Advertisement
57 Pegawai KPK Dipecat, Pukat UGM Serukan Perlawanan
Advertisement
Harianjogja.com, SLEMAN—Sebanyak 57 pegawai KPK dipecat lantaran dinyatakan tidak memenuhi syarat dalam tes wawasan kebangsaan (TWK). KPK dinilai sewenang-wenang karena tindak lanjut dari hasil TWK adalah kewenangan pemerintah, bukan KPK.
Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM, Zaenur Rohman, menjelaskan sesuai UU Administrasi Pemerintahan, pejabat yang tidak memiliki kewenangan tapi mengambil keputusan merupakan bentuk tindakan sewenang wenang.
Advertisement
BACA JUGA: Kemendikbudristek Sebut 91 Persen Sekolah Sudah Diizinkan PTM Terbatas
“KPK mendasarkan pada putusan MK [Mahkamah Konstitusi] dan MA [Mahkamah Agung], menurut saya tidak tepat karena yang diuji oleh MK dan MA adalah norma pengaturan TWK-nya. Normanya yang diuji. MK menguji konstitusionalitas, sedangkan MA menguji legalitas,” ujarnya, Kamis (16/9/2021).
MA dan MK sama sekali tidak menguji pelaksanaan TWK. Adapun pelaksanaan diuji oleh lembaga lain seperti Komnas HAM, yang ternyata justru menemukan 11 pelanggaran dalam TWK. Selain itu Ombudsman RI juga menemukan adanya maladministrasi dalam TWK.
Menurutnya, pemberhentian 57 pegawai oleh KPK ini bertentangan dengan putusan MA No. 26/2021 tentang Hak Uji Materi, karena putusan MA sudah jelas memberi kewenangan tindak lanjut TWK kepada pemerintah, bukan kepada KPK.
“Jadi saya melihat keputusan KPK bertentangan dengan putusan MA, juga mendahului sikap presiden. KPK memang terlihat terburu-buru. Kenapa? Karena mengambil momentum jangan sampai presiden mengambil sikap. Jadi tujuan KPK memecat adalah untuk menghindari dikeluarkannya sikap oleh presiden,” ungkapnya.
Sayangnya, Presiden Joko Widodo justru tidak mau bersikap. Menurutnya hal ini menunjukkan presiden tidak mengetahui bahwa putusan MA memberi kewenangan tindak lanjut hasil TWK kepada pemerintah, bukan kepada KPK.
“Kenapa MA memberi kewenangan tersebut kepada presiden? Ya karena memang TWK itu merupakan satu proses untuk alih status pegawai KPK menjadi ASN [Aparatur Sipil Negara]. Sedangkan presiden adalah pembina tertinggi bagi kepegawaian ASN,” ungkapnya.
BACA JUGA: Warga Miskin Indonesia Diusulkan Dapat Rp1 Juta Per Bulan
Selain menunjukkan ketidaktahuannya, tanggapan presiden ini juga memperlihatkan lemahnya komitmen pemberantasan korupsi. Ia mencontohkan dulu Jokowi menjanjikan perpu untuk membatalkan RUU KPK, tapi akhirnya tidak jadi. Kemudian dalam TWK, Jokowi juga pernah berpidato agar TWK seharusnya tidak menjadi alasan pemecatan, namun akhirnya diam saja saat 57 pegawai KPK tak lolos TWK dipecat.
“Akan semakin rendah kepercayaan publik pada KPK. Yang paling berbahaya KPK akan menjadi alat kepentingan tertentu, tidak steril dari intervensi politik. Apapun yang terjadi, perlawanan harus terus dilakukan,” katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
- Peringatan Hari Buruh 2024, Buruh Tuntut Penghapusan Upah Murah hingga Pencabutan UU Cipta Kerja
- Hakim MK Ragukan Keaslian Tanda Tangan Ketum PKN Anas Urbaningrum di Kasus Sengketa Pileg 2024
- Kasus Polisi Bunuh Diri di Jaksel, Kapolresta Manado Diperiksa Polda Sulawesi Utara
- Pengadilan Kriminal Internasional Dikabarkan Mengincar Netanyahu, Israel Panik
- Indonesia-Iran Jalin Kerja Sama Teknologi Pertanian
Advertisement
Gelar Workshop, ANPS Bahas Pentingnya AI Dalam Dunia Pendidikan
Advertisement
Advertisement
Berita Populer
- Banjir Setinggi 3 Meter di Luwu Sulsel Sebabkan 14 Warga Meninggal Dunia
- Aturan Barang dari Luar Negeri Tak Lagi Dibatasi, Mendag Zulhas Minta Jastiper Taati Hukum
- Otorita IKN Peroleh Hibah Kota Cerdas dari Amerika Serikat Senilai Rp31 Miliar
- Gerindra Pastikan Usung Dedi Mulyadi untuk Pilgub Jabar 2024
- BNPB Kerahkan Helikopter untuk Evakuasi Korban Erupsi Gunung Raung
- Israel Beri Waktu Hamas Sepekan untuk Setujui Gencatan Senjata
- Korban Meninggal Akibat Banjir Luwu Sulsel Terus Bertambah, 2 Orang Hilang
Advertisement
Advertisement