Advertisement

Umat Buddha Jatimulyo dan Kesadaran Ekologis

Andreas Yuda Pramono
Minggu, 05 Mei 2024 - 21:22 WIB
Galih Eko Kurniawan
Umat Buddha Jatimulyo dan Kesadaran Ekologis Ilustrasi lingkungan hidup - Freepik

Advertisement

Harianjogja.com, KULONPROGO—Selasa (30/1/2024), angin berdesir lebih kencang. Udara segar dan dingin. Di jalan menanjak di tengah hamparan lahan tebu menuju Kalurahan Jatimulyo, cahaya redup berdenyar disapu dedaunan. Kabupaten Kulonprogo sisi utara memang masih menawarkan alam yang asri.

Kalurahan Jatimulyo, Kecamatan Girimulyo, berada di ketinggian 500 – 800 meter di atas permukaan laut (mdpl). Kalurahan tersebut terbentuk atas penggabungan dua kalurahan, yaitu Kalurahan Jonggrangan dan Sokomoyo pada tanggal 16 Maret 1947.

Advertisement

Terhadap penggabungan tersebut, Pengageng Keraton Yogyakarta, KRT. Noto Projo memberi nama Jatimulyo. Peresmian nama tersebut ditandai dengan pemberian dan penanaman lima pohon jati oleh KRT. Noto Projo di Padukuhan Sokomoyo. Penanaman tersebut mengandung harapan bahwa setelah penggabungan kedua wilayah maka akan tercipta keadaan mulyo apabila digarap dengan benar.

Kelestarian alam di Perbukitan Menoreh tidak dapat dilepaskan dari upaya warga yang ikut andil dalam konservasi dan rehabilitasi sumber daya alam (SDA). Dua hal tersebut dapat dilakukan dalam bingkai upacara-upacara religi seperti Tribuana Manggala Bhakti di Jatimulyo.

Upacara yang digelar sebagai peringatan Hari Raya Waisak tersebut merupakan upacara adat dalam rangka penyembuhan (ngruwat) alam semesta melalui tiga matra: air, tanah, dan udara. Pencetus dan penggeraknya adalah Surahman dan Totok Tejamano.

Menggunakan kemeja dan jarik putih, kaca mata berbingkai hitam, Totok, 38, duduk bersila di depan rupang Buddha di Vihara Karangjati, Sleman. Raut wajahnya tenang ketika dia mulai menceritakan awal mula berdirinya Tribuana Manggala Bhakti.

Kegiatan yang bersifat religio kultural tersebut digali dari unsur budaya Jawa dan ajaran Buddha. Secara filosofis, upacara tersebut merupakan ekspresi dari konsep Memayu Hayuning Bawana, dan dua konsep dalam ajaran Buddha: Metta adalah cinta universal dan Karuna adalah kasih sayang kepada semua makhluk.

Apabila diartikan per kata maka Tri artinya tiga; Buana artinya alam; Manggala artinya berkah; dan Bhakti berarti cinta. Tujuan utama Tribuana Manggala Bhakti adalah membangun kesadaran ekologis masyarakat dengan memadukan kegiatan ritual keagamaan dengan kegiatan konservasi atau membangun pendidikan ekologis.

Gelaran upacara Tribuana Manggala Bhakti kemarin diadakan pada 2 Juli 2023. Ketua Pemuda Theravada Indonesia Cabang Kulonprogo, Susanto, 33, masih ingat, acaranya dilakukan setelah prosesi pengambilan air suci tirta waisak di Gunung Tumpeng yang letaknya masih di dalam wilayah Padukuhan Gunungkelir. Acara dimulai pukul tujuh pagi.

Upacara itu melibatkan ratusan orang yang berbaris panjang dan memakai pakaian adat Jawa. Mereka membawa buah-buahan, bunga, lilin, dan hio. Dalam perjalanan menuju puncak terlihat dua pria menggotong sangkar burung yang tergantung pada bambu, yang di dalamnya terdapat kutilang. Dan pria lain membawa bibit pohon bodhi dengan kardus.

Sebelum mulai upacara, Totok Tejamano sebagai Romo Pandita memimpin umat Buddha melafalkan Paritta Suci berbahasa Pali. Setelah itu, mereka berjalan menuju lokasi upacara di Puncak Gunung Tumpeng dengan jarak sekitar dua kilometer dengan kondisi jalan yang sempit, menanjak, dan basah.

Lokasi gelaran Tribuana Manggala Bhakti berubah tiap tahunnya. Gelaran tersebut diadakan di sekitar vihara yang ada di Jatimulyo. Sedangkan, ada lima vihara yang tersebar di empat padukuhan yaitu Vihara Dharma Mulya, Padukuhan Karang Gede; Vihara Giriloka, Gunungkelir; Giri Dharma, Sokomoyo; serta Vihara Giri Surya dan Vihara Vidya Dharma, Sonyo.

Setidaknya perlu 40 menit untuk mencapai puncak Gunung Tumpeng. Ketika sampai puncak, beberapa orang meletakkan sesembahan seperti kendi yang berisi air tirta waisak di bawah rupang Buddha emas. Beberapa bendera Budhis (Chabanaramsi) berkibar dengan latar kabut di puncak bukit sekitarnya.

Bendera tersebut terdiri dari enam warna, yaitu biru, kuning, merah, putih, oranye, dan gabungan kelima warna tersebut. Posisinya disusun secara vertikal dan horizontal. Warna horizontal melambangkan perdamaian abadi dari ras-ras yang ada di dunia, dan keharmonisan dalam kehidupan bersama. Warna vertikal melambangkan perdamaian di dunia.

Kemudian warna biru artinya Bhakti, Kuning Kebijaksanaan, Merah Cinta Kasih, Putih Kesucian, dan Oranye Semangat Sukacita dalam Kebajikan.

Saat upacara berlangsung, Susanto mengaku merasakan sesuatu yang megah dan magis. “Sulit mendeskripsikannya dengan kalimat,” katanya.

Di penghujung acara, burung kutilang yang dibawa dari bawah kemudian dilepas, dan dilakukan penanaman pohon. Pelepasan burung dan penanaman pohon inilah yang dimaksud Totok sebagai upaya membangun kesadaran ekologis kepada masyarakat.

Sedang, pelepasan ikan tidak dilakukan karena tidak ada sumber air mengalir. Berbeda dengan Tribuana Manggala Bhakti 2022 yang mengambil tempat di Ekowisata Sungai Mudal, ikan-ikan dilepas bebas.

Dalam bahasa Tionghoa, pelepasan satwa disebut juga dengan fangshen, yang bermakna pembebasan makhluk hidup dari bahaya, atau istilah Jawanya ngruwat.

“Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta,” kata Totok.

Kalimat tersebut kata Totok memiliki arti doa, agar semua makhluk hidup di dunia memperoleh kebahagiaan. Senafas dengan tujuan Tribuana Manggala Bhakti, yang diwujudkan lewat pelepasan satwa maupun penanaman pohon.

Dialog Antaragama

Sebagai bangsa yang beradab nenek moyang nusantara memiliki kekayaan seni dan spiritual tinggi. Kekayaan tersebut mewujud dalam berbagai peninggalan peradaban luhur seperti candi yang memiliki fungsi sebagai media pembelajaran. Adapun guratan pada dinding-dinding candi tidak dapat hanya dimaknai dari sisi artistik namun juga dari sisi budaya yang muatan pelajaran hidup mendalam.

Surahman, 40, menjelaskan bahwa dalam agama Buddha ada perintah untuk merawat alam. Perintah di kitab sucinya bahkan terpahat di relief Candi Borobudur. Salah satu ukiran yang menarik adalah adanya relief pohon kalpataru atau dikenal juga dengan sebutan kalpawrksa, kalpadruma, devataru di berbagai candi yang bercorak Buddhis.

Menurut Surahman, kalpataru dalam teks-teks kuno dikenal sebagai pohon surgawi, pohon kahyangan yang membawa berkah, pohon yang membawa energi positif dan keseimbangan semesta. Sebab itu, ikon Buddhis yang terkait dengan usia panjang dan keberkahan seperti Buddha Amitayus dan Ushnishavijaya sering berhiaskan kalpataru. Dalam teks pali Maha Vanija Jataka juga dikenal secara singkat cerita tentang pohon tersebut.

Dalam artikel berjudul Relief Jenis-jenis Fauna dan Setting Lingkungan Pada Pahatan Dinding Candi Borobudi di Jurnal Manusia dan Lingkungan, April 2001, Bambang Agus Suripto, dkk., menulis bangunan Candi Borobudur mengandung banyak simbol-simbol dengan maknanya yang sangat dalam. Selain sebagai lambang tertinggi agama Buddha, Candi Borobudur juga merupakan tiruan alam semesta.

Dalam filsafat agama Buddha, alam semesta dibagi menjadi tiga bagian besar yaitu Kamadhatu, Rupadhatu dan Arupadhatu (Moerlipto dan Prasetyo, 1993; Soetarno, 1993). Kamadhatu adalah sama dengan dunia di mana nafsu jelek masih menguasai kemauan manusia (Soeharsono, 1946). Menurut Marzuki dan Heraty (1989) tingkatan tersebut melukiskan cerita dari naskah Karmawibhangga. Naskah tersebut menggambarkan ajaran sebab akibat perbuatan baik dan jahat.

Surahman mengaku bahwa perintah-perintah menjaga alam dalam ajaran agama Buddha perlu ditindaklanjuti. Perlu pelembagaan menjadi sebuah kultur yang aplikatif langsung menyasar lingkungan hidup di masyarakat. Pelembagaan tersebut dapat dilihat dalam Tribuana Manggala Bhakti.

Dia mendeskripsikan Tribuana Manggala Bhakti sebagai salah satu upaya membangun peradaban. Peradaban untuk peduli dengan kelestarian lingkungan alam adalah peradaban induk nusantara yang sudah mulai ditinggalkan. Eksploitasi alam yang berlebihan tanpa ada upaya pelestarian adalah wujud nyata kemunduran watak jati diri bangsa. Dan Tribuana dirancang untuk membangkitkan watak agung nusantara yang sangat peduli terhadap semesta.

Dalam gelaran Tribuana, warga baik Buddhis maupun non-Buddhis bahu membahu menyiapkan upacara adat yang memiliki subtansi dasar kepedulian lingkungan hidup tersebut. Lingkungan hidup adalah tempat bernaung seluruh umat manusia dan bahkan hewan tumbuhan.

Dalam pandangan Surahman, kelestarian alam dapat dijaga melalui dialog yang dibangun antarumat beragama. Dialog karya justru lebih efektif daripada dialog verbal. Sebab itu, toleransi dan persatuan antarumat beragama sangat penting dalam mencegah lingkungan dari ekploitasi berlebihan.

Lingkungan alam adalah area universal, area yang dibutuhkan oleh semua pihak, area yang tidak memisahkan sekat-sekat sosial dan sentimen primordial. Merawat kohesi sosial akan efektif apabila dibangun dari wilayah yang menjadi tumpuan bersama, wilayah yang mampu menyatukan perbedaan menjadi indah dan bermakna.

Selain itu, wilayah Perbukitan Menoreh juga kerap dilanda longsor dan perlu intervensi baik masyarakat maupun pemerintah daerah. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kulonprogo bahkan mencatat kejadian bencana tanah longsor sejak 2020 – 2022 selalu di atas angka 100 kejadian.

Sepanjang 2020, jumlah kejadian bencana longsor menyentuh angka 208 kejadian. Kapanewon Girimulyo menjadi wilayah dengan jumlah terbanyak hingga 57 kejadian. Pada 2021, kejadian bencana longsor sempat turun menjadi 155 kejadian. Girimulyo masih masuk dalam wilayah dengan jumlah kejadian tanah longsor paling banyak mencapai 39 kejadian. Angka tersebut melonjak rastic setahun setelahnya mencapai 622 kejadian dengan 103 kejadian berada di Girimulyo.

“Kalau diarahkan pada yang universal seperti merawat alam itu seluruh agama kan setuju. Ada jembatan yang sama,” katanya.

Manajer Yayasan LKiS, Tri Noviana menyampaikan bahwa dialog antaragama dapat menjadi salah satu jalan untuk mengatasi krisis lingkungan hidup. Pasalnya, isu lingkungan cukup dekat dengan ajaran umat beragama dan berkepercayaan. Ajaran-ajaran tersebut sepakat bahwa manusia perlu menjaga alam.

Dalam diskusi publik dengan tema Perubahan Iklim: Penyebab, Dampak, Upaya Mitigasi dan Adaptasi yang digelar Yayasan LKiS pada Rabu, (7/2/2024), Noviana menegaskan diskusi tersebut bertujuan membangun kesadaran bersama tentang perubahan iklim dan upaya mitigasi serta adaptasi, serta mendorong pemerintah untuk memasukkan solusi keberlanjutan dalam agenda dan strategi pembangunan untuk mengatasi perubahan iklim.

“Kelompok rentan, seperti buruh, petani, nelayan, kaum perempuan, orang dengan disabilitas, orang tua, anak-anak, orang miskin, masyarakat adat dan penduduk di daerah terpencil, pesisir, maupun di daerah pegunungan, adalah korban utama perubahan iklim,” kata Noviana.

Kelompok tersebut dianggap memiliki kerentanan tinggi karena keterbatasan akses terhadap sumber daya dan infrastruktur. Ditambah dengan peningkatan bencana alam, seperti kekeringan dan tanah longsor, tentu akan semakin memperburuk kondisi mereka.

Kerja sama antarkelompok agama pernah dilakukan oleh Tzu Chi Indonesia dan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pada 2018. Kerja sama tersebut mencakup bidang pendidikan, kesehatan, kemanusiaan, pelestarian lingkungan, serta pemberdayaan ekonomi masyarakat.

Dilansir dari tzuchi.or.id, Ketua Umum PBNU KH. Said Aqil Siroj mengatakan persoalan bangsa Indonesia sangat berat dan kompleks, sehingga sulit diatasi oleh satu kelompok. Sebab itu, perlu kerja sama lintas sektor atau kelompok.

Rosalina, D., Idris, I., Mulyani, G. (2023) dalam buku Navigasi Isu Perubahan Iklim di Pemilu 2024: Panduan Komunikasi untuk Politisi terbitan Monash Climate Change Communication Research Hub (MCCCRH) Indonesia Node, Monash University Indonesia menyatakan secara tegas bahwa komunitas agama memiliki peran penting dalam merespon isu perubahan iklim. Salah satu perbedaan kunci antara agama dengan sistem budaya lainnya adalah keberadaan otoritas absolut yang tidak dapat dipertanyakan atau ditantang oleh siapapun.

Isu lingkungan hidup dalam visi dan misi pasangan calon (paslon) presiden juga menjadi perhatian MCCCRH Indonesia Node. Melalui analisis data besar terhadap dokumen visi dan misi dari tiga paslon presiden, MCCCRH menemukan bahwa pernyataan visi dan misi dari salah satu paslon presiden hanya menyertakan satu persen kata kunci seperti yang ditentukan melalui pemeriksaan empat istilah kata penting yaitu energi, iklim, dan lingkungan. Sedang, dua paslon lain kurang dari satu persen.

Terhadap kata kunci tersebut, dalam visi dan misi pasangan Ganjar-Mahfud ditemukan 47 istilah, atau sekitar 1,09 persen. Lalu, pasangan Prabowo-Gibran 44 kata, atau 0,58 persen. Sedangkan, pasangan Anies-Muhaimin memiliki 44 kata, atau 0,6 persen.

Kesimpulan MCCCRH atas hasil itu adalah isu lingkungan dan perubahan iklim dianggap bukanlah prioritas utama bagi tiga pasangan calon wakil presiden dan presiden.

Sejarah Umat Buddha Jatimulyo

Total jumlah penduduk di Kalurahan Jatimulyo mencapai 7.344 jiwa. Dari jumlah itu, penduduk beragama Buddha ada 578 jiwa, lebih tinggi dibandingkan penduduk beragama Kristen dan Katolik. Di tingkat yang lebih rendah, umat Buddha di Padukuhan Gunungkelir mencapai sekitar 107 Kepala Keluarga (KK) atau 320 jiwa dari total 287 KK.

Umat Buddha Jatimulyo memang tidak dapat dilepaskan dari budaya Jawa. Ajaran-ajaran dalam budaya Jawa saling mengisi dan menguatkan dengan ajaran Sang Buddha. Sebagaimana emrio Tribuana Manggala Bhakti, upacara tersebut diciptakan dengan menggali unsur budaya Jawa dan ajaran Buddha.

Totok Tejamano sendiri berasal dari Padukuhan Gunungkelir. Rumahnya hanya sepelemparan batu dari Vihara Giriloka. Dia memiliki latar belakang keluarga yang menganut agama lokal. Kakek dan neneknya adalah spiritualis Sapta Darma. Namun, ayahnya beragama Buddha dan ibunya beragama Islam.

Totok mempunyai riwayat tutur yang menceritakan bagaimana agama Buddha ada di daerahnya, dan mengapa banyak masyarakat Gunungkelir yang menganutnya. Pada mulanya ada seorang sesepuh desa bernama Slamet yang tinggal di Banyuwangi, Jawa Timur.

Suatu hari Slamet kembali ke Gunungkelir. Slamet menceritakan kepada saudaranya, Ahmad Dasuki bahwa di Banyuwangi ada kepercayaan bernama Budha Jawi Wisnu. Menurut dia, kepercayaan tersebut sangat dekat dengan ilmu kasampurnan atau ilmu mencapai kesempurnaan hidup dalam ajaran lokal masyarakat Jawa.

Pada masa konstelasi politik tahun 1966, Pemerintah Indonesia sangat ingin menghancurkan sisa-sisa kelompok atau individu yang berafiliasi dengan PKI, yang diidentikkan anti agama. Suka tidak suka, masyarakat penganut agama lokal dan Islam Abangan di Gunungkelir memutuskan memeluk agama yang diakui pemerintah. Ini adalah strategi perlindungan diri. Dan Buddha menjadi salah satu alternatif seperti yang dikemukakan Slamet.

Dalam artikel berjudul Reformulasi Identitas Buddha Jawi Wisnu dan Sam Kaw Hwee ke Dalam Buddhayana di Lampung di Jurnal Masyarakat dan Budaya, Juni 2020, Zaenal Abidin Eko Putro menulis kepercayaan Buddha Jawi Wisnu juga dianut sebagian orang Jawa yang menetap di Lampung. Kepercayaan tersebut diperkenalkan oleh Bhikkhu Dewadharmaputra yang berasal dari Jember, Jawa Timur. Bhikkhu tersebut tercatat aktif di Sangha Agung Indonesia (Sagin) melalui Keputusan Samaya No. III/1978, 27 September 1978. Buddha Jawi Wisnu memiliki ciri khas yaitu menggunakan mantra Jawa kuno, Hong Wilaheng.

Eksistensi Buddha Jawi Wisnu meredup setelah peristiwa G 30 S/PKI tahun 1965. Mereka dituntut untuk menginduk pada agama universal. Sebab itu, Buddha Jawi Wisnu lantas berlindung ke dalam agama Buddha.

Pada 1967-1968, agama Buddha di Kalurahan Jatimulyo kemudian berkembang secara masif seiring dengan adanya referensi dan kesadaran sejarah seperti eksistensi Candi Borobudur. Lalu pada 1970an, vihara pertama di Jatimulyo bernama Giriloka, berdiri.

Di depan Vihara Giriloka, berdiri sebuah rumah milik Sanimin, 67. Dia bercerita, tanah tempat vihara itu berdiri dulu merupakan hibah orang tuanya. Sebelum menjadi pengikut Sang Buddha, kedua orang tua Sanimin merupakan seorang Muslim.

“Bapak saya, Ahmad Dasuki, dulu menghibahkan tanah untuk pembangunan Vihara Giriloka. Sebelum di lokasi yang sekarang, Vihara Giriloka dulu pertama dibangun di atas sana, di samping SMP [4 Girimulyo],” kata Sanimin.

Dalam ingatannya, agama Buddha mulai ada di Padukuhan Gunungkelir sekitar 1964-1968. Menurut Sanimin, jumlah umat Buddha ketika itu mencapai 90% dari total jumlah warga Gunungkelir. Jumlah tersebut menurun seiring perkembangan zaman dan dinamika pernikahan beda agama.

Akhir bulan Januari 2024, hujan deras mengguyur Perbukitan Menoreh. Dua kilometer ke utara dari Vihara Giriloka, di sebuah kedai bernama Kedai Mbah Kino, Lurah Jatimulyo, Anom Sucondro (49) menceritakan upacara Tribuana Manggala Bhakti memiliki efek domino bukan hanya terhadap kelestarian alam namun juga ekonomi.

Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kulonprogo telah menjadikannya sebagai salah satu daya tarik wisata dengan menambahkan sejumlah atraksi budaya. Dari yang awalnya semata upacara, saat ini rangkaian tersebut lebih meriah.

Pelepasan satwa seperti burung yang dilakukan dalam upacara juga melibatkan Kelompok Tani Hutan (KTH) Wanapaksi. Pasalnya, Kalurahan Jatimulyo juga memiliki Peraturan Desa (Perdes) No. 8 Tahun 2014 tentang Pelestarian Lingkungan Hidup. Pelepasan satwa perlu mendasarkan pada aturan konservasi yang menginduk pada Perdes tersebut.

Gerakan konservasi burung di Jatimulyo yang saat ini populer melalui program adopsi sarang juga muncul setelah Perdes itu. Menurut catatan Ketua KTH Wanapaksi, Sujarwo, ada sebanyak 113 jenis burung yang ditemukan di Jatimulyo, termasuk burung migrasi.

Kelestarian alam termasuk satwa di dalamnya dapat menarik minat masyarakat luas. Sebagaimana tutur Anom, minat tersebut dapat menjadi peluang mengembangkan dan menjaga alam Jatimulyo.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terbaru

Advertisement

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

Berita Pilihan

Advertisement

alt

Menteri Keamanan AS Sebut Terorisme Kembali Muncul dan Jadi Ancaman

News
| Minggu, 19 Mei 2024, 01:17 WIB

Advertisement

alt

Hotel Mewah di Istanbul Turki Ternyata Bekas Penjara yang Dibangun Seabad Lalu

Wisata
| Sabtu, 18 Mei 2024, 20:27 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement