Advertisement
Cerita Bersambung Sandyakala Ratu Malang: Bagian 038
Advertisement
Tiba-tiba obor padam. Hutan kembali gelap. Pranacitra menyumpah-nyumpahi “kelicikan” lawannya itu. Terdengar suara tertawa dalam hutan.
“Ha ha, Pranacitra. Benar engkau prajurit paling tangguh di Tembayat? Maju ke sini, kita perang tanding satu lawan satu, atau barangkali engkau takut padaku?”
Advertisement
Pranacitra senopati yang kenyang makan asam garam di pelbagai pertempuran.
“Serbu! Tangkap hidup-hidup!”
Dengan cekatan beberapa prajurit menyalakan obor. Mereka masuk hutan. Paling depan pasukan oncor. Rimba yang gelap gulita penuh pohon-pohon raksasa, sekarang benderang, dan muncul bayang-bayang pokok kayu preh, mahoni, pule dan beringin raksasa yang menyeramkan. Fatamorgana iblis dengan mulut tertawa menyaksikan kekejaman antarmanusia, sesama ciptaan-Nya saling berbunuhan.
Setelah sekian lama berkutat di rimba tidak menemukan Damar atau kawan-kawannya, Pranacitra menjadi curiga. Ia perintahkan pasukannya mundur dan segera keluar dari hutan.
Tapi terlambat!
Di segala penjuru angin terdengar sorak membahana. Tambur, bende, canang, celempung ditabuh bertalu-talu. Api berkobar ganas di sekeliling tempat itu. Tidak ada kesempatan mundur bagi pasukan Pranacitra. Selagi prajurit berdiri kebingungan, tiba-tiba anak panah berhamburan ke arah mereka bagai hujan. Erangan dan rintihan sahut menyahut.
“Berlindung di balik pohon!” perintah Pranacitra.
Pada saat seperti itu, perisai tidak ada gunanya. Anak panah terus menyerang tanpa jeda, dan dari semua arah. Sebagai seorang sakti, Pranacitra mampu mendengar desing panah, maka ia dengan mudah mengelak atau menangkis dengan pedangnya. Beda dengan para prajurit.
Lima bregada lari lintang pukang untuk berlindung di balik pohon-pohon raksasa. Namun jumlah mereka ratusan dan suasana samar-samar, bahkan banyak prajurit oncor yang roboh maka mereka saling tabrak. Oncor-oncor terlempar ke tanah, membakar daun-daun dan ranting, nyala api semakin ganas. Damar dan teman-temannya yang dalam keseharian sopan berubah beringas, mereka terus memanah bahkan ujung panah dipasangi sumbu api. Mereka berteriak-teriak keras.
Perang adalah kebrutalan berjamaah. Dan Damar, juga Dinar beserta kawan-kawannya di sebalik pohon mahoni, tertawa-tawa tanpa matanya “mendengar” kesah serta darah para prajurit. Mereka hanya tahu bahwa, dalam perang, apa yang awam menyebut kepahlawanan, barangkali hanya sebuah kesia-siaan. Sebuah sikap heroik yang mubazir.
“Kami berada di jalan kebenaran. Jahanam Suradipa sepantasnya dibinasakan,” mungkin Damar berkilah menenteramkan diri ketika menampaki para prajurit bergelimpangan.
Sejarah membidani kebenaran, konon, tidak lepas dari tempat, waktu dan prosesnya. Tapi ada yang kekal dalam dirinya, dan tidak terhingga rumusannya. Begitu kata seorang filsuf serta teolog, yang menyikapi ihwal kebenaran dengan cara sebagai bukan postmodern.
Betapa paniknya rombongan prajurit Tembayat di bawah pimpinan Pranacitra waktu itu. Banteng Tembayat mengutuk dirinya sendiri, mengapa tadi ia mengedepankan amarahnya, lalu mengejar Damar masuk hutan?! Jika posisi mereka di luar alas, tentu keadaan tidak seperti ini.
BERSAMBUNG: Sandyakala Ratu Malang-Bagian 039
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Gunung Ibu Halmahera Erupsi, Lontarkan Abu Ketinggian 2 Kilometer
Advertisement
Piknik dan Camping di Nawang Jagad Kaliurang: Info Lokasi, Jam Buka, dan Biaya Tiket Masuk
Advertisement
Berita Populer
- Ini Tantangan Mendesak UMKM Jogja untuk Naik Kelas
- KPU Jogja Gelar Sayembara Maskot dan Jingle Pilkada 2024, Hadiah Rp18 Juta
- Jadwal Donor dan Stok Darah di Jogja, Selasa 7 Mei 2024
- Alasan Manajemen PSIM Percayakan Seto Sebagai Pelatih Kepala Laskar Mataram
- Dua Pekerja Bangunan di Jogja Tertimpa Cor Beton, Satu Tewas
Advertisement
Advertisement