Advertisement

Polemik Program Nyamuk Wolbachia, Begini Penjelasan Lengkap Peneliti UGM

Yosef Leon
Jum'at, 17 November 2023 - 09:37 WIB
Abdul Hamied Razak
Polemik Program Nyamuk Wolbachia, Begini Penjelasan Lengkap Peneliti UGM Nyamuk / Ilustrasi Freepik

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJA—Program nyamuk berwolbachia yang diinisiasi oleh World Mosquito Program (WMP) tengah mendapat sorotan oleh berbagai pihak beberapa waktu belakangan. Penyebaran nyamuk di lokasi tertentu yang bertujuan untuk menekan kasus demam berdarah dengue (DBD) itu dikabarkan bisa memicu penyakit lain yang cukup serius. 

Peneliti WMP Jogja dr. Riris Andono Ahmad mengatakan, wolbachia merupakan bakteri alami yang hidup sebagai simbion atau menumpang pada tubuh organisme lain. Hal ini serupa pada tubuh manusia yang juga terdapat bakteri tetapi tidak menyebabkan penyakit apapun. Pun demikian dengan wolbachia yang hidup di tubuh serangga. 

Advertisement

BACA JUGA: Valid dan Teruji! Nyamuk Wolbachia Tak Berdampak Buruk ke Manusia

"Bakteri itu diambil dari lalat buah dan hanya bisa hidup dalam sel tubuh serangga, kalau keluar dari situ dia akan mati. Jadi wolbachia tidak akan memberikan dampak apapun terhadap inangnya apalagi manusia, karena dia tidak bisa hidup di luar sel tubuh serangga," katanya, Kamis (16/11/2023). 

Dari hasil penelitian yang dilakukan pihaknya, ketika bakteri wolbachia diambil dari lalat buah dengan teknik microinjection yakni menyuntikkan wolbachia ke dalam telur nyamuk Aedes Aegypti ternyata bakteri itu bisa memblokir replikasi virus dengue di dalam tubuh nyamuk tersebut. Biasanya dalam siklus penularan, jika nyamuk Aedes Aegypti menggigit orang yang terinveksi dengeu maka dia akan mengambil virus dari dalam tubuh pasien tersebut. 

"Dalam tubuh nyamuknya virus itu akan bereproduksi dan bereplikasi lebih banyak sehingga nanti dia akan efektif untuk menular ke orang lain, proses replikasi dalam tubuh nyamuk ini lah yang dihambat oleh bakteri wolbachia sehingga meskipun nyamuk itu menggigit orang yang terkena dengue karena virusnya tidak bisa mereplikasi menjadi banyak dia tidak mampu menularkan ke orang lain," ungkap dia.

Riris juga membantah program wolbachia menjadi penyebab dari timbulnya penyakit radang otak yang belakangan terdeteksi di wilayah DIY. Berdasarkan catatan ada belasan pasien yang mengidap penyakit itu bahkan sampai meninggal dunia. Menurut Riris, wolbachia tidak menimbulkan dampak apapun terhadap nyamuk apalagi manusia. 

BACA JUGA: Nyamuk Wolbachia Jadi Polemik, Dinkes: Belum Ada Rencana Penyebaran di Gunungkidul

"Terkait radang otak, itu beda ya. Itu adalah Japanese Encephalitis (JE) nyamuknya adalah Culex dan itu virus yang sama sekali beda dan nyamuknya juga beda," kata dia. 

Sementara sejak diberlakukan di Kota Jogja pada 2016-2020 lalu tingkat efektivitas wolbachia cukup signifikan di wilayah yang menjadi tempat diberlakukannya program ini. Program ini pun sudah disetop pada 2020 laku khusus untuk Kota Jogja. Sementara dua wilayah lain yakni Sleman dan Bantul sudah ditetapkan belum lama ini. 

"Soal efektivitas wolbachia kami kan melakukan penelitian sejak 2016 sampai 2020. Hasil penelitian di Jogja menunjukkan angka penurunan sampai 77 persen, jadi kami membagi Kota Jogja jadi dua bagian, ada wilayah yang disebar dan ada yang tidak. Di wilayah yang disebari itu kasus denguenya turun sampai 77 persen dibandingkan dengan yang tidak disebarkan. Sekarang kasusnya tentu jauh lebih turun lagi," jelasnya. 

"Jogja kan selesai pada 2020 setelah itu kami sebar di Sleman dan Bantul. Sleman pada 2021 dan Bantul pada 2022. Soal penurunannya mungkin bisa dicek ke Sleman yang sudah ada jeda satu tahun, mungkin kalau Bantul kan masih agak belum terlalu," pungkasnya. 

Sementara berdasarkan catatan selama Januari hingga November 2022, Dinas Kesehatan (Dinkes) DIY menemukan ada 2.027 kasus DBD dengan 16 orang meninggal dunia. Jumlah tersebut terbagi di wilayah Kota Jogja sebanyak 162 kasus, disusul Kulonprogo ada 210 kasus, disusul Sleman ada 289 kasus, Gunungkidul 454 kasus dan tertinggi Bantul ada 912 kasus. 

Sampai dengan September 2023 jumlah kasus DBD di Kota Jogja ada sebanyak 48 kasus. Jumlah ini menurun signifikan jika dibandingkan pada tahun 2022 sebanyak 150 kasus. Kepala Seksi Pencegahan Pengendalian Penyakit Menular dan Imunisasi Dinkes Kota Jogja Endang Sri Rahayu mengatakan, penurunan DBD di Kota Jogja disebabkan oleh musim kemarau yang berkepanjangan.

Selain itu, juga disebabkan oleh 80 persen penyebaran nyamuk ber-wolbachia untuk menurunkan kejadian DBD di wilayah itu. Penelitian ini sudah dilakukan sejak tahun 2017 dan terbukti efektif menurunkan angka kejadian demam berdarah di 45 kelurahan di Kota Jogja. "Bakteri Wolbachia yang dimasukan dalam nyamuk Aedes Aegypti pembawa DBD bisa menekan penyakit. Sehingga angka kasus DBD di Tahun ini sedang turun, selain diakibatkan oleh musim kemarau yang panjang," ungkapnya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Berita Pilihan

Advertisement

alt

Puluhan Benda Bersejarah dari Masa Majapahit, Dikembalikan AS ke Indonesia dan Kamboja

News
| Sabtu, 27 April 2024, 22:57 WIB

Advertisement

alt

Sandiaga Tawarkan Ritual Melukat ke Peserta World Water Forum di Bali

Wisata
| Sabtu, 20 April 2024, 19:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement