Advertisement
Cerita Bersambung Sandyakala Ratu Malang: Bagian 154
Advertisement
154
Kematian Kertapati tidak seorang pun menangisi karena senja diam-diam telah bersekutu dengan waktu. Ia juga akan mati seperti Kertapati: tidak ada kepahlawanan, tidak ada puja-puji.
Advertisement
“Perlukah itu kiai?”
Resi Kamayan tersenyum pahit.
“Bukankah alam berbuat adil? Kertapati pembunuh ayah ibuku.” ujar Lohgawe.
“Keadilan adalah sesuatu yang ada karena tidak ada.” jawab Resi Kamayan. Ia kemudian menghunus keris carubuk yang tadi disengkelitkan di pinggangnya.
“Menang kalah, bagiku, sama tidak pentingnya. Kertapati mati dalam pertempuran. Gara-gara dia, orang tuamu terbunuh. Jangan lupa, akulah yang memanah dalang Ki Panjang Mas. Aku juga yang memanah Dinar dan istrinya. Engkau takut menghukumku?”
“Kiai…jadi engkau yang..”
“Benar! Mari kita lanjutkan perkelahian ini. Jangan membuang waktu.” Resi Kamayan dengan garang menerjang Lohgawe. Kerisnya menusuk lurus ke dada lawannya. Lohgawe gesit mengelak. Terjadilah pertempuran satu lawan satu yang tidak seimbang. Tadi pun dikeroyok dua Lohgawe bisa membunuh Kertapati. Apalagi sekarang tampak sang resi berkelahi tanpa greget. Lohgawe menyadari hal ini. Kenapa pertempuran diteruskan? Seberapapun menepnya Lohgawe, ia tetap seorang anak muda yang betapapun masih memiliki darah panas. Ayahnya mati dan resi inilah yang memanahnya.
Seratus jurus mereka bertempur, Resi Kamayan terbit sayah. Ia bukan pria gila wanita. Ia tidak pernah menghambur-hamburkan tenaga main perempuan. Ia memelihara kesehatan dengan rajin meditasi. Tapi usia tidak bisa diperdaya. Tadi pun napasnya mulai terengah-engah. Apalagi setelah berlangsung perkelahian cukup memeras tenaga. Tubuh Resi Kamayan mandi keringat.
“Tranggg!” Keris Kalawelang beradu dengan keris carubuk. Begitu kerasnya benturan, terlebih Resi Kamayan makin loyo, membuat senjatanya terpental. Tapi resi itu tidak menyerah. Dengan tangan kosong ia menghantam sekuatnya dada Lohgawe. Ini jurus sampyuh.
“Plakkkkk!” Lohgawe menangkis dengan tangan kanan, sementara keris Kalawelang ia pindahkan ke tangan kiri. Resi Kamayan sempoyongan beberapa jangkah, dan kesempatan ini tidak disia-siakan Lohgawe. Tangan kanannya mengambil keris Naga Siluman dan dilemparkan bagai anak panah meluncur deras ke dada Resi Kamayan.
“Crappp!!!” Keris pusaka milik demang Kertapati amblas ke dada Resi Kamayan sampai gagangnya. Persis seperti dulu ia memanah Dinar Saka, Latri Dewani dan Ki Panjang Mas.
Lohgawe menyembah takzim di hadapan gurunya, Kaki Suryadharma.
“Sujud syukur kepada hyang wisesa,” kata Lohgawe sambil menundukkan kepala.
“Kenapa?” Kaki Suryadharma bertanya.
“Berkah hyang wisesa saya berhasil memenangkan pertempuran.”
“Semakin manusia mengatasnamakan tindakannya sebagai barokah hyang wisesa, kian banyak terjadi kehancuran. Sang akarya semesta tidak memerlukan suaka dari manusia yang sekadar makhluk rapuh ciptaan-Nya.”
“Sendhika, Guru. Saya selayaknya bersyukur telah melaksanakan tugas dengan berhasil. Semoga rama dan iyung tersenyum dalam keabadian,” ujar Lohgawe.
“Keabadian adalah sejenis omong kosong, Lohgawe. Yang tidak abadi itulah keabadian.”
“Sendhika.”
“Yang tidak memburu kebahagiaan itulah sejatinya bahagia. Dan orang paling miskin itu adalah orang yang memiliki banyak keinginan.”
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Dua Kali Terkena Serangan Jantung, Krasno Bersyukur Biaya Perawatan Ditanggung BPJS Kesehatan
Advertisement
Lirik Lengkap Lagu "Tak Selalu Memiliki" Lyodra, OST Film Ipar Adalah Maut
Advertisement
Berita Populer
- Mengenal Jenis Latto-Latto, Ada yang Bisa Menyala hingga Berukuran Jumbo
- Perusahaan Ini Bikin Kostum Serigala yang Mirip Aslinya, Terjual Seharga Rp350 Juta
- Hanya Kover 10 Persen, Warganet Soroti Asuransi Indra Bekti
- Foo Fighters akan Comeback Meski Tanpa Sang Drummer
- Jadi Sorotan Warganet, Inilah Profil Aldila Jelita, Istri Indra Bekti
Advertisement
Advertisement