Advertisement

Perpres No. 78/2023 Berpotensi Permudah Penyerobotan Tanah Atas Nama Pembangunan

Lugas Subarkah
Jum'at, 29 Desember 2023 - 22:27 WIB
Mediani Dyah Natalia
Perpres No. 78/2023 Berpotensi Permudah Penyerobotan Tanah Atas Nama Pembangunan Ilustrasi pembangunan jalan tol. - Bisnis Indonesia/Abdullah Azzam

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJA—Presiden menerbitkan Peraturan Presiden (perpres) No. 78/2023 terkait dengan dampak sosial dalam penyediaan tanah untuk pembangunan nasional.

Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum (FH) UII melihat perpres ini akan memudahkan negara dalam menyerobot tanah rakyat atas nama pembangunan. Dalam siaran pers pada Jumat (29/12/2023), peneliti PSHK UII, Aprillia Wahyuningsih, menjelaskan perpres ini merupakan perubahan atas Perpres No. 62/2018 tentang Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan dalam Rangka Penyediaan Tanah untuk Pembangunan Nasional.

Advertisement

“Perpres mengubah beberapa ketentuan dan terdapat beberapa aturan tambahan. Akan tetapi, Penerbitan Perpres No. 78/2023 dinilai terlalu cepat dan terburu-buru karena kepentingannya untuk percepatan proses pengadaan tanah guna pembangunan Proyek Strategis Nasional [PSN],” katanya.

Baca Juga

Jokowi Resmi Teken Perpres Percepatan Pembangunan Bandara VVIP di IKN

Jokowi Terbitkan Perpres Pembangunan Bandara VVIP IKN

Konstruksi Tol Jogja-Solo Seksi 2 Terus Dikebut, Pembebasan Lahan Diklaim Lebihi 50%

Beberapa catatan dari PSHK FH UII, pertama, yakni pada pasal 5 berkaitan dengan penguasaan tanah oleh masyarakat yang akan diberikan santunan saat tanah yang mereka kuasai menjadi objek penyediaan tanah untuk pembangunan nasional.

Dalam ketentuannya, masyarakat harus dapat membuktikan telah menguasai dan memanfaatkan tanah secara fisik paling singkat 10 tahun secara terus menerus. Pada Perpres ini diatur dengan menambahkan frasa gubernur memiliki kewenangan dalam menetapkan jangka waktu penguasaan dan pemanfaatan tanah secara fisik yang berbeda yakni diluar angka 10 tahun.

“Hal ini tentu menimbulkan ketidakpastian hukum pada jangka waktu masyarakat yang berhak diberikan santunan. Penentuan jangka waktu yang tidak pasti oleh gubernur juga dapat berpotensi akan adanya penyalahgunaan kewenangan dalam melakukan penyediaan lahan untuk pembangunan nasional,” paparnya.

Kedua, pembuktian secara fisik selama 10 tahun tentu memerlukan bukti secara formil, hal ini mengancam keberadaan masyarakat hukum adat yang telah menempati tanah adatnya selama betahun-tahun bahkan ratusan tahun sebelumnya oleh nenek moyang mereka.

“Hingga saat ini negara belum mengatur mekanisme atas bentuk bukti formil hak atas tanah ulayat masyarakat hukum adat yang dimiliki secara komunal. Sehingga, pemberlakukan pembuktian sertfikat dan ketidapastian jangka waktu akan memudahkan tanah ulayat untuk dijadikan objek penyediaan lahan dan menyebabkan masyarakat hukum adat kehilangan tanah ulayatnya,” katanya. 

Ketiga, perpres ini mengatur berkaitan dengan masyarakat yang telah memenuhi kriteria akan mendapat santunan berubah uang dan/atau permukiman kembali. Berbeda dengan masyarakat pada umumnya, hubungan Masyarakat hukum adat terhadap tanahnya bukan hanya sekedar secara fisik dan ekonomi semata. Akan tetapi, terdapat hubungan spiritual antara masyarakat hukum adat dengan nenek moyang yang ada sebelumnya. 

Keempat, perpres ini bertentangan dengan amanat konstitusi Pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945 yang berbunyi ‘Negara mengakui dan menghormati kesaturan-kesatuan masyarakat hukum ada berserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat’.

Perpres juga bertentangan dengan Pasal 28H ayat (1) dan ayat (4) UUD NRI 1945 yang menjamin ‘Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan’ dan ‘Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun’.

Kelima, berbagai aturan dalam sektor pemanfaatan sumber daya alam termasuk tanah harus sesuai dengan ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945 yang bertujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat bukan hanya untuk keuntungan segelintir orang/kelompok saja.

“Sehingga berbagai aturan yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya alam yang tidak meimplementasikan aturan tersebut merupakan suatu tindakan pengkhianatan terhadap konstitusi dan konsep green constitution,” ungkapnya.

Rekomendasi

Atas beberapa catatan tersebut, PSHK FH UII merekomendasikan, Pertama, Presiden membatalkan Perpres No. 78/2023, karena selain akan mengakibatkan ketidakpastian, hukum aturan ini dapat menjadi penyebab terjadinya konflik agraria lebih banyak lagi di masa yang akan datang sehingga semakin jauh dari cita-cita reforma agraria.

Kedua, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai pembentuk peraturan perundang-undangan untuk kembali lagi membahas RUU Masyarakat Hukum Adat dan RUU Pertanahan agar terjaminnya kepastian hukum dan hak-hak masyarakat terhadap tanahnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terbaru

Advertisement

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

Belajar Berwirausaha lewat Bedah Buku

Belajar Berwirausaha lewat Bedah Buku

Jogjapolitan | 7 hours ago

Berita Pilihan

Advertisement

alt

Kemenlu Pastikan Tak Ada WNI Saat Pesawat Singapore Airlines Alami Turbulensi

News
| Rabu, 22 Mei 2024, 06:27 WIB

Advertisement

alt

Lokasi Kolam Air Panas di Jogja, Cocok untuk Meredakan Lelah

Wisata
| Senin, 20 Mei 2024, 07:17 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement