Advertisement
Perbandingan Jumlah Seismograf: Indonesia Punya 175, Jepang Sudah 1.200
Advertisement
Harianjogja.com, JAKARTA- Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menargetkan Indonesia memiliki 200 seismograf untuk meningkatkan kewaspadaan akan bencana alam seperti gempa dan tsunami hingga akhir 2019.
Muhammad Sadli, Deputi Bidang Geofisika BMKG menuturkan saat ini Indonesia baru memiliki 175 alat pencatan gempa. Jumlah ini masih kalah jauh dibandingkan Jepang yang wilayahnya lima kali lebih kecil dibandingkan Indonesia.
"Jepang ada 1.200 [seismograf]. Indonesia yang 5 kali lebih luas baru 175. Pada 2019 akan kami tingkatkan jadi 200. Dalam 5 tahun ke depan kami targetkan jadi 1.000," kata Sadli di Jakarta, Kamis (3/1/2019).
Menurut dia, saat ini BMKG telah memiliki kemampuan yang diakui dunia internasional untuk memantau kebencanaan. Penambahan alat ini guna meningkatkan akurasi dan mitigasi.
Selain menambah alat deteksi, Fadli menambahkan saat ini Indonesia tengah memulai membangun modeling kebencanaan peringatan tsunami yang disebabkan selain gempa tektonik.
Dia menyebutkan, selama ini alat deteksi tsunami fokus ke modeling tsunami akibat gempa karena 90% peristiwa tsunami disebabkan oleh peristiwa alam ini.
"Saat ini BPPT, ahli dari Jepang, dan berbagai instansi terkait tengah membangun model prediksi di luar tektonik. Selama ini belum ada teknologinya," katanya lebih lanjut.
Patuh Amdal
Menurut Sadli, Indonesia sangat rawan bencana. Meski begitu banyak pembangunan yang tidak memperhatikan keselamatan.
Saat ini masih ditemui banyak pabrik dan bangunan sangat dekat pantai. Padahal jika peta kebencanaan diperhatikan maka bangunan ini harus dengan tegas dilarang.
"Penegakan aturan sangat penting [untuk menghindari dampak ikutan bencana lebih luas]," ujarnya.
Surono, Mantan Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, atau akrab disapa Mbah Rono menyebutkan kejadian letusan dan longsor di Gunung Anak Krakatau bukan sesuatu peristiwa yang aneh. Letusan dan longsor dibutuhkan oleh Anak Krakatau untuk membangun tubuhnya.
Dia mengingatkan penelitian dan pengamatan akan potensi bencana dari gunung api merupakan sebuah keharusan. Apalagi saat ini Indonesia memiliki 13% gunung api aktif dari yang terdata di dunia.
"Mitigasi tanpa penelitian adalah kebetulan," katanya.
Surono menyebutkan saat ini baru 69 gunung api yang diamati oleh pemerintah. Artinya masih ada ratusan lainnya yang terabaikan dan tiba-tiba menimbulkan bencana.
"Hadapi dengan kejujuran, tentukan daerah yang vital dan strategis [yang paling utama menimbulkan kerusakan secara masif jika meletus]," katanya.
Advertisement
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber : JIBI/Bisnis Indonesia
Berita Lainnya
Berita Pilihan
- Peringatan Hari Buruh 2024, Buruh Tuntut Penghapusan Upah Murah hingga Pencabutan UU Cipta Kerja
- Hakim MK Ragukan Keaslian Tanda Tangan Ketum PKN Anas Urbaningrum di Kasus Sengketa Pileg 2024
- Kasus Polisi Bunuh Diri di Jaksel, Kapolresta Manado Diperiksa Polda Sulawesi Utara
- Pengadilan Kriminal Internasional Dikabarkan Mengincar Netanyahu, Israel Panik
- Indonesia-Iran Jalin Kerja Sama Teknologi Pertanian
Advertisement
Gelar Workshop, ANPS Bahas Pentingnya AI Dalam Dunia Pendidikan
Advertisement
Advertisement
Berita Populer
- Banjir Setinggi 3 Meter di Luwu Sulsel Sebabkan 14 Warga Meninggal Dunia
- Aturan Barang dari Luar Negeri Tak Lagi Dibatasi, Mendag Zulhas Minta Jastiper Taati Hukum
- Otorita IKN Peroleh Hibah Kota Cerdas dari Amerika Serikat Senilai Rp31 Miliar
- Gerindra Pastikan Usung Dedi Mulyadi untuk Pilgub Jabar 2024
- BNPB Kerahkan Helikopter untuk Evakuasi Korban Erupsi Gunung Raung
- Israel Beri Waktu Hamas Sepekan untuk Setujui Gencatan Senjata
- Korban Meninggal Akibat Banjir Luwu Sulsel Terus Bertambah, 2 Orang Hilang
Advertisement
Advertisement