Advertisement
Bupati hingga Anggota DPR Persoalkan OTT KPK, ICW: Logikanya Bengkok
Advertisement
Harianjogja.com, JAKARTA - Bupati hingga Anggota DPR RI ramai-ramai mempersoalkan 0perasi tangkap tangan (OTT) yang digelar KPK.
Teranyar, Anggota Komisi III DPR RI Fraksi PDIP Arteria Dahlan menyebut bahwa jaksa, polisi, hingga hakim tidak sepatutnya dijadikan objek OTT. Menurut dia, ketiga aparat penegak hukum tersebut adalah simbol negara, sehingga tidak boleh jadi objek OTT.
Advertisement
Pernyataan Arteria menuai kontriversi. Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron mengatakan, hal yang disampaikan Arteria Dahlan bertentangan dengan Pasal 11 UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK.
Hal ini lantaran, dalam pasal tersebut KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang melibatkan aparat penegak hukum (APH).
"KPK didirikan salah satunya untuk menegakkan tipikor (tindak pidana korupsi) yang dilakukan oleh APH yaitu penegak hukum dan penyelenggara negara, sehingga pernyataan yang bersangkutan tentu bertentangan dengan pasal 11 UU 30/2002 juncto UU 19/2019," kata Ghufron dikutip Sabtu (20/11/2021).
Di sisi lain, Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut logika berpikir Ateria bengkok lantaran mengeluarkan pernyataan tersebut.
"ICW melihat ada yang bengkok dalam logika berpikir Arteria Dahlan terkait dengan OTT aparat penegak hukum. Selain bengkok, pernyataan anggota DPR RI fraksi PDIP itu juga tidak disertai argumentasi yang kuat," kata Peneliti ICW Kurnia Ramadhana, Jumat (19/11/2021).
Tak hanya Arteria, sepekan lalu, Bupati Banyumas Achmad Husein lewat video meminta KPK memberi tahu kepala daerah sebelum melakukan OTT viral di media sosial.
Dalam video yang beredar, Bupati Achmad meminta agar KPK memanggil kepala daerah terlebih dahulu sebelum melakukan OTT.
"Kalau dia ternyata mau berubah, ya sudah lepas. Tapi kalau kemudian tidak mau berubah, baru ditangkap,” kata Achmad dalam video yang berdurasi 24 detik tersebut.
Mantan Penyidik KPK Novel Baswedan ikut mengomentari pernyataan Achmad Husein tersebut. Novel mengatakan, bahwa OTT selalu terkait dengan perbuatan korupsi delik suap. Dalam UU Tipikor, suap bisa disebut menerima hadiah atau janji.
“Artinya setuju untuk menerima janji sudah merupakan pidana, sehingga petugas yang mau OTT tinggal lihat di lapangan apakah pejabat tersebut berbuat suap,” katanya melalui akun Twitter, Senin (15/11/2021).
Dia menjelaskan, bahwa apabila seorang pejabat diketahui terima suap, petugas tinggal melakukan OTT lalu diambil bukti-buktinya. Oleh karena itu, jika ada pihak yang meminta untuk dicegah dulu sebelum OTT, Novel memastikan itu salah paham
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber : Bisnis.com
Berita Lainnya
Berita Pilihan
- Peringatan Hari Buruh 2024, Buruh Tuntut Penghapusan Upah Murah hingga Pencabutan UU Cipta Kerja
- Hakim MK Ragukan Keaslian Tanda Tangan Ketum PKN Anas Urbaningrum di Kasus Sengketa Pileg 2024
- Kasus Polisi Bunuh Diri di Jaksel, Kapolresta Manado Diperiksa Polda Sulawesi Utara
- Pengadilan Kriminal Internasional Dikabarkan Mengincar Netanyahu, Israel Panik
- Indonesia-Iran Jalin Kerja Sama Teknologi Pertanian
Advertisement
BEDAH BUKU: DPAD DIY Dorong Tingginya Minat Baca Merata ke Semua Wilayah
Advertisement
Jadwal Agenda Wisata Jogja Sepanjang Bulan Mei 2024, Ada Pameran Buku Hingga Event Lari
Advertisement
Berita Populer
- Mendagri Sebut Pilkada 2024 Telan Anggaran hingga Rp27 Triliun
- AS Mengaku Belum Mendapat Tanggapan Hamas Soal Usulan Gencatan Senjata di Gaza
- Gabung Afsel, Turki Ajukan Kejahatan Genosida Israel ke Mahkamah Internasional
- Turki Stop Perdagangan dengan Israel. Buntut Pengiriman Bantuan ke Gaza Terhambat
- Jokowi Apresiasi Perjuangan Garuda Muda di Piala Asia U-23/2024
- Prancis Kecam Serangan Drone Israel k Konvois Bantuan Kemanusiaan Yordania di Gaza
- AHY Akan Deklarasikan Bali sebagai Pulau Lengkap
Advertisement
Advertisement