Advertisement
Marak Pungli oleh Sekolah, LO DIY Periksa 2 Sekolah di Sleman dan Gunungkidul
Advertisement
Harianjogja.com, JOGJA—Sejumlah sekolah negeri di DIY dilaporkan menarik pungutan dengan kedok sumbangan. Penarikan sumbangan yang sifatnya diharuskan itu dilakukan sekolah dengan beberapa modus.
Kepala Keasistenan Pemeriksaan Laporan Ombudsman DIY, Muhson menyampaikan berdasarkan laporan yang diterimanya Juni 2023, saat ini pihaknya tengah memeriksa 1 SMKN di Sleman dan 1 SMAN di Gunungkidul. “Untuk dua sekolah ini [laporan yang diterima] karena sumbangan pendidikan tapi seperti punungutan,” katanya, Minggu (2/7/2023).
Advertisement
Dia menyampaikan siswa masing-masing kelas di kedua sekolah itu diminta untuk membayar sumbangan dalam sekali masa pembayaran dengan besaran nominal dan waktu pemberiannya telah ditetapkan pihak sekolah. “Detail kasusnya masih kami pelajari dan klarifikasi, jadi kami belum mengeluarkan hasil akhirnya,” katanya.
Menurut Muhson biaya penyelenggaraan pendidikan di SMAN/SMKN dalam bebera kasus, lebih tinggi daripada yang dianggarkan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Sehingga akhirnya beberapa sekolah mengenakan sumbangan kepada siswa-siswinya.
“Memang kalau terlepas dari itu, alasan sekolah SMA dari segi pembiayaan ada Satuan Biaya Masuk [SBM]-nya, tetapi kurang lebih dana APBN dan APBD tidak mencukupi untuk standar minimal pengelolaan sekolah atau siswanya, sehingga masih membutuhkan pemasukan atau tambahan dari yang lain, tetapi tadi mekanismenya tidak sesuai,” katanya.
BACA JUGA: Wali Murid di DIY: Kalau Pungutan Dilegalkan, Pungli di Sekolah Makin Merajalela
Menurutnya ketentuan regulasi pengenaan sumbangan, diatur bahwa sumbangan yang diterapkan sekolah harus bersifat sukarela, pengenaan sumbangan yang ditetapkan besaran nominal dan tenggang waktunya dilarang. “Kalau yang boleh sumbangan. Sumbangan kan tidak boleh ada jangka waktunya,” katanya.
Diberitakan sebelumnya, Sekretaris Sarang Lidi, Yuliani Putri Sunardi mengaku menerima laporan dari dua SMPN di Bantul. Dia menyampaikan di dua sekolah tersebut, Paguyuban Orangtua (POT) meminta siswa kelas VII diminta untuk membeli seragam seharga Rp1,1 hingga Rp1,3 juta tergantung ukuran seragam.
Dalam paket tersebut, siswa akan menerima bahan untuk membuat 1 stel seragam putih putih; 1 stel seragam putih biru; 1 stel seragam pramuka; 1 stel seragam identitas; 1 stel seragam olahraga; 1 jas almamater; dan atribut sekolah.
Khusus siswa putri akan mendapat tambahan 2 potong jilbab putih, 1 potong jilbab coklat, dan 1 potong jilbab identitas. Dalam ketentuan tersebut siswa diwajibkan untuk membeli satu paket seragam atau tidak boleh ecer, dan tidak boleh mencicil.
Menurut Yuliani harga yang dikenakan tergolong tinggi dari harga normalnya. “Penjualan seragam mahal banget, padahal kalau beli sendiri satu paket tidak sampai seharga itu,” katanya saat dihubungi melalui telepon, Minggu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Ancam Kebebasan Pers, RUU Penyiaran Jadi Biang Tak Kredibelnya Media di Indonesia
Advertisement
Tidak Hanya Menginap, Ini 5 Hal Yang Bisa Kamu Lakukan di Garrya Bianti Yogyakarta
Advertisement
Berita Populer
- Terbaru! Jadwal Kereta Bandara YIA Selasa 14 Mei 2024, Harga Tiket Rp20 Ribu
- Jadwal Kereta Api Prameks Jogja-Kutoarjo Selasa 14 Mei 2024
- Operasi Gabungan di Depan Pasthy, Belasan Kendaaran Tanpa Kelengkapan Surat Terjaring Petugas
- Long Weekend, Gembira Loka Dikunjungi 30.000 Wisatawan
- Jadwal Terbaru! KRL Solo-Jogja, Berangkat dari Palur Selasa 14 Mei 2024
Advertisement
Advertisement