Advertisement

Ada Wacana Sertifikasi Kompetensi Bagi Seniman Karawitan

Media Digital
Jum'at, 27 Mei 2022 - 06:37 WIB
Jumali
Ada Wacana Sertifikasi Kompetensi Bagi Seniman Karawitan Narasumber memaparkan materi dalam serasehan bertajuk Kompetensi Karawitan; Antara Eksakta dan Subjektivitas Masyarakat di Taman Budaya Yogyakarta (TBY), Rabu (25/5/2022). - Harian Jogja - Sunartono

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJA — Sertifikasi kompetensi bagi penabuh gamelan atau pengrawit muncul dalam serasehan bertajuk Kompetensi Karawitan; Antara Eksakta dan Subjektivitas Masyarakat di Taman Budaya Yogyakarta (TBY), Rabu (25/5/2022). Namun, pengrawit selama ini lebih banyak menjalankan fungsi sosial dalam setiap pementasan di tengah masyarakat.

Seniman Karawitan Jogja, Pardiman Djoyonegoro mengatakan, seiring perkembangan zaman, kompetensi bagi seniman tak terkecuali karawitan ke depan akan dibutuhkan. Namun, para seniman bisa memilihnya sesuai keyakinan masing-masing, baik ingin disertifikasi atau tidak. Ia sendiri masih berada di tengah-tengah, antara setuju atau tidak. Di satu sisi belum mengetahui konsekuensi yang harus dihadapi nantinya ketika disertifikasi, di sisi lain sertifikasi kompetensi di era saat ini sangat dibutuhkan. Selain itu sertifikasi bisa menjadi salah satu apresiasi terhadap seniman sesuai kemampuan kompetensi masing-masing.

Advertisement

"Tetapi mungkin ada yang berfikir, seniman jadinya seperti tukang ya? Namun jika [sertifikasi] ini dilakukan sama seperti menata seniman, karena ada beberapa kasus ketika pentas di luar negeri misalnya ditolak karena tidak memiliki sertifikasi, artinya dibutuhkan," katanya, di sela-sela serasehan, Rabu (25/5/2022).

Pendiri Sanggar Karawitan Omah Cangkem ini menilai, penerapan seniman karawitan bersertifikasi mungkin cocok diterapkan pada event maupun yang digelar oleh pemerintahan maupun internasional. Melalui sertifikasi akan bisa dilihat ukuran kompetensi dan kualitas setiap seniman dalam memberikan apresiasi. Akan tetapi, sertifikasi ini tentu tidak serta merta bisa diberlakukan di tengah masyarakat. Karena tidak sedikit pengrawit yang lebih mengedepankan rasa sosial sehingga ketika pentas tidak semata-mata diukur dengan nominal.

"Karena ada istilahnya manajemen konco, ini tidak bisa diukur dengan nominal. Bahkan ketika dahulu wayangan itu pengrawit dapat honor dari sajen [ubarampe makanan]. Sehingga dengan wacana sertifikasi kompetensi ini seniman bisa memilih, mungkin kalau berhubungan dengan pemerintahan, internasional bisa dipakai [ukuran sertifikasi], kalau di masyarakat boleh juga tidak dipakai karena sosial tadi," ucapnya.

Dosen Seni Karawitan ISI Jogja, Anon Suneko menyatakan, kaitan dengan seni karawitan dahulu memang erat dengan sosial, bukan semata mencari uang. Akan tetapi dalam perkembangan teknologi butuh fasilitas untuk dukungan, hal ini tentu akan akan membuka wacana lebih luas lagi bagi para seniman.

"Memang harus melihat lebih jeli lagi, kalau karawitan ini orientasinya masih seperti nenek moyang, cenderung pada jenek [kekerabatan, kerasan] bukan jenang," ucapnya.

Ia menambahkan, era dahulu pengrawit lebih pada kepuasan batin. Namun, sebagian besar pengrawit waktu itu petani sehingga mereka sudah merasa punya cadangan untuk hidup sehingga gamelan fungsinya tersier.

"Tetapi sekarang ini, seperti saya tidak punya sawah. Karawitan jadi sesuatu yang diandalkan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Tadinya religius kemudian orientasinya jadi hiburan. Aspek lainnya tidak dipentingkan," ujarnya.

Dosen FBS UNY, Kuswarsantyo Condrowaseno mengatakan, ada sejumlah manfaat dari sertifikasi seniman karawitan. Antara lain, mewujudkan keunggulan kompetitif, meningkatkan efisiensi kemampuan, meningkatkan potensi penghasilan, mengembangkan pengetahuan dan keterampilan dan terakhir membangun kredibilitas profesional. Sertifikasi akan menjadi senjata sebagai pelaku profesional. Apa yang dibutuhkan tidak hanya keahlian tetapi pengetahuan tentang skema kompetensinya.

"Sudah maestro itu tetap harus menggunakan sertifikasi, hanya saja untuk mendapatkannya tidak melalui tahapan seperti pemula. Maestro tinggal menyerahkan porto folio saja, ini sebagai legalitas formalnya. Ini yang prosesnya tidak harus dari pemula," ujar pria yang juga Ketua Lembaga Sertifikasi Prosesi Keraton Ngayogyakarta ini.

Kuswarsantyo menegaskan, proses tahapan tes sertifikasi tidak semata-mata praktik kemampuan semata. Tetapi juga harus mempertimbangkan attitude atau sikap dari seniman yang disertifikasi.

"Misalnya orang menabuh gamelan kalau tidak tahu etika, maka bisa jadi tidak akan lolos sertifikasi. Attitude ini menjadi sangat penting," ucapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terbaru

Advertisement

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

Berita Pilihan

Advertisement

alt

Seorang Polisi Berkendara dalam Kondisi Mabuk hingga Tabrak Pagar, Kompolnas: Memalukan!

News
| Sabtu, 20 April 2024, 00:37 WIB

Advertisement

alt

Pengunjung Kopi Klotok Membeludak Saat Libur Lebaran, Antrean Mengular sampai 20 Meter

Wisata
| Minggu, 14 April 2024, 18:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement