkan.

“Sekarang hasil panennya bisa dua kali lipat,” katanya. “Sekarang anggota KWT Merapi Asri yang saya dampingi itu, kebanyakan anak-anaknya sudah jadi penyuplai sayur.”

Semakin Meriah

Awalnya memang baby buncis, namun keberhasilan budidaya membaut jenis sayuran dan buah di lahan Srini semakin meriah. Eksperimen serta perawatan perlu modal yang tidak sedikit. Srini membutuhkan pembelian bibit, bahan pupuk, olah lahan, dan operasional lainnya.

Untuk membantu permodalan, Srini memanfaatkan fasilitas Kredit Usaha Rakyat (KUR) dari Bank Rakyat Indonesia (BRI). Di tahun 2013, Srini mengakses KUR BRI sebesar Rp100 juta. Srini juga memfasilitasi anggota KWT Merapi Asri yang hendak mengakses KUR BRI.

Lantaran Srini sudah beberapa kali menggunakan layanan KUR BRI, sehingga prosesnya akan lebih mudah apabila melalui perantaranya. “Ada sekitar 10 anggota yang mengajukan KUR, semua saya kelola dan bisa lunas semua,” kata Srini.

Regional Chief Executive Officer (RCEO) BRI Jogja, John Sarjono, mengatakan BRI sebagai mitra pemerintah terus mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat melalui pembiayaan KUR. Pada 2023, BRI Regional Office (RO) Jogja yang mencakup wilayah DIY dan sebagian Jawa Tengah telah menyalurkan KUR sebanyak Rp18,45 triliun dengan total 432.452 debitur. Di samping itu, ada pula penyaluran KUR Mikro sebanyak Rp16,46 triliun dengan total 424.919 debitur serta KUR Kecil sebanyak Rp1,98 triliun dengan total 7.533 debitur.

Dari total KUR di BRI RO Jogja 2023, penyaluran di sektor pertanian sebanyak 21,0%. Sementara di sektor jasa sebanyak 23,6%, sektor perdagangan sebanyak 42,2%, sektor industri pengolahan 11,7%, dan sektor perikanan 1,6%. “UKM yang mendapat kredit KUR cenderung semakin maju dengan kesempatan nasabah untuk bisa naik kelas, dari kredit KUR Supermikro ke Kredit KUR Mikro, dan Kredit KUR Mikro bisa naik kelas ke Kredit KUR Kecil. Sehingga nasabah dapat terus membangun usahanya untuk berkembang lebih maju. Dan BRI senantiasa siap untuk mendukung pertumbuhan nasabah UKM,” kata Sarjono, dalam keterangan tertulisnya, Rabu (21/3/2024).

Tetap Menjadi Guru

Jenis tanaman di rumah Srini semakin bertambah dari waktu ke waktu. Belum lama ini, dia mengembangkan kelengkeng new kristal. Pemilihan jenis kelengkeng ini lantaran kemudahan perawatan, serta masa panen yang bisa diatur. Harga satu kilogram kelengkeng new kristal senilai Rp40.000. Tidak sendiri, Srini juga mendampingi sekitar 40 petani lain dalam budidaya kelengkeng.

Apabila berkunjung ke rumah Srini sekarang, kita akan melihat banyak jenis sayuran seperti pokcoy, peterseli, rosemary, cabai, tomat, hingga selada. Ada pula buah-buahan seperti jeruk, srikaya, dan bit. Semua sayuran dan buah-buahan berasal dari pengelolaan secara organik.

Kebanyakan tumbuh subur dan segar. Sesuatu yang mungkin 14 tahun lalu, saat awal Srini memutuskan menjadi petani, tidak mengira akan sebanyak sekarang jenis tanamannya. Meski kondisinya berbeda dengan belasan tahun lalu itu, namun ada kesamaan. Srini dulu dan saat ini sama-sama mengajar.

Bedanya, dahulu dia mengajar murid-murid di sekolah. Sekarang dia mengajar para petani di sawah. Dari segala usaha budidaya tanaman dan juga pendampingan, Srini pernah mendapat uang sekitar Rp100 juta dalam sebulan. “Dulu saya hanya mendampingi KWT, sekarang malah warga dari luar kota pada ke sini,” kata Srini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Penyelundupan Benih Lobster Digagalkan di Bandara YIA, Tersangka Melarikan Diri

Jogja
| Rabu, 15 Mei 2024, 18:57 WIB

Advertisement

alt

Tidak Hanya Menginap, Ini 5 Hal Yang Bisa Kamu Lakukan di Garrya Bianti Yogyakarta

Wisata
| Senin, 13 Mei 2024, 15:27 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement