Advertisement

Museum Wahanarata, Terus Bertahan Lintasi Zaman

Stefani Yulindriani Ria S. R
Jum'at, 04 Agustus 2023 - 18:27 WIB
Maya Herawati
Museum Wahanarata, Terus Bertahan Lintasi Zaman Pengunjung melihat koleksi Kagungan Dalem Museum Wahanarata di Jogja, Selasa, (18/7/2023). - Antara - Hendra Nurdiyansyah

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJA—Museum Wahanarata Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat hadir dalam kemasan yang lebih modern dan interaktif.

Sebuah bangunan berdiri kokoh dengan cat putih pada dindingnya dan hijau pada bilik kayu jendelanya di Jalan Rotowijayan, Kemantren Kraton, Kota Jogja. Di bagian beranda depannya, ada dua pahatan menyerupai kepala kuda yang tergantung untuk menyambut mereka yang datang. Dalam bangunan itu, 23 kereta kencana tertata rapi dan terawat. Usianya yang lampau tak membuat kemegahannya luntur.

Advertisement

Dalam tangan dingin Raden Riyo Chandrakusuma atau yang akrab disapa Denmas Diptya selaku Wakil Penghageng Kagungan Dalem Museum Wahanarata, sentuhan modernisasi dalam benda-benda pusaka di museum tersebut terwujud nyata. Dengan mengadopsi teknologi augmented reality (AR), sejarah Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat; Sumbu Filosofi; bersama dengan kisah museum kereta disajikan.

BACA JUGA: Generasi Milenial di DIY Diajak Berpartisipasi Dukung Transmigrasi

Teknologi yang juga disajikan dalam beberapa museum di berbagai belahan dunia menjadi satu dari sekian inovasi yang dirancang untuk modernisasi Museum Wahanarata. Melalui teknologi tersebut, Museum Wahanarata ingin menarik minat generasi muda untuk turut berkunjung ke lokasi yang berada persis di barat Kraton tersebut.

Salah satu pengunjung museum, Hani Lestari, penduduk Kota Jogja, merasa tertarik berkunjung ke museum setelah melihat sejumlah unggahan di sosial media. Berkunjung ke Museum Wahanarata kali ini memberikan pengalaman yang menarik untuk Hani. “Bisa belajar sejarah sekaligus jalan-jalan,” katanya belum lama ini.

Pengunjung lainnya, Joko Purnomo yang datang dari Surakarta bersama keluarganya, ingin mengajak putra putrinya jalan-jalan sekaligus mengetahui sejarah, sehingga akhirnya dia memilih Museum Wahanarata sebagai destinasi. “Tempatnya bagus, cocok untuk anak-anak, ada tempat mewarnainya juga,” katanya.

Kandang Kuda

Diptya percaya, museum tersebut harus terus terbuka dan mengikuti perkembangan zaman, selagi aturan-aturan dalam melestarikan benda-benda pusaka yang ada di sana tetap dijaga.

Ia bercerita pada masa pemerintahan Sri Sultan HB VI, bangungan utama Museum Wahanarata telah berdiri sebagai tempat menyimpan kereta kencana yang dikelilingi kandang kuda di sekelilingnya. Kemudian pada 1992, tempat tersebut dibuka sebagai museum dengan nama Museum Kereta Kraton.

Diptya memperkirakan keberadaan Kereta Kanjeng Nyai Jimat yang dipergunakan pada masa Sri Sultan HB I (1755-1792) hingga Sri Sultan HB III (1812-1814), mengindikasikan tempat penyimpanan kereta tersebut sudah ada jauh sebelum pemerintahan Sri Sultan HB VI.

BACA JUGA: Moeldoko Pasang Badan untuk Jokowi, Rocky Gerung Bilang Mirip Preman

Sebagai kereta kencana tertua koleksi Museum Wahanarata, menurut Diptya, Kereta Kanjeng Nyai Jimat cukup unik karena belum pernah direstorasi sama sekali. Jika kita lihat perlahan, ornamen ukiran yang menghiasi kereta kencana tersebut masih terlihat jelas. Kemegahan yang ada dalam kereta itu pun tak pudar.

Kereta buatan Belanda hadiah dari Gubernur Jenderal VOC, Jacob Mussel, tersebut pun saat ini tidak dapat diambil gambarnya. Pengunjung dapat menyaksikan keelokan kereta itu dengan berkunjung langsung ke Museum Wahanarata.

Kereta Kanjeng Nyai Jimat dijadikan nama karena ada patung perempuan di bawah pijakan kaki sais. Sementara bagian belakang kereta ada tempat bagi penongsong atau abdi dalem yang membawa payung kerajaan di masa itu. Kereta yang diperkirakan sudah ada sejak 1755 tersebut bergaya Renaissance, gaya khas kereta kerajaan di Eropa.

Diptya menuturkan kereta kencana yang digunakan Sri Sultan pada setiap masanya biasanya ditarik oleh delapan ekor kuda. Dengan begitu, setiap kali keberangkatan kereta kencana akan membentuk iring-iringan yang panjang. Oleh karena itu, ada area melingkar di sisi barat Kraton Ngayogyakarta atau yang saat ini berdiri Masjid Rotowijayan. Menurut Ditya, area tersebut dibuat melingkar untuk memudahkan iring-iringan kereta kencana Sultan dapat menaikturunkan Sultan pada masa itu.

Hadiah Ratu

Kereta pada masa lalu tidak hanya digunakan sebagai transportasi, tetapi juga menjadi bagian dari upacara kebesaran Kraton Ngayogyakarta. Kereta Garuda Yeksa misalnya, yang digunakan dalam kirab penobatan Sri Sultan HB VII hingga Sri Sultan HB X. Sebelum masa kemerdekaan, kereta tersebut digunakan pula untuk tendhak loji atau kunjungan Sultan ke pemerintah Hindia Belanda di kantor atau loji.

Kereta tersebut dibuat Belanda pada 1861 dan menjadi hadiah Ratu Wilhelmina kepada Sri Sultan HB VI (1855-1877). Model kereta tersebut pun dibuat sama dengan kereta kencana yang digunakan Kerajaan Belanda. Di bagian pintu kereta pun dapat ditemukan logo Kerajaan Belanda bersama dengan Logo Sri Sultan HB VI. Di bagian atap kereta tersebut terdapat mahkota yang terbuat dari emas.

Dilihat dari tempat produksinya, sebagian besar kereta kencana dibuat di luar negeri. Meski begitu, bahan baku pembuatan kereta tersebut seperti kayu, karet, logam, dan timah diambil dari Jawa dan Sumatra.

Dari sekian banyak kereta kencana produksi luar negeri, ada pula kereta kencana produksi dalam negeri yang dibuat masa Sri Sultan HB VIII yakni Kereta Kapulitin (1925), Kereta Premili (1921), Kereta Jatayu (1931), dan Kereta Rata Pralaya (1938).

Dalam kisah yang tersaji dalam selembar kertas di depan Kereta Rata Pralaya, rata bermakna kereta dan pralaya bermakna kematian. Kisah unik tersingkap di baliknya.

Kereta tersebut dibuat semasa Sri Sultan HB VIII. Bentuknya sangat berbeda dengan kereta lainnya yang cukup minimalis. Kereta Rata Pralaya dibuat memanjang dengan bingkai kaca di sekelilingnya dan bercat kuning gading. Kereta yang digunakan khusus untuk prosesi pemakaman tersebut ditarik delapan ekor kuda, sama seperti kereta yang digunakan Sri Sultan semasa hidupnya.

Menurut kisah yang tersaji di Museum Wahanarata, Kereta Rata Pralaya dipesan Sri Sultan HB VIII pada 1938. Setahun setelahnya, kereta tersebut digunakan untuk mengantar Sri Sultan HB VIII ke peristirahatan terakhirnya di Imogiri.

Kuda kereta tersebut akan ditutup kain putih dengan dituntun oleh pengawal dengan berjalan kaki. Kereta tersebut terakhir digunakan untuk mengantar kepergian Sri Sultan HB IX pada 1988.

Meski fungsi kereta kencana sebagai sarana transportasi mulai digantikan kendaraan bermesin seperti mobil atau motor sejak 1930-an, dalam beberapa prosesi upacara kereta kencana di Museum Wahanarata masih digunakan. Salah satunya kirab pernikahan GKR Hayu, putri keempat Sri Sultan HB X, pada 2010 lalu yang menggunakan 12 kereta kencana.

Menurut Diptya, setiap harinya kereta dibersihkan, dan direstorasi dalam kurun waktu tertentu. Beberapa hari lalu, Kereta Kiai Garudha Yeksa direstorasi dengan menggandeng ahli dari Kraton Ngayogyakarta dan beberapa pakar dari Italia.

BACA JUGA: Jelang Salat Jumat, Mayat Bayi Ditemukan Dikerubungi Lalat di Depan Bengkel di Gunungkidul

Selain itu, ada juga jamasan sebagai upacara pembersihan kereta kencana yang diselenggarakan setiap tahun dalam bulan Suro.

Ubin pelataran Museum Wahanarata telah diubah. Dulu ubinnya terbuat dari bongkahan batu besar supaya tahan terhadap hentakan langkah kaki kuda yang cukup kuat. Kuda yang digunakan Kraton Ngayagyakarta bukan kuda sembarangan. Kuda penarik kereta dipilih secara khusus berdasarkan serat katuranggan.

Saat ini menurut Diptya, Kraton Ngayogyakarta tidak memiliki kuda. Apabila diperlukan, Kraton Ngayayogkarta akan menghubungi kerabat, atau beberapa pihak yang selama ini bersedia menyediakan kuda untuk keperluan upacara.

Diptya ingin generasi masa kini dan masa depan dapat mengerti dan mencintai kebudayaan yang ada. Diptya yang masih tergolong muda pun telah memikirkan berbagai inovasi yang akan diterapkan dalam museum tersebut, antara lain edukator khusus bagi anak-anak, ruang rapat di Museum Wahanarata, jalur dan toilet ramah difabel, dan berbagai inovasi lain.

“Beradaptasi dengan zaman, jangan sampai generasi yang akan datang tidak belajar mengenai sejarahnya, terutama budaya yang kita miliki. Kalau generasi mendatang tidak belajar, terus siapa yang melestarikan? Kami mencoba untuk mengajarkan generasi yang akan datang belajar dengan sesuai zamannya, yang welcome terhadap teknologi.”

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terbaru

Advertisement

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

Berita Pilihan

Advertisement

alt

Gugatan Kubu Pontjo Sutowo Ditolak PTUN, Penyegelan Hotel Sultan Sah

News
| Selasa, 07 Mei 2024, 21:27 WIB

Advertisement

alt

Piknik dan Camping di Nawang Jagad Kaliurang: Info Lokasi, Jam Buka, dan Biaya Tiket Masuk

Wisata
| Sabtu, 04 Mei 2024, 09:37 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement