Advertisement
SETARA Institute Desak Pemerintah Lindungi Agama Minoritas di Jogja
Advertisement
Korban seharusnya tidak menjadi pihak yang disalahkan.
Harianjogja.com, JOGJA--SETARA Institute menyayangkan pembubaran kegiatan bakti sosial Gereja Katolik St Paulus Pringgolayan, Banguntapan, Bantul oleh sejumlah ormas.
Advertisement
Sebagaimana jamak diketahui publik, telah terjadi pembubaran acara bakti sosial yang diselenggarakan Gereja Katolik St Paulus Pringgolayan, Banguntapan, Bantul pada Senin (29/1/2018) oleh 50-an orang yang berasal dari sejumlah ormas Islam.
Mereka menuding acara bakti sosial tersebut sebagai agenda kristenisasi. Sejatinya acara tersebut merupakan bagian dari rangkaian acara dalam rangka memperingati catur windu (32 tahun) Gereja Katolik St Paulus dan peresmian paroki dari paroki administratif menjadi paroki mandiri. Panitia akhirnya membatalkan kegiatan dimaksud.
"Kita harus terus menyatakan keprihatinan atas terus berulangnya diskriminasi dan intoleransi serta tindakan vigilante menggunakan sentimen keagamaan terhadap yang lain [liyan] dengan identitas keagamaan yang berbeda. Tindakan main hukum sendiri semacam itu mesti dibaca sebagai ancaman terhadap harmoni dan kedamaian sosial di tengah kebinekaan Indonesia," kata peneliti SETARA Institute Halili melalui siaran pers, Kamis (2/1/2018).
Di samping itu, SETARA Institute sangat menyayangkan pernyataan otoritas pemerintahan negara di tingkat lokal. Pertama, pernyataan Gubernur DIY Sri Sultan HB X mengenai pembatalan acara karena disatroni ormas tersebut. Sultan menyatakan ketidaksetujuan terhadap bakti sosial yang mengatasnamakan gereja di tengah lingkungan warga muslim, sebab hal itu berpotensi memicu gesekan. Kedua, pernyataan Kepala Polisi Resor Bantul AKBP Sahat M Hasibuan. Kepada media, Kapolres mengatakan bahwa penolakan bakti sosial itu terjadi karena kurangnya komunikasi pihak gereja dengan masyarakat.
"Pernyataan Gubernur dan Kapolres tersebut jelas-jelas problematik. Pertama, sikap dalam ekspresi verbal tersebut jelas menyalahkan pihak korban [blaming the victim]. Ini sesungguhnya pola lama respons pemerintah dan aparat atas berbagai kasus intoleransi, diskriminasi, pelanggaran atas hak-hak minoritas keagamaan dimana pemerintah cenderung menjadikan korban sebagai objek blaming, scapegoating [pengkambinghitaman], bahkan kriminalisasi," tegas dia.
Kedua, pernyataan kedua otoritas negara di tingkat lokal tersebut menunjukkan kuatnya favoritisme negara atas kelompok warga tertentu sekaligus penyingkiran (exclusion) kelompok lainnya. Aparat negara seharusnya memberikan perlindungan terhadap hak-hak minoritas sebagai prasyarat tegaknya demokrasi (democracy requires minority rights).
Terakhir, SETARA mengapresiasi kuatnya perspektif dan standing position toleransi dan kebinekaan yang ditunjukkan Bupati Bantul, Suharsono. Beliau memberikan pernyataan kuat bahwa semua agama yang diakui di Indonesia harus dihormati. Tidak bisa suatu ormas melarang kegiatan dari agama yang diakui sepanjang tidak melanggar aturan yang berlaku.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Jokowi Apresiasi Perjuangan Garuda Muda di Piala Asia U-23/2024
Advertisement
Jadwal Agenda Wisata Jogja Sepanjang Bulan Mei 2024, Ada Pameran Buku Hingga Event Lari
Advertisement
Berita Populer
- Daftar Lokasi Nobar Timnas U-23 Indonesia vs Irak di Jogja dan Sekitarnya, Gratis!
- Soal Penjabat Kepala Daerah yang Berencana Maju di Pilkada 2024, Sultan Bilang Begini
- Sultan Minta Lalu Lintas Penerbangan Bandara YIA Ditambah, Ini Alasannya
- Kepala BKKBN: Remaja Butuh Sex Education, Bukan Tentang Hubungan Seksual Tapi Soal Reproduksi Sehat
- Dibutuhkan Masyarakat, Warung Madura Diminta Tetap Buka 24 Jam
Advertisement
Advertisement