Advertisement
Indonesia Kebal Corona? Begini Fakta Riset BMKG & UGM
Advertisement
Harianjogja.com, JAKARTA – Setelah melakukan kajian berdasarkan analisis statistik, pemodelan matematis, dan studi literatur tentang pengaruh cuaca dan iklim, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) bersama Universitas Gajah Mada (UGM) menemukan indikasi pengaruh cuaca dan iklim dalam mendukung penyebaran wabah Covid-19.
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menyampaikan kajian ini dilakukan oleh Tim BMKG yang diperkuat oleh 11 Doktor di Bidang Meteorologi , Klimatologi dan Matematika, serta didukung oleh Guru Besar dan Doktor di bidang Mikrobiologi dari Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan UGM.
Advertisement
“Hasil kajian tersebut menunjukkan adanya indikasi pengaruh cuaca dan iklim dalam mendukung penyebaran wabah Covid-19, sebagaimana yang disampaikan dalam penelitian Araujo dan Naimi (2020), Chen et. al. (2020), Luo et. al. (2020), Poirier et. al (2020), Sajadi et.al (2020), Tyrrell et. al (2020), dan Wang et. al. (2020),” ungkapnya dalam siaran pers yang dikutip Bisnis, Sabtu (4/4/2020).
Pada hasil analisis Sajadi et. al. (2020) serta Araujo dan Naimi (2020) menunjukkan sebaran kasus Covid-19 pada saat outbreak gelombang pertama, berada pada zona iklim yang sama, yaitu pada posisi lintang tinggi wilayah subtropis dan temparate.
Di mana, dari hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan sementara bahwa negara dengan lintang tinggi cenderung mempunyai kerentanan yang lebih tinggi dibandingkan dengan negara tropis.
Sementara itu, melalui penelitian Chen et. al. (2020) dan Sajadi et. al. (2020) menyatakan bahwa kondisi udara ideal untuk virus corona adalah temperatur sekitar 8 - 10°C dan kelembapan 60%-90%.
Artinya, dalam lingkungan terbuka yang memiliki suhu dan kelembaban yang tinggi merupakan kondisi llingkungan yang kurang ideal untuk penyebaran kasus Covid-19. Para peneliti itu menyimpulkan bahwa kombinasi dari temperatur, kelembapan relatif cukup memiliki pengaruh dalam penyebaran transmisi Covid-19.
Selanjutnya penelitian oleh Bannister-Tyrrell et. al. (2020) juga menemukan adanya korelasi negatif antara temperatur (di atas 1°C) dengan jumlah dugaan kasus Covid-19 per hari. Mereka menunjukkan bahwa bahwa Covid-19 mempunyai penyebaran yang optimum pada suhu yang sangat rendah (1 – 9°C).
Hal ini mengindikasikan bahwa makin tinggi temperatur, maka kemungkinan adanya kasus Covid-19 harian akan semakin rendah.
Sementara itu, pada penelitian Wang et. al. (2020) menjelaskan pula bahwa serupa dengan virus influenza, virus Corona ini cenderung lebih stabil dalam lingkungan suhu udara dingin dan kering.
Kondisi udara dingin dan kering tersebut dapat juga melemahkan imunitas seseorang, dan mengakibatkan orang tersebut lebih rentan terhadap virus sebagaimana yg dituliskan dalam studi tersebut.
Demikian pula pada penelitian Araujo dan Naimi (2020) memprediksi bahwa dengan model matematis yang memasukkan kondisi demografi manusia dan mobilitasnya, disimpulkan bahwa iklim tropis dapat membantu menghambat penyebaran virus tersebut.
Terhambatnya penyebaran virus dikarenakan kondisi iklim tropis dapat membuat virus lebih cepat menjadi tidak stabil, sehingga penularan virus Corona dari orang ke orang melalui lingkungan iklim tropis cenderung terhambat, dan akhirnya kapasitas peningkatan kasus terinfeksi untuk menjadi pandemik juga akan terhambat.
Tim Gabungan BMKG-UGM pun mengindikasikan bahwa cuaca dan iklim merupakan faktor pendukung untuk kasus wabah ini berkembang pada outbreak yang pertama di negara atau wilayah dengan lintang linggi, tetapi bukan faktor penentu jumlah kasus, terutama setelah outbreak gelombang yang kedua.
“Meningkatnya kasus pada gelombang kedua saat ini di Indonesia tampaknya lebih kuat dipengaruhi oleh pengaruh pergerakan atau mobilitas manusia dan interaksi sosial,” kata Dwikorita.
Fakta itu terlihat dari terjadinya lonjakan kasus Covid-19 di Indonesia sejak awal Maret 2020. Padahal Indonesia terletak di sekitar garis khatulistiwa dengan suhu rata-rata berkisar antara 27- 30°C dan kelembapan udara berkisar antara 70% – 95%.
Dari kajian literatur tersebut kondisi lingkungan Indonesia sebenarnya tidak ideal untuk outbreak Covid-19. Peningkatan lonjakan kasus diduga akibat faktor mobilitas manusia dan interaksi sosial yang lebih kuat daripada faktor cuaca dalam penyebaran wabah Covid-19 di Indonesia.
Akhirnya, laporan Tim BMKG-UGM merekomendasikan, apabila mobilitas penduduk dan interaksi sosial ini benar-benar dapat dibatasi, disertai dengan intervensi kesehatan masyarakat, maka faktor suhu dan kelembapan udara dapat menjadi faktor pendukung dalam memitigasi atau mengurangi risiko penyebaran wabah tersebut.
Hasil kajian Tim BMKG dan UGM ini juga merekomendasikan untuk terus menjaga kesehatan dan meningkatkan imunitas tubuh, dengan memanfaatkan kondisi cuaca untuk beraktivitas atau berolahraga pada jam yang tepat.
“Terutama di bulan April hingga puncak musim kemarau di bulan Agustus nanti, yang diprediksi akan mencapai suhu rata - rata berkisar antara 28°C hingga 32°C dan kelembapan udara berkisar antara 60% s/d 80%,” tuturnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber : Bisnis.com
Berita Lainnya
Berita Pilihan
- Aturan Baru Haji, Pemerintah Arab Saudi Larang Semua Orang Masuk Makkah Tanpa Izin, Termasuk Penduduk Setempat
- Peringatan Hari Buruh 2024, Buruh Tuntut Penghapusan Upah Murah hingga Pencabutan UU Cipta Kerja
- Hakim MK Ragukan Keaslian Tanda Tangan Ketum PKN Anas Urbaningrum di Kasus Sengketa Pileg 2024
- Kasus Polisi Bunuh Diri di Jaksel, Kapolresta Manado Diperiksa Polda Sulawesi Utara
- Pengadilan Kriminal Internasional Dikabarkan Mengincar Netanyahu, Israel Panik
Advertisement
Advertisement
Piknik dan Camping di Nawang Jagad Kaliurang: Info Lokasi, Jam Buka, dan Biaya Tiket Masuk
Advertisement
Berita Populer
- KKB Kembali Berulah, Serang Gereja dan Rampas Ponsel Warga Papua
- Balas Serangan Roket Hamas yang Tewaskan 3 Tentara, Israel Bombardir Rafah
- Makan dan Bayar Seenaknya di Warteg, Pria Ini Ditangkap Polisi
- PAN Buka Peluang Eko Patrio hingga Anak Zulhas Jadi Cagub di Pilkada DKI Jakarta
- Soroti Kurangnya Dokter Spesialis di Indonesia, Jokowi Kaget: Masih Kurang 29.000
- AstraZeneca Diduga Picu Pembekuan Darah, BPOM Sebut Vaksin Sudah Tidak Beredar di Indonesia
- Hamas Minta Jusuf Kalla Bantu Mediasi Konflik Israel dengan Palestina
Advertisement
Advertisement