Advertisement

Dari Tumpukan Sampah, Pria Ini Memberi Makna dan Kehidupan pada Wayang

Sirojul Khafid
Sabtu, 21 Januari 2023 - 10:17 WIB
Arief Junianto
Dari Tumpukan Sampah, Pria Ini Memberi Makna dan Kehidupan pada Wayang Iskandar Hardjodimuljo menunjukkan Wayang Uwuh karyanya. - Harian Jogja/Sirojul Khafid

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJA — Kecintaan pada seni beragam bentuknya, termasuk dengan memanfaatkan sampah sebagai bahan pembuatan wayang. Melalui kreativitas inilah, Iskandar Hardjodimuljo bisa menjelajah dunia.

Saat kecil, Iskandar tergolong nakal suka bermain jauh. Perjalanan dari Jogja ke Solo bukan lagi sesuatu yang asing baginya saat kelas satu sekolah dasar. Sayangnya, kegemaran bermain ini membuatnya harus tinggal kelas.

Advertisement

Akhirnya orang tua memindahkannya ke sekolah yang berada di sekitar Gentan, Jalan Kaliurang, Sleman. Di tempat tinggal yang dahulu masih sepi dan ndeso ini, tidak jarang ada gelaran wayang saat masyarakat punya gawe.

Pentas wayang di sekitar tempat tinggal saudaranya itu bisa berlangsung siang dan malam. Siang biasanya untuk pentas dalang junior, sementara malam harinya, untuk dalang utama.

Iskandar kecil merupakan penikmat pertunjukan wayang. Pernah suatu kali saat menonton wayang malam hari, dia ketiduran di tempat sampah. “Di tempat sampah ada bagian yang banyak daun keringnya, itu hangat buat tidur, nanti bangun lagi pas goro-goro [adegan saat punakawan muncul]. Pernah adik ibu saya datang dan memukul pakai sarung gara-gara tidur di sampah, sampai sekarang masih teringat,” kata Iskandar saat ditemui di Angkringan Pendidikan, di halaman rumahnya, Demangan, Jogja, Minggu (15/1/2023).

Bahkan saat pentas, tidak jarang ada yang menjual wayang berbahan kardus. Iskandar tertarik. Bukan dengan membeli, tetapi dia membuat wayang sendiri dengan bekas kardus rokok.

Secara autodidak dan bereksperimen, Iskandar kecil dan temannya membuat beberapa wayang. Mereka pentaskan sendiri secara bergantian di gubuk kebun. Penonton sesama teman. Suara gamelannya? Mulut manusia kan serba guna.

BACA JUGA: Pesona Wisata Khas Tionghoa Ini Cocok Dikunjungi Saat Liburan Imlek

Namun, sejak lulus sekolah dasar sampai kuliah, Iskandar tidak lagi bersinggungan dengan wayang secara intens. Justru saat sudah bekerja sebagai auditor internal dan manager keuangan di beberapa perusahaan di Jakarta sejak 1997, dia kembali bersentuhan dengan kenangan masa kecilnya. Sepulang kerja, dia melukis wayang baik di media kanvas, kaca, atau lainnya.

Meski terkesan tidak nyambung, studi ekonomi yang ia ambil justru menjadi penguat keputusannya di dunia seni. Dalam ekonomi ada analisis pasar dan pesaing, yang dia gunakan dalam memilih seni lukis wayang.

Iskandar Hardjodimuljo./Harian Jogja-Sirojul Khafid

Hal ini lantaran seni lukis abstrak, kontemporer, dan lainnya sudah banyak pelakunya. “Saya pengin pameran di luar negeri, tetapi misal seni lukis yang umum, perbandingannya bisa 1:1000 dengan seniman lain, banyak banget. Akhirnya saya putuskan seni lukis wayang, pertama karena cinta, kedua peta persaingannya belum banyak,” kata lulusan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Yayasan Keluarga Pahlawan Negara (STIE YKPN) Program Akuntansi ini.

“Saya juga ingin melestarikan seni wayang yang mulai dijauhi anak muda,” imbuh dia.

Kegiatan seni yang awalnya hanya dilakoni sepulang kerja, justru membuat Iskandar keluar dari pekerjaannya sekitar 2002. Bukan dipecat, tetapi lebih karena Iskandar lebih memilih fokus di dalam dunia seni.

Eksperimen

Iskandar menjadi salah satu undangan dalam gelaran Jakarta Biennale 2013 dengan tema Adakah Seni di Antara Kita? Kala itu belum ada ide yang spesifik. Pendanaan juga cekak. Iskandar yang kala itu sedang membangun kampung seni di bantaran Kali Ciliwung sempat kerepotan lantaran banjir. Bendungan yang jebol berdampak pada banjir setinggi atap rumah.

Setelah surut, banyak sampah yang tertinggal. Sampah seperti botol plastik, seng, bambu, sampai triplek ternyata berubah menjadi ide di kepala Iskandar.

Dia memanfaatkan semua itu sebagai media melukis wayang. Berbagai eksperimen kembali dia lakukan, seakan mengulang aktivitasnya semasa kecil bersama teman-teman di desa dahulu.

Dari situlah lantas muncul gagasan Wayang Uwuh, wayang yang terbuat dari bahan-bahan sampah.

“Wayang Uwuh yang kemudian dipamerkan di Taman Ismail Marzuki Jakarta bersama karya seniman 16 negara lainnya, mendapat sambutan yang meriah. Dari situ Iskandar sering diminta mengisi workshop di kampus, perusahaan, kampung, anak jalanan, dan lainnya. Termasuk pameran di Bangkok pada 2017,” kata bapak dua anak ini.

Wayang Uwuh sudah berhasil mejeng di beberapa pameran dan museum beberapa negara baik Asia, Eropa, dan Amerika.

BACA JUGA: Pentas Wayang Malioboro 1.000 Kelir Bakal Digelar Pekan Depan

Pria berusia 60 tahun ini juga pernah mengisi workshop dengan peserta dari kalangan akademisi berbagai benua. Termasuk juga memberikan pelatihan membuat Wayang Uwuh dari sekolah Indonesia sampai Korea Selatan.

Dalam setiap lokakaryanya, Iskandar selalu menggunakan bahasa Indonesia. Bukan karena tidak fasih bahasa Inggris, hal itu ia lakukan semata-mata untuk memperkenalkan bahasa ibunya pada dunia.

Berbagai pameran internasional itu pula yang membawa Wayang Uwuh memiliki ruang tetap di Bangkok Art and Culture Centre yang digelar di Thailand.

Pengelola SEA Junction yang berada di lantai IV mengambil Wayang Uwuh dari Indonesia dan menjualnya di sana. Dalam beberapa bulan sekali, mereka datang dengan membawa sebanyak mungkin Wayang Uwuh yang diproduksi Iskandar.

“Sekali ngambil sebanyak-banyaknya, pokoknya di sana laku. Bangkok sebagai wisata bertaraf internasional, membuat pembeli Wayang Uwuh juga dari berbagai negara,” katanya.

“Orang luar negeri bangga dengan wayang, justru orang Indonesia belum. Ukuran kaya orang luar negeri itu dengan koleksi barang seni, sementara [ukuran kaya] kita itu mobil dan rumah,” kata dia.

Salah satu kunci berhasilnya Wayang Uwuh menjelajah luar negeri lantaran adanya pembeda. Hal yang juga bisa dilakukan seniman lainnya, terutama yang masih muda. “Kreativitas yang akan diakui, harus punya hal yang lain, pembeda. [Walaupun] kalau pengin kaya jangan jadi seniman, seniman yang kaya bisa dihitung. Kecuali kalau Indonesia sudah jadi negara maju, dan indikator seseorang kaya dari memiliki koleksi karya seni,” kata Iskandar.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terbaru

Advertisement

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

Berita Pilihan

Advertisement

alt

Selebgram Ini Bagikan Kondisi Putrinya yang Masih Balita Dianiaya oleh Pengasuh

News
| Jum'at, 29 Maret 2024, 22:37 WIB

Advertisement

alt

Mengenal Pendopo Agung Kedhaton Ambarrukmo, Kediaman Sultan Hamengku Buwono VII

Wisata
| Senin, 25 Maret 2024, 20:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement