Advertisement
Kritikan Pedas Pemberian Gelar Profesor Kehormatan, Dosen UGM: Intelektualitas Kalah dengan Pragmatisme
Advertisement
Harianjogja.com, SLEMAN—Belakangan ramai penolakan dari dosen UGM mengenai pemberian gelar profesor kehormatan untuk tokoh yang bukan akademisi. Kritikan pedas dilayangkan ihwal rencana pemberian gelar tersebut.
Dosen dari berbagai fakultas di Universitas Gadjah Mada (UGM) ramai-ramai menolak pemberian gelar honorary professor atau Guru Besar Kehormatan kepada kalangan non akademik dan pejabat publik.
Advertisement
Guru Besar Fakultas Hukum UGM, Sigit Riyanto mengatakan salah satu pejabat yang banyak disebut akan diberi gelar adalah Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo.
"Yang banyak disebut [akan dapat gelar] Gub BI," ucapnya, Rabu (15/2/2023).
Perry merupakan Sarjana Ekonomi UGM 1982. Mendapatkan gelar M.Sc dalam bidang ekonomi moneter dan internasional dari Iowa State University, Ames USA 1989. Lalu di universitas yang sama mendapatkan gelar Ph.D bidang ekonomi moneter dan internasional pada 1991. Dia menjabat Gubernur BI selama dua periode.
Sigit mengatakan bagi dosen atau akademisi, jabatan profesor atau guru besar merupakan cita-cita dan motivasi dalam menjalani profesi. Guru besar merupakan penanda puncak karir dan dedikasinya sebagai seorang dosen. Untuk mencapainya diperlukan proses dan jalan yang panjang.
BACA JUGA: Resmi! Erick Thohir Terpilih Jadi Ketua Umum PSSI
Beberapa syarat yang harus dipenuhi yakni menempuh gelar pendidikan doktor atau S3. Dibutuhkan waktu puluhan tahun untuk mencapai jenjang guru besar.
"Bagi perguruan tinggi, keberadaan profesor dipandang sebagai salah satu penentu kualitas, kemajuan, reputasi dan wibawanya di hadapan komunitas akademik dan masyarakat," ucapnya.
Menurutnya, pengangkatan profesor kehormatan karena adanya kepentingan pragmatis individu atau kelompok, dapat dianggap diskriminatif. Mengabaikan prinsip kesetaraan, keadilan, dan mengkhianati dedikasi para dosen yang berjuang dengan berbagai upaya untuk mencapai posisi guru besar.
"Betapa tidak, para dosen di perguruan tinggi harus berjuang keras puluhan tahun untuk mencapai posisi profesor dengan berbagai beban kinerja, belitan regulasi dan birokrasi."
Sigit mengkhawatirkan kebijakan semacam ini akan menimbulkan demoralisasi bagi para dosen dan akademisi yang ada di perguruan tinggi. Kepercayaan dosen terhadap martabat profesi serta institusinya tergerus, tata kelola pendidikan tinggi tidak bisa diandalkan dan tidak memberi harapan.
"Semangat pengabdian dan dedikasi terhadap tugas dan tanggung jawabnya sebagai pendidik dan intelektual merosot," lanjutnya.
Merendahkan Reputasi
Ia berpandangan pengangkatan profesor kehormatan yang tidak berkontribusi pada pencapaian misi utama perguruan tinggi, justru merendahkan martabat dan reputasi. Merusak ekosistem, dan tata kelola.
Kebijakan otoritas perguruan tinggi yang didasari kepentingan pragmatis individu atau kelompok, sama saja menggadaikan etika dan standar akademik, bertentangan dengan karakter cendekiawan, bahkan membusukkan institusinya.
"Situasi semacam itu juga menguatkan asumsi bahwa di lingkungan perguruan tinggi pun intelektualitas seringkali dikalahkan oleh pragmatisme dan private interest."
Wakil Rektor UGM Bidang Kemahasiswaan, Pengabdian kepada Masyarakat, dan Alumni, Arie Sujito mengatakan ini [pemberian gelar Guru Besar Kehormatan] merupakan peraturan Menteri, mestinya ditujukan kepada Menteri.
"Dan UGM belum menjalankan peraturan itu apalagi memberi gelar," katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Balas Serangan Roket Hamas yang Tewaskan 3 Tentara, Israel Bombardir Rafah
Advertisement
Piknik dan Camping di Nawang Jagad Kaliurang: Info Lokasi, Jam Buka, dan Biaya Tiket Masuk
Advertisement
Berita Populer
- DPRD Kota Jogja Dorong Pemkot Rampungkan TPS 3R Sesuai Target
- Pemda DIY Usulkan 2.944 Formasi CASN Tahun Ini
- Rayakan Kemenangan Prabowo-Gibran, Ormas Rejo Semut Ireng Gelar Grebeg Tumpeng
- Berikut Jadwal Lengkap Keberangkatan Jemaah Haji DIY, Kloter 47 Berangkat 24 Mei
- Bawaslu Antisipasi Kerawanan Tahapan Pilkada Kota Jogja 2024
Advertisement
Advertisement