Advertisement

Bumi Retak Sekali Pun, Mereka Tetap Menari

Salsabila Annisa Azmi
Senin, 13 Agustus 2018 - 16:00 WIB
Budi Cahyana
Bumi Retak Sekali Pun, Mereka Tetap Menari Pentas Sendratari Ramayana - Harian Jogja/Desi Suryanto

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJA—Sendratari Ramayana Purawisata telah menghibur masyarakat DIY setiap malam selama 42 tahun. Pentas ini awet berkat kegigihan. Tak peduli lindu dan kerusuhan, kelir pertunjukan tak pernah tutup. Berikut laporan wartawan Harianjogja.com Salsabila Annisa Azmi.

Ingatan Dahanan melayang pada peristiwa 12 tahun silam pada 27 Mei. Anak sulungnya hendak bersiap-siap berangkat sekolah dan mereka bercengkrama sebentar. Tiba-tiba tanah tempat kakinya berpijak bergoyang ke kanan dan ke kiri. Dia merasa seperti ikan hias di dalam botol yang dikocok-kocok. Akhirnya tubuhnya hilang keseimbangan.

Advertisement

“Ayo keluar! Keluar semua!” Dahanan berusaha berlari menuju ambang pintu dengan keseimbangan badan yang kacau. Perasaan panik semakin menyelimuti hatinya ketika matanya melihat lemari dan perabot bergelimpangan.

Dahanan dan semua penghuni rumah bisa keluar dengan selamat sampai pelataran. Debu-debu pekat berterbangan. Zarah menghilang, Dahanan melihat rumah tetangganya luluh lantak, rata dengan tanah. Setelah memastikan anggota keluarganya aman, dia teringat para penari dan pengrawit di Sendratari Ramayana Purawisata yang selama ini dipimpinnya. Sebagian besar dari mereka bermukim di Bantul. Dengan gempa sebesar itu, dia mengira kawasan selatan pasti rusak parah.

Dahanan mendengar kabar dari tetangga kanan dan kirinya bahwa seluruh sambungan telepon dan listrik terputus. Kegiatan di seluruh fasilitas umum pun dihentikan. Dahanan tak henti-hentinya berpikir tentang pertunjukan Sendratari Ramayana di Purawisata. Jauh dalam lubuk hatinya dia yakin masih ada kawan pengrawit dan penari yang tetap datang malam itu untuk tampil di panggung tari. Dia telah memimpin mereka sejak 1972. Dia pun tahu betul betapa seni tari mengalir dalam urat mereka. Ketika mereka tidak menari selama sepekan tanpa alasan jelas, beberapa dari mereka akan jatuh sakit karena hatinya merasa sepi.

Tetap Menari

Saat Matahari lindap, Dahanan pergi dari rumahnya di Karangkajen, Kota Jogja, menuju Purawisata. Benar saja, dia melihat belasan penari dan pengrawit berkumpul di depan panggung. Lengkap dengan kostum dan dandanannya, seakan-akan itu hari biasa, tanpa lindu yang mengguncang seisi Jogja, dan orang-orang riuh menyambut tarian mereka.

Pengrawit mulai menabuh saron dan bonang, para penari mulai melenggak-lenggokkan tubuhnya. Tak ada satu pun penonton saat pembukaan, hingga di pertengahan muncul satu sosok asing membawa kamera dengan lensa panjang.

“Waktu itu benar-benar penontonnya hanya satu dari mulai hingga selesai. Dia menghampiri kami selesai menari, bertanya-tanya, kami tidak ada yang paham bahasa dia. Soalnya orang Prancis, tidak mau pakai bahasa Inggris. Ternyata dia wartawan dari media Prancis. Setelah dia datang, mungkin [Sendratari Ramayana] disiarkan, ramai lagi besoknya,” ucap Dahanan saat ditemui di ruangannya yang terletak di belakang panggung ulang tahun ke-42 Sendratari Ramayana Purawisata, Sabtu (11/8/2018).

Sesekali Dahanan menyapa para penari dan pengrawit yang hilir mudik masuk ke dalam ruangan, menanyakan berbagai hal mengenai pementasan malam ulang tahun. Dahanan bangkit sejenak dari kursi busa berodanya, mengambil beberapa lembar kertas di meja kaca. Kemudian menunjukkan data jumlah penari dan pengrawit yang ada saat ini. Tercatat 45 anggota dari tiga generasi yang setiap malam membawakan tarian.

Mendarah Daging

Saat gempa, belasan penari dan pengrawit berpencar ke rumah rekan-rekan mereka yang tidak datang pentas. Mereka menjenguk keadaan rekan yang rumahnya rata dengan tanah. Kemudian malamnya Dahanan menunggu mereka di pelataran rumahnya yang lapang, tanpa pohon dan bangunan, untuk saling bertukar kabar. Sementara Sendratari Ramayana masih berlanjut meskipun berkali-kali terjadi gempa susulan.

“Waktu itu sempat ada rombongan turis tujuh orang, mereka telanjur di sini, ingin nonton. Akhirnya menginap di Solo. Jadi setelah nonton, mereka balik lagi ke Solo. Bagi kami menari itu komitmen, mereka sudah jauh-jauh datang. Lagipula semua itu bukan soal fee, itu soal panggilan jiwa, soal kebersamaan. Seni tari sudah mendarah daging di tubuh kami,” kata Dahanan.

Pada 1998 saat Soeharto mengundurkan diri, seluruh daerah ikut geger karena kerusuhan dan penjarahan. Ketakutan menyelimuti masyarakat Jogja. Keluarga Dahanan dan manajemen melarangnya menampilkan Sendratari Ramayana saat itu. Namun dia dan rekannya bersikukuh tetap tampil. Banyak penonton yang sudah menanti. Apalagi saat siang hari, Dahanan melihat Sri Sultan HB X meredakan gejolak rusuh di Jalan Gejayan.

“Waktu itu Ngarsa Dalem berbicara melalui microphone, bahwa masyarakat Jogja tidak perlu ikut takut. Waktu itu sampai memerintahkan penghuni hotel mengeluarkan makanan, buat dimakan yang hadir di pidato itu di Jalan Gejayan. Saya pun makin yakin, itu tidak apa-apa. Ramayana itu seni, bukan politik, tidak ada hubungannya. Nyatanya juga pas kami tampil tidak ada yang ngerusak,” kata Dahanan.

Begitu bangganya Dahanan terhadap anggota Sendratari Ramayana. Dia pun tersenyum, bahunya membusung saat membicarakan kebiasaan mereka dulu ketika hujan deras mengguyur saat pentas masih berlangsung. Dengan sigap para penari dan pengrawit berpindah tempat ke gedung serbaguna Purawisata, menggotong segala macam instrumen gamelan, dengan tubuh basah kuyup, berlari sambil mengingat-ingat irama musik lanjutan.

“Mereka bisa merasakan, tadi berhentinya pas ritme apa, nanti di panggung ya dilanjutkan. Benar-benar pas. Tidak mulai dari awal, tetapi dilanjutkan gerakan dan musiknya.”

Menyejahterakan Anggota

Tak mudah bagi Dahanan menemukan bentuk Sendratari Ramayana. Awalnya dia rancang sebagai organisasi, tetapi muncul konflik. Paguyuban pun bukan bentuk yang cocok. Akhirnya dia membentuk keanggotaan seperti yang didefinisikan sosiolog Jerman Ferdinand Tonnies, gemeinschaft alias kekeluargaan.

Namun bukan berarti permasalahan langsung sirna. Dahanan mencoba memberi pemahaman kepada para anggotanya bahwa seni tari bukan satu-satunya kehidupan. Mereka harus sejahtera dengan pendidikan dan kebiasaan menabung. Setiap anggota wajib memiliki rekening bank dan menyimpan uang secara berkala.

Ketika ada kebutuhan yang mesti dipenuhi, mereka diperbolehkan ambil tabungan setengahnya, supaya ada manajemen keuangan yang baik.

“Terkadang banyak yang bilang macam-macam, duitnya tidak cukup untuk nabung, ada yang bilang nanti bunganya diambil atasan. Tetapi saya biarkan. Prinsipnya kalau ada jari sakit, kepalanya juga ikut pusing. Jari sakit itu diobati jangan dipotong. Nanti kalau anaknya sudah mulai sekolah, mereka juga sadar sendiri kalau itu perlu.” Dahanan terus bertutur.

Mewariskan Semangat

Usia Dahanan sudah 70 tahun dan lebih dari separuh hidupnya dihabiskan untuk menghidupkan Sendratari Ramayana. Dia terdiam sejenak ketika mengingat teman-teman seperjuangannya.

Sebagian koleganya sudah meninggal dunia, beberapa sudah tak sanggup bangun dari tempat tidurnya.

Beberapa penari dan pengrawit yang mengikuti jejak Dahanan membangun Sendratari Ramayana Purawisata masih menari hingga saat ini. Salah satunya adalah seniman Basiran Basis Hargito. Pria berambut putih yang bisa memerankan segala tokoh dalam Sendratari Ramayana itu mengaku paling salut kepada para anggota saat tragedi gempa bumi dan Bom Bali.

“Saya alami susah senang bersama mereka. Waktu gempa terasa sekali kekeluargaannya. Apalagi saat Bom Bali, penonton jadi sepi. Tetapi kami tetap jalan. Kami sudah seperti keluarga, menari itu seperti makan nasi untuk kami. Kalau berhenti, mungkin kami bisa sakit,” kata Basis.

Saat ini para penari di Sendratari Ramayana telah mencapai tiga generasi. Basis memaparkan kebiasaan mereka. Ketika menyanyi, mereka mengajak anak dan cucu menonton mereka berlatih atau pentas agar rasa cinta terhadap tari bisa diturunkan, dan kesenian itu bisa awet.

Dengan cara itu, Sendratari Ramayana Purawisata telah membuktikan komitmennya untuk terus menghibur masyarakat DIY selama empat dekade.

“Kesenian seperti ini, yang manggung tiap malam, hanya ada satu di dunia. Tidak peduli gempa Bumi, para anggota tetap menampilkan yang terbaik. Sekarang yang nonton sudah kelas mancanegara. Kita harus bangga, ini milik Jogja. Kalau bukan kita yang lestarikan, maka siapa lagi,” kata Ulla Nuchrawaty, Direktur Utama PT Ganesha Dwipaya Bhakti, perusahaan yang menaungi Sendratari Ramayana Purawisata dan Ayola Tasneem Convention Hotel, dalam sambutan saat malam tasyakuran Hari Ulang Tahun Ke-42 Sendratari Ramayana Purawisata.

Kelir Sendratari Ramayana tak akan digulung, selulit apapun tarian dipentaskan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Prediksi Cuaca Jogja dan Sekitarnya Minggu 19 Mei 2024: DIY Cerah Berawan

Jogja
| Minggu, 19 Mei 2024, 05:57 WIB

Advertisement

alt

Hotel Mewah di Istanbul Turki Ternyata Bekas Penjara yang Dibangun Seabad Lalu

Wisata
| Sabtu, 18 Mei 2024, 20:27 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement