Advertisement

Berkunjung ke Jogokariyan, Kampung dengan 750 Prajurit Kraton

Media Digital
Rabu, 09 Agustus 2023 - 11:43 WIB
Sunartono
Berkunjung ke Jogokariyan, Kampung dengan 750 Prajurit Kraton Prasasti Breaga Prajurit Jagakarya di kawasan Kampung Jogokariyan, Kota Jogja. - Harian Jogja/Sirojul Khafidz

Advertisement

JOGJA—Nama kampung di Jogja menyesuaikan filosofi tempat maupun pekerjaan warganya, termasuk Jogokariyan. Jogokariyan merupakan nama bregodo prajurit, yang menjadi bagian dari prajurit Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat. Jogo berarti menjaga, kariyo berarti pekerjaan atau tugas. Secara umum, Jogokariyan berarti wilayah yang pekerjaan warganya sebagai penjaga atau prajurit Kraton.

Bermula dari sekitar abad ke-18, para prajurit penjaga keamanan Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat masih tinggal di area dalam benteng. Ketua Rukun Kampung Jogokariyan, Muhammad Jazir, bercerita apabila kala itu prajurit terbagi dalam beberapa jenis, termasuk alteleri (prajurit pembawa meriam), infanteri (prajurit yang berjalan kaki) dan kafeleri (prajurit berkuda).

Advertisement

“Semasa fungsionalnya, ada sekitar 750 prajurit. Semula markasnya ada di dalam benteng Kraton, tetapi ketika penghuni di dalam benteng sudah padat, pada masa Sri Sultan HB IV, memindahkan abdi dalem prajurit keluar dari benteng,” kata Jazir.

BACA JUGA : Gegara Baku Hantam di Keraton Solo, Revitalisasi Keraton Belum Bisa Dimulai

Keberadaan prajurit yang berada di luar semakin memaksimalkan perannya untuk menjaga Kraton. Para prajurit dan keluarganya membuat permukiman di sisi paling Selatan Kraton, yang berbatasan dengan hutan tempat Raja berburu. Kawasan itu dahulu bernama Hutan Krapyak.

Memasuki tahun 1822, bagian Utara dari Hutan Krapyak dibabat untuk dijadikan hunian prajurit Jokokaryo dan keluarganya. Dari situlah, kampung hunian prajurit bernama Jogokariyan. Di sebelah Utara, Kampung Jokokariyan berbatasan dengan Kampung Mantrijeron, sebelah Timur berbatasan dengan Jalan Parangtritis, di arah Selatan berbatasan dengan Kampung Krapyak, serta sebelah Barat berbatasan dengan Jalan Panjaitan.

Untuk seragam, pakaian prajurit Jogokariyan disebut papasan. Dalam beberapa sumber, papasan berasal dari kata dasar papas, menjadi amapas, yang berarti menghancurkan. Arti umumnya adalah pasukan pemberani yang menghancurkan musuh. Papasan berbentuk empat persegi panjang dengan warna dasar merah, serta di tengahnya terdapat lingkaran warna hijau. Adapun senjata prajurit Jogokariyan berupa tombak dan senapan. Tombak pusakanya bernama Kanjeng Kiai Trisula.

“Memasuki masa Sri Sultan HB VIII, prajurit ini tidak lagi fungsional menjadi prajurit tempur, karena sudah dilucuti [tentara] Belanda dengan membangun Benteng Vredeburg di Utara Kraton. [Seiring berjalannya waktu] tinggal jadi prajurit untuk upacara, anggotanya [dari 750 menjadi] sekitar 75 orang untuk upcara adat,” katanya.

Tidak hanya menurun dari sisi jumlah, warga yang tinggal di Kampung Jogokariyan juga sudah beragam, tidak semuanya merupakan keturunan para prajurit di masa lalu. Keturunan prajurit yang hanya tinggal satu orang di Jogokariyan sudah meninggal dunia belum lama ini.

BACA JUGA : Gegara Baku Hantam di Keraton Solo, Perbaikan Bangunan pun Tak Tersentuh Pemerintah

Meski tidak ada keturunan para prajurit, kini para anak muda yang tinggal di Jogokariyan menghidupi warisan budaya ini dengan menjadi bregodo. Anggotanya para anak muda yang mengisi berbagai agenda di wilayah tersebut. Menjadi Bregodo Jogokariyan juga sudah tidak wajib keturunan prajurit, sehingga bisa lebih beragam dan segar.

“Agenda rutin bregodo latihan, saat ada upacara, prajurit perlu punya keahlian khusus, seperti musik dan lainnya,” kata Jazir. “Untuk Sabtu dan Ahad, [bregodo] melayani tamu masjid, mengenalkan kalau ini prajurit Jogokariyan, isinya anak-anak muda, untuk melestarikan.”

Mendekatkan Bregodo Jogokariyan di kegiatan masyarakat seperti masjid dan momen lainnya sebagai cara melestarikan budaya. Dengan tahu, maka harapannya masyarakat bisa memahami literasi sampai filosofi prajurit. Termasuk pakaian bregodo yang memiliki unsur batik, saat masyarakat membeli batik, tidak hanya terkesan membeli kain.

“Kalau hanya jual kainnya, [masyarakat] akan milih kain lain. Kalau kain punya narasi, orang membeli nilai, bukan sekadar membeli barang,” kata Jazir. (BPKSF)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terbaru

Advertisement

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

Berita Pilihan

Advertisement

alt

Mau Mengikuti Rangkaian Acara Waisak di Candi Borobudur? Simak Aturannya!

News
| Jum'at, 17 Mei 2024, 13:27 WIB

Advertisement

alt

Tak Mau Telat Terbang? Ini 5 Rekomendasi Hotel Bandara Terbaik di Dunia

Wisata
| Selasa, 14 Mei 2024, 22:37 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement