Advertisement

Pencegahan DBD, Gunungkidul Belum Terapkan Teknologi Nyamuk Wolbachia

Catur Dwi Janati
Rabu, 27 Maret 2024 - 22:57 WIB
Maya Herawati
Pencegahan DBD, Gunungkidul Belum Terapkan Teknologi Nyamuk Wolbachia Nyamuk / Ilustrasi Freepik

Advertisement

Harianjogja.com, GUNUNGKIDUL—Direktur Pusat Kedokteran Tropis UGM, Riris Andono Ahmad mengungkapkan hingga kini Kabupaten Gunungkidul memang belum menerapkan teknologi nyamuk ber-Wolbachia untuk penanggulangan Demam Berdarah Dengue (DBD). Bukan tidak bisa diaplikasikan di sana, hanya saja belum ada kerja sama pelepasan nyamuk ber-Wolbachia di Bumi Handayani.

"Ya bisa saja, dulu yang kami aplikasi di Sleman, Jogja, Bantul itu kan karena ketiganya merupakan wilayah penilaian kami. Sehingga memang kami punya kewajiban untuk melakukan implementasi di sana," ungkapnya, Rabu (27/3/2024)

Advertisement

Secara sains, biologiekologi maupun geografi, nyamuk ber-Wolbachia dijelaskan Riris bisa-bisa saja tumbuh dan berkembang di Gunungkidul. Maka topiknya bukan lagi bisa atau tidak pelepasan nyamuk ber-Wolbachia dilepaskan, melainkan bagaimana skema pendanaannya nanti.

"Isu utamanya kan terkait siapa yang mendanai. Jadi bukan masalah bisa tidaknya. Kalau misal Pemda Gunungkidul itu berkeinginan ada yang mendanai bukan hal yang sulit untuk dilakukan," kata Riris.

Diakui Riris, pelepasan nyamuk ber-Wolbachia di suatu wilayah memang tidak murah. Namun persepsi mahal atau tidaknya implementasi program ini cukup relatif. Seperti misalnya bila membandingkan nilai biaya implementasi nyamuk ber-Wolbachia dengan biaya yang kudu dikeluarkan pasien DBD. Aspek-aspek ini mungkin juga bisa jadi pertimbangan.

BACA JUGA: Penyelundupan Pil Koplo di Lapas Jogja Digagalkan, Kemenkumham DIY

Ketiadaan nyamuk ber-Wolbachia ini sedikit banyak berpengaruh pada penyebaran kasus DBD di Gunungkidul. Kondisi makin diperparah dengan musim yang mendukung untuk perkembangan nyamuk pembawa virus dengue.  "Karena sekarang sedang sikulsnya. Tidak hanya di Gunungkidul, tetapi juga di dunia juga begitu," katanya.

Selain itu, El Nino disebut-sebut Riris juga berdampak pada peningkatan kasus DBD. Bukan pada aspek keringnya, namun aspek peningkatan suhu selama El Nino.

"Jadi suhu yang lebih hanya itu menyebabkan nyamuknya itu lebih cepat menjadi dewasa. Kemudian menjadi lebih banyak telurnya, kemudian lebih tinggi tingkat perilaku menggigitnya," ujarnya.

Dengan ketiga kombinasi di atas, bila ada nyamuk yang membawa virus dengue tentu saja akan menimbulkan peningkatan penularan DBD.

Fenomena ini selanjutnya disusul dengan curah hujan yang relatif tinggi. Meski deras, hujan yang terjadi terbilang jarang-jarang, hal ini membuat genangan yang terbentuk pasca hujan menjadi tempat perkembangan nyamuk. Bila hujan sering turun, telur akan terus tersapu dengan air tanpa sempat berkembang.

"Kalau hujannya terus menerus dan deras, itu kan telurnya kaya di-closet di-flush. Mereka kan butuh genangan air untuk bertahan hidup," katanya.

Selama nyamuk ber-Wolbachia belum diterapkan, cara untuk mencegah penyebaran DBD adalah Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN). "PSN pasti, PSN itu harus rutin dan itu yang menjadi sangat sulit kan PSN-nya," katanya.

Berbicara soal anggaran, penerapan pelepasan nyamuk Aedes aegypti ber-Wolbachia juga terbukti memangkas anggaran pemerintah untuk melakukan fogging. Sebelumnya pada bulan November 2023 lalu, Peneliti Utama World Mosquito Program (WMP) Jogja, Adi Utarini menerangkan bahwa pelepasan nyamuk Aedes aegypti ber-Wolbachia menurunkan aktivitas fogging secara siginifikan. Penurunan aktivitas fogging mencapai 83 persen di area pelepasan nyamuk ber-Wolbachia. "Penurunan 83 persen fogging. Sehingga fogging sudah jauh lebih rendah saat ini," kata Uut.

Pernyataan Uut diperkuat dengan penjelasan Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit dan Pengelolaan Data dan sistem Informasi Kesehatan, Dinkes Kota Jogja, Lana Unwanah. Lana menerangkan pada tahun 2023 Dinkes Kota Jogja mulanya menyiapkan anggaran Rp246 juta untuk 125 kali fogging. Namun dari 125 kali anggaran fogging yang disediakan, tercatat hanya tujuh kali aktivitas fogging yang dilaksanakan hingga pertengahan Juni 2023.

Padahal aktivitas fogging di Kota Jogja mencapai 200 kali pada 2016 lalu dan 50 kali pada 2017. Karenanya, Dinkes Kota Jogja pun melakukan evaluasi pada alokasi aktivitas fogging.

Dampaknya anggaran untuk tindakan fogging dipangkas dan dialokasikan ke program lain. Dinkes Kota Jogja dalam anggaran perubahan lalu mengusulkan pengalihan 100 kali anggaran fogging untuk kegiatan lain.

"Sekitar Rp200 juta itu kami masukan dalam rencana anggaran perubahan dan saat ini sudah disahkan oleh DPRD. Sekitar Rp200 juta itu kami dialokasikan alihkan untuk kegiatan ACF Tuberkulosis," katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Berita Pilihan

Advertisement

alt

Gunung Ibu Pulau Halmahera Meletus, Abu Vulkanik Setinggi 3,5 Kilometer

News
| Minggu, 28 April 2024, 00:37 WIB

Advertisement

alt

Sandiaga Tawarkan Ritual Melukat ke Peserta World Water Forum di Bali

Wisata
| Sabtu, 20 April 2024, 19:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement