Advertisement
London Ikut Soroti Kebebasan Bermedia Negara-Negara di Asia Tenggara
Advertisement
Harianjogja.com, LONDON--Konferensi Global Kebebasan Media yang digelar di The Printworks, London, selama dua hari dari tanggal 10 dan 11 Juli juga membahas soal kebebasan media di negara-negara Asia Tenggara yang dipengaruhi oleh undang-undang era kolonial, kepemilikan partai politik atas media, dan perubahan norma hubungan antara media dan lembaga demokrasi yang makin berkembang.
Studi kasus Kebebasan media Wilayah Asian dibahas di Konferensi Global kebebasan Media di London disampaikan Menteri Komunikasi Teknologi Informasi, Republik Indonesia, (Menkominfo) Rudiantara pada hari kedua konferensi, Kamis (11/7/2019).
Advertisement
Kehadiran Menteri Rudiantara bersama Staf Khusus Menteri Bidang Media dan Komunikasi Publik Kominfo, Deddy Hermawan di London , Inggris juga menghadiri pertemuan dengan penerima beasiswa dari pemerintah Inggris Chevening di Wisma Nusantara.
Dalam Panel diskusi dibahas antara lain adanya kekhawatiran tentang kebebasan media di Asia Tenggara yang dipengaruhi oleh undang-undang era kolonial dan, kepemilikan partai politik atas media, serta perubahan norma hubungan antara media dan lembaga demokrasi berkembang.
Selain Menkominfo Rudiantara juga tampil sebagai pembicara adalah Pendiri Swe, Frontier Myanmar, Myat (Sonny), Kepala Eksekutif, organisasi berita online Rappler (Filipina) Maria Ressa dan Menteri Komunikasi dan Multimedia, Malaysia Gobind Singh dengan moderator, Ms Daw Tin Htar Swe OBE Mantan Editor, BBC Burmese Service
Ketua untuk WFD, MP Konservatif untuk Gloucester, Utusan Khusus Perdana Menteri untuk Perdagangan untuk Masyarakat Ekonomi ASEAN, Malaysia, Filipina dan Indonesia, Richard Graham MP menyampaikan kata pengantar.
Dalam diskusi panel dibahas masalah hukum yang mempengaruhi kebebasan media di wilayah Asia, termasuk undang-undang tentang transparansi dan kebebasan informasi, biaya pertahanan hukum yang mahal, dan undang-undang yang berasal dari era kolonial tetapi masih digunakan untuk menekan pelaporan, misalnya Rahasia Resmi Myanmar Act dan UU Percetakan dan Publikasi Malaysia.
Negara-negara di Asia Tenggara, seperti di tempat lain, sedang bergulat dengan regulasi berita online dan dampak dari media sosial dan berita palsu pada pelaporan politik.
Tantangannya meliputi sirkulasi kisah-kisah yang menghasut yang terkait dengan ketegangan etnis dan konflik dalam komunitas multi-agama dan multi-etnis.
Sensor diri juga merupakan masalah yang signifikan di banyak negara, dengan ancaman represi mempengaruhi kemampuan media untuk memberikan informasi yang komprehensif dan obyektif kepada publik.
Keamanan jurnalis terancam oleh sejumlah faktor ini - bertentangan dengan undang-undang pelaporan yang membatasi, kerentanan terhadap pembalasan dari pemasok pidato kebencian online, dan risiko dari pelaporan korupsi dan kejahatan terorganisir atau yang disponsori negara.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber : antara
Berita Lainnya
Berita Pilihan
- Peringatan Hari Buruh 2024, Buruh Tuntut Penghapusan Upah Murah hingga Pencabutan UU Cipta Kerja
- Hakim MK Ragukan Keaslian Tanda Tangan Ketum PKN Anas Urbaningrum di Kasus Sengketa Pileg 2024
- Kasus Polisi Bunuh Diri di Jaksel, Kapolresta Manado Diperiksa Polda Sulawesi Utara
- Pengadilan Kriminal Internasional Dikabarkan Mengincar Netanyahu, Israel Panik
- Indonesia-Iran Jalin Kerja Sama Teknologi Pertanian
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Berita Populer
- Heboh Efek Samping AstraZeneca Sebabkan TTS, Begini Respon Menteri Kesehatan
- Pemerintah Buka Seleksi CPNS Jalur Sekolah Kedinasan, Ada 3.445 Formasi
- Pilpres 2024 Usai, Anis Ajak Masyarakat Aceh Lanjutkan Perjuangan Perubahan
- Balas Serangan KKB Papua, Brimob dan Kopassus Diterjunkan
- Janji Tak Akan Intervensi Pembentukan Kabinet Prabowo, Jokowi: Kalau Usul Boleh
- Siap-Siap! Seleksi CPNS 2024 Segera Dibuka Mulai Bulan Depan, Cek Jadwal dan Formasinya
- Dukung Semangat Kolaborasi Demi Masa Depan UMKM Indonesia, Ini yang Dilakukan Astra
Advertisement
Advertisement