Advertisement

Cerita Para Pengusaha Pertashop yang Rugi karena Bensin Eceran

Anisatul Umah
Kamis, 13 Juli 2023 - 16:47 WIB
Budi Cahyana
Cerita Para Pengusaha Pertashop yang Rugi karena Bensin Eceran Kondisi Pertashop di Mangunan, Bantul yang tengah ditutup sementara, Rabu (12/7/2023). - Harian Jogja/Anisatul Umah

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJA—Bisnis Pertamina Shop (Pertashop) di sejumlah wilayah di Tanah Air mulai goyah. Disparitas harga dituding sebagai biang menurunnya bisnis yang dikenalkan Pertamina sejak awal 2020 tersebut.

Antrean pembeli tampak di beberapa stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) di jalan raya Imogiri Timur. Sementara Pertashop di Mangunan, Bantul, ditutup sementara. Pertashop yang dibangun oleh badan usaha milik desa atau bumdes dan beberapa investor ini masih beroperasi meski terseok-seok.

Advertisement

Di sepanjang jalan tanjakan menuju Mangunan juga banyak pengecer bensin jenis Pertalite. Tentu saja harga Pertalite lebih murah daripada Pertamax yang dijual Pertashop. Kondisi ini juga menjadikan Pertashop makin terpuruk.

Carik Mangunan, Dwi Eko Susanto, sekaligus salah satu pemilik Pertashop mengenang janji manis yang disampaikan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), tiga tahun lalu di awal 2020. Bersama dengan Bupati Bantul dan Manager Regional Pertamina Jateng dan DIY, dia diajak bertemu secara daring. Bumdes-bumdes diberi kesempatan mengalokasikan dana desanya untuk modal membangun Pertashop. Kala itu biaya yang dibutuhkan sekitar Rp500 juta, separuhnya sudah jadi modal untuk beli modular.

“Waktu itu kami berusaha push dengan dana desa untuk modal bumdes, ternyata gak bisa cukupi, hanya dapat Rp50 juta. Sementara sudah telanjur daftarkan diri ke Pertamina pada 2020,” ucapnya saat ditemui Harian Jogja di Kantor Kalurahan Mangunan, Rabu (12/7/2023).

Berbagai jalan keluar dicari agar modal tertutupi. Pertamina sudah mengeluarkan izin setelah menggelar survei dan menyatakan kelayakan. Akhirnya tiga orang termasuk carik membuat CV dan menyertakan modal sampai terkumpul Rp500 juta.

“Saya dan beberapa teman, tiga orang membuat CV kerja sama dengan Bumdes Mangunan, tapi modalnya dari CV, bumdes Rp50 juta, kami bergerak dan deposit ke bank Rp250 juta sebagai salah satu syarat sebelum dibangun, baru modular dikirim,” ujarnya.

Saat itu menurutnya tidak ada syarat yang sulit. Hanya izin dari lurah dan sewa tanah. Lahan yang digunakan adalah tanah kas desa (TKD) dengan membayar sewa Rp3 juta per tahun.

Setelah Pertashop dibuka, janji manis itu terbukti. Dalam dua sampai tiga bulan keuntungan bersih mencapai kisaran Rp10 juta, setelah dipotong gaji karyawan dan lainnya.

“Kami sangat senang ada perputaran ekonomi yang bagus, dari investor senang. Bumdes juga akan dapat income, bahkan bumdes bisa sertakan modal di tahun berikutnya dari mulanya Rp50 juta [saham terbesar bisa diambil alih bumdes].”

BACA JUGA: Kisah Keluarga Sumiran Penghuni Kampung Mati di Kulonprogo, Jalan 2 Km ke Rumah Tetangga

Kabar baik bisnis Pertashop tidak berlangsung lama. April 2022 harga Pertamax naik dari Rp9.000 per liter jadi Rp12.500 per liter. Kenaikan masih berlanjut di September 2022 menjadi Rp14.500 per liter meski kini sudah kembali turun jadi Rp12.500 per liter.

“Kenaikan April awalnya jadi Rp12.000 sekian sudah mulai turun omzet. Dari mulanya Rp800.000 per hari penjualan 800-1.000 liter, setelah kenaikan anjlok tinggal 300-400 liter, naik lagi jadi Rp14.000 sekian turun lagi omzet dan minus,” sesalnya.

Saat ini untuk operasional saja, Pertashop sudah mengambil uang dari kantong pribadi. Sebab pendapatan tidak cukup lagi. Ia juga harus menanggung utang ke bank Rp250 juta dengan cicilan sekitar Rp4 juta per bulan. Dalam kondisi yang sempit dan sulit, regulasi Pertashop bertambah terus dan semakin rumit. Sewa lahan yang mulanya cukup dengan surat dari lurah kini harus ke notaris. Setelah itu perlu izin Persetujuan Bangunan Gedung (PBG), Sertifikat Laik Fungsi (SLF).

“Pendirian Pertashop disamakan dengan pendirian SPBU. Kami sudah dedel duel, sudah minus, dibebankan lagi. Pemerintah buat regulasi yang di belakang mainnya, kalau di depan merasa kesulitan ya sudah gak usah [bangun]. Kalau mau maju [pertahankan usaha] sampai kapan pemerintah belum ada kepastian,” katanya.

Salah satu solusi yang ditawarkan adalah bisnis non-fuel seperti elpiji, minimarket, dan lainnya. Tapi menurutnya sulit. Misalnya untuk elpiji, yang boleh dijual adalah epiji nonsubsidi. Sementara masyarakat di perdesaan memanfaatkan elpiji subsidi. Ia berharap ada perlakuan khusus bagi Pertashop, misalnya dengan meningkatkan margin menjadi Rp1.500 per liter sehingga dengan penjualan 200-300 liter per hari masih bisa menutup operasional.

“Kami sudah adukan ke Komisi VII, jadi kami iuran setiap Pertashop seikhlasnya untuk berangkat ke Jakarta. Meski belum ada titik terang, minimal sudah kami suarakan sampai Pusat.”

Jika usahanya ditutup, aset seperti modular juga tidak bisa dikembalikan. “Pasrah saja, saya sudah gak berpikir terlalu dalam. Kalau gak ada solusi, tak bakar [saya bakar], tak pindah [saya pindah] buat usaha yang lain gitu saja. Satu saya malu, kedua kalau mikir itu habis energi dan uang.”

BACA JUGA: Pemburu Harta Karun Kali Oya Gunungkidul: Temukan Keris Emas, Jadi Buruh Bangunan Saat Hujan

Pemilik salah satu Pertashop di Gedangsari, Gunungkidul, Suharjo mengatakan agar Pertashop bisa tetap hidup seharusnya Pertalite tidak dijual bebas. Di tengah disparitas harga yang tinggi, pengecer Pertalite mudah ditemukan. Kondisi ini semakin mematikan bisnis Pertashop. “Di lapangan penjual eceran masih banyak. Kami ini yang resmi, secara izin legal belum untung pun sudah ditarik pajak dan lain-lain.”

Selain membatasi Pertalite, ia berharap agar keuntungan yang diberikan bisa naik. Saat ini keuntungan Pertashop sekitar Rp850 per liter. Masih ada kerugian lain yang harus ditanggung yakni losses.

Losses harian di kisaran 1%, sementara losses pengiriman bisa sampai 30 liter. Ia pernah mencatat losses tertinggi selama satu bulan 159 liter dan paling rendah 59 liter. Berbeda dengan SPBU, menurutnya Pertashop tidak bisa komplain.

“Kami tertekan losses banyak. Pengiriman sebulan bisa tiga sampai empat kali. Pertashop saya masih berjalan karena lokasinya yang strategis. Kalau penjualan hanya 200 liter jelas gak nutup, saya jamin itu,” ucapnya.

Area Manager Communication, Relations, & Corporate Social Responsibility Regional Jawa Bagian Tengah PT Pertamina Patra Niaga, Brasto Galih Nugroho, mengatakan ambruknya bisnis Pertashop masih dibahas.

BACA JUGA: Kegelisahan Pemain Boneka Magis Nini Thowong dari Bantul

“Terkait audiensi Paguyuban Pengusaha Pertashop Jateng DIY dan Perhimpunan Pertashop Merah Putih Indonesia dengan Komisi VII DPR RI pada, Senin [10/7], PT Pertamina Patra Niaga sedang melakukan pembahasan dan koordinasi terkait hal ini,” ucapnya.

Fluktuasi harga BBM nonsubsidi menjadi salah satu faktor anjloknya penjualan melalui Pertashop. Saat ini, kata Brasto, Pertamina mendorong Pertashop memperluas bisnis non-fuel sehingga pendapatan pengusaha tidak terpaku pada penjualan BBM saja.

“Sebagian sudah merambah bisnis non-fuel, misal tambal ban, minimarket, jasa ekspedisi, outlet elpiji nonsubsidi, rumah makan, kafe, dan sebagainya," jelasnya.

Pakar ekonomi dan bisnis Universitas Gadjah Mada (UGM), Profesor Mudrajad Kuncoro, menilai Pertashop masih sangat dibutuhkan masyarakat sehingga Pertamina seharusnya memperluas ke berbagai wilayah terpencil. “Ini program bagus sehingga harus diperluas dan menjangkau daerah-daerah yang membutuhkan, misalnya pesisir atau daerah pegunungan yang susah dapat pasokan energi,” katanya kepada Antara.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Berita Pilihan

Advertisement

alt

Kepala Rutan Nonaktif KPK Ajukan Praperadilan Kasus Pungli

News
| Rabu, 08 Mei 2024, 15:27 WIB

Advertisement

alt

Piknik dan Camping di Nawang Jagad Kaliurang: Info Lokasi, Jam Buka, dan Biaya Tiket Masuk

Wisata
| Sabtu, 04 Mei 2024, 09:37 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement