Advertisement
Melihat Estetika Keseharian dalam Kehidupan Pembuat Gerabah
Advertisement
Harianjogja.com, SLEMAN—Estetika keseharian menawarkan konsep baru dengan melihat hal-hal estetik dari pengalaman keseharian subjek, yang muncul sebagai penolakan pembahasan estitika klasik.
Hal ini yang diteliti Koniherawati, mahasiswa Program Doktor Kajian Budaya, Kajian Seni dan Masyarakat, Universitas Sanata Dharma (USD) dalam disertasinya.
Advertisement
Koniherawati mempresentasikan disertasinya yang berjudul Estetika Keseharian Masyarakat Pedusunan Pembuat Gerabah di Sambirata, Purbalingga, pada Sidang Terbuka Ujian Promosi Doktor, di Ruang Koendjono, Gedung Pusat USD, Rabu (8/2/2023), dengan promotor Praptomo Baryadi I. dan co-promotor St. Sunardi.
Ia menjelaskan estetika klasik yang dikenalkan oleh Kant berfokus pada masalah keindahan yang menggunakan inderawi untuk mengamati suatu objek seni atau alam. Estetika klasik biasa dikenal dengan estetika barat.
“Dalam estetika keseharian iniada perubahan budaya yang mengubah dari kesadaran individu menjadi ketidaksadaran karena proses terus-menerus dilakukan sehari-hari, bahkan sudah menjadi kebiasaan atau kegiatan rutin yang cenderung terlihat membosankan,” ujarnya.
Estetika keseharian menawarkan kolaborasi antara estetika barat dan timur. Pada budaya kontemporer seni, ada gerakan ‘kehidupan sebagai seni’ yang menggambarkan elemen kehidupan keseharian menjadi seni.
Estetika keseharian diwarnai dengan rutinitas, keakraban, normalitas, kontinuitas dan proses aklimatisasi yang lambat. “Tujuan estetika keseharian bukanlah inventasisasi benda dan kegiatan, melainkan cara pengalaman berdasar pada sikap yang kami ambil,” katanya.
Pandangan baru estetika keseharian ini membawanya meneliti kehidupan keseharian perajin gerabah tradisional yang sudah turun temurun mewarisi keahlian membuat gerabah dan masih tetap bertahan di tengah perkembangan pesat teknologi saat ini.
“Gerabah dibuat dari tanah, merupakan kearifan purba yang dari sana saya melihat adanya kearifan lokal yang dimiliki oleh manusia purba, nenek moyang, dalam menciptakan melalui proses penyesuaian diri manusia terhadap alam sekitarnya,” ungkapnya.
Pembuatan gerabah di Dusun Sambirata, Purbalingga, masih menggunakan teknik yang sama dengan yang digunakan oleh nenek moyang zaman neolithic, dengan sejumlah tahapan meliputi ndudug, nggejrot, muter, jemur, notok, jemur, ngerik, jemur, mbatik, jemur, ngobar, dan diakhiri dengan nyumpit lalu ngusung ke pengepul.
Proses pembuatan gerabah tradisional ini seperti terlihat hanya fisiknya saja yang bergerak. Padahal, di dalamnya terdapat pengolahan rasa yang tercipta dengan baik, yang oleh orang Jawa disebut wiromo atau ritme.
Ritme tersebut akan menciptakan harmoni dalam hubungan antara satu sama lain. “Harmoni hubungan masing-masing bagian seperti cepat dan lambat, dalam dan dangkal, lemah dan keras, halus dan kasar, karena ada bagian laku yang bergantian sehingga bersifat hidup,” kata dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Bappenas Sebut Telah Masukkan Program Makan Siang Gratis ke Dalam RKP 2025
Advertisement
Piknik dan Camping di Nawang Jagad Kaliurang: Info Lokasi, Jam Buka, dan Biaya Tiket Masuk
Advertisement
Berita Populer
- Berikut Jadwal Lengkap KA Prameks Jogja Kutoarjo Selama Mei 2024
- Jadwal Keberangkatan Bus Damri untuk Jogja dan Sekitarnya, Cek di Sini
- Cek Prakiraan Cuaca di Jogja Hari Ini, Suhu Udara Mencapai 30 Derajat Celcius
- Top 7 News Harianjogja.com Senin 6 Mei 2024, Lonjakan Kasus DBD di DIY, Usulan CPNS, Jadwal Haji hingga Perkembangan Gunung Merapi
- Jadwal Pemadaman Listrik di Kota Jogja dan Bantul Hari Ini, Mulai Pukul 10.00 WIB
Advertisement
Advertisement