Ekbis

Klaim Asuransi Berpotensi Kena Pajak?

Penulis: Wibi Pangestu Pratama
Tanggal: 12 Januari 2021 - 11:27 WIB
Foto Multiple Exposure karyawan saat beraktivitas di Kantor Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI), Jakarta, Selasa (11/02/2020). Bisnis - Eusebio Chrysnamurti

Harianjogja.com, JAKARTA — Pemerintah memutuskan untuk menganakan pajak penghasilan atau PPh bagi klaim asuransi selain karena sakit, kecelakaan, cacat, dan kematian. Keputusan itu kini menjadi perhatian pelaku industri karena dinilai memberatkan. 
 
Ketentuan itu tercantum dalam omnibus law Undang-Undang (UU) 11/2020 tentang Cipta Kerja. Beleid itu mengubah ketentuan UU 36/2008 tentang PPh, yakni di Pasal 4 ayat (3) poin e.
 
Dalam ketentuan lama tertulis bahwa pembayaran klaim dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa termasuk ke dalam pengecualian dari objek pajak.

Dalam omnibus law Cipta Kerja, pengecualian objek pajak berubah menjadi pembayaran dari perusahaan asuransi karena kecelakaan, sakit, atau karena meninggalnya orang yang tertanggung, serta pembayaran asuransi beasiswa. Dari sisi redaksional, terjadi perubahan dari semula mengacu ke jenis asuransi menjadi mengacu ke penyebab klaim. 

Baca juga: Tim SAR AL Kumpulkan 4 Kantong Puing hingga Pakaian Korban Sriwijaya Air SJ182
   
Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) Togar Pasaribu menilai bahwa jika mengacu kepada ketentuan omnibus law maka terdapat pemotongan PPh terhadap suatu polis, meskipun besaran dan mekanisme perhitungannya masih belum jelas.
 
Togar menilai bahwa ketentuan baru itu menyiratkan bahwa jika pemegang polis tidak mengalami peristiwa kemalangan sakit, kecelakaan, atau meninggal dunia tetapi melakukan klaim, maka pembayaran manfaat asuransi itu menjadi objek PPh. Hal itu menurutnya mengubah esensi dasar asuransi jiwa. 

"Esensi yang seharusnya melindungi pemegang polis dari risiko yang dapat terjadi sewaktu-waktu karena sakit, kecelakaan, dan meninggal dunia, menjadi dibatasi dengan sudut pandang bahwa asuransi hanya dalam konteks jika risiko tadi terjadi. Kalau tidak [terjadi], tidak dihitung asuransi, sehingga pembayaran manfaatnya kena PPh," ujar Togar kepada Bisnis, Senin (11/1/2021).
 
Menurutnya, pembayaran manfaat tidak dapat serta merta dibatasi hanya saat risiko terjadi, karena dalam beberapa kondisi nasabah harus mencairkan polisnya untuk keperluan tertentu. Oleh karena itu, pembatasan pengecualian dari objek pajak pun menjadi tanda tanya bagi asosiasi.

Baca juga: Tempat Usaha Ngeyel Lebihi Jam Operasional saat PTKM, Ini Tindakan Petugas..
 
Selain itu, Togar menilai adanya potensi pajak ganda dari pembayaran klaim. Dalam proses pengembangan manfaat, perusahaan asuransi telah membayarkan pajak final saat menyerahkan penjualan investasinya kepada nasabah.
 
Pembayaran pajak itu kemudian disertai oleh potongan PPh terhadap pemegang polis, jika pembayaran klaim dilakukan bukan saat terjadi risiko sakit, kecelakaaan, dan meninggal dunia. Padahal menurutnya, dalam kondisi terdekat, banyak pemegang polis yang terpaksa melakukan pencairan klaim karena kebutuhan dana.

Pembayaran Klaim
 
AAJI mencatat pada kurun Januari–September 2020 bahwa pembayaran klaim nilai tebus (surrender) mencapai Rp67,45 triliun. Jumlah klaim dari nasabah yang menghentikan polisnya itu mencakup 61,5 persen dari total klaim industri asuransi jiwa senilai Rp109,6 triliun.
 
Selain itu, dalam rentang waktu yang sama terdapat pembayaran klaim penarikan sebagian (partial withdrawal) senilai Rp10,3 triliun atau 9,4 persen dari total klaim industri. Jika dijumlahkan, klaim karena kedua alasan itu mencakup sekitar 70,9 persen dari klaim industri.
 
Jumlahnya terpaut tinggi jika dibandingkan dengan klaim-klaim karena risiko-risiko yang tercantum dalam ketentuan omnibus law, yakni klaim meninggal dunia senilai Rp8,8 triliun (8,02 persen) dan klaim kesehatan senilai Rp7,6 triliun (6,98 persen). Adapun, klaim akhir kontrak tercatat senilai Rp11,68 triliun (10,65 persen), tapi tidak dirinci berasal dari jenis polis apa saja.
 
"Di sisi lain, ketentuan ini pun seperti berbeda spirit-nya bila dibandingkan dengan industri lain. Selama ini kan kita lihat bahwa spirit UU Cipta Kerja adalah efisiensi, insentif, dan lain-lain, tapi jadi beda untuk industri asuransi jiwa, ini aneh," ujar Togar.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : bisnis.com

Berita Terkait

Kinerja Belanja APBN DIY Capai Rp16,66 Triliun hingga Oktober 2025
Pajak Ekonomi Digital Oktober 2025 Melampaui Rp11 Triliun
Kejagung Cabut Pencegahan VRH Terkait Kasus Pajak, Ini Alasannya
Pengamat: Pencekalan oleh Kejagung untuk Efektifkan Penyidikan Pajak

Video Terbaru

Berita Lainnya

  1. Panduan Lengkap Slot Online di JendelaToto
  2. Panduan Lengkap Main di Jendelatoto
  3. Main Slot Gacor Mudah Menang 2025
  4. Best Strategies for Togel Players

Berita Terbaru Lainnya

Harga Cabai Rawit Tembus Rp74.250, Telur Ayam Ikut Naik
Harga Emas UBS dan Galeri24 Stabil, Antam Naik Tipis
Ketersediaan BBM Shell Mulai Pulih Setelah Kesepakatan Pertamina
Suplai BBM dan LPG di Aceh Mulai Pulih Bertahap
Kasus Kredit Bankaltimtara, OJK Temukan Dugaan Pencatatan Palsu
Harga Pangan Meroket Jelang Nataru, Minyakita Masih di Atas HET
Cabai Rawit Naik, Mayoritas Harga Pangan Lain Turun
Harga Emas UBS dan Galeri24 Kompak Turun per 7 Desember
Indonesia Tak Lagi Impor Beras Medium pada 2025
Persaingan Chatbot AI Memanas, Pertumbuhan ChatGPT Mulai Melambat