Advertisement

Ini Isi Ceramah Kakanwil Kemenag DIY saat Salat Id Jokowi

Ujang Hasanudin
Senin, 02 Mei 2022 - 10:07 WIB
Sugeng Pranyoto
Ini Isi Ceramah Kakanwil Kemenag DIY saat Salat Id Jokowi Salat Id di Gedung Agung, Jogja, Senin (2/5 - 2022)./IST

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJA-Presiden Joko Widodo atau Jokowi melaksanakan salat Idulfitri (Id) bersama sejumlah warga di kompleks Istana Gedung Agung Jogja, Senin (2/5/2022).

Bertindak sebagai imam dan khotib atau penceramah dalam Salat Id tersebut adalah Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama (Kakanwil Kemenag) DIY, Masmin Afif.

Advertisement

Masmin menyampaikan bahwa Hari Raya Idulfitri yang disambut oleh umat Islam di seluruh penjuru dunia dengan kumandang takbir, tahlil, dan tahmid yang menyeruak di setiap sudut kehidupan, di masjid, di surau, di lapangan, di jalan, di gunung dan di seluruh atmosfer kehidupan, menggema memenuhi seluruh angkasa raya-sesungguhnya-adalah wujud kemenangan dan ekspresi rasa syukur kaum muslimin kepada Allah atas keberhasilannya menaklukkan hawa nafsu dan mengembalikan fitrah (kesucian jiwa) melalui serangkaian aktivitas ibadah, amal saleh dan mujahadah selama satu bulan penuh di bulan suci Ramadan yang baru saja kita lewati.

“Dalam suasana hari raya kemenangan ini, mari kita hayati kembali makna dan pesan penting kefitrahan manusia, baik sebagai ibadullah [hamba Allah] mupun sebagai khalifatullah fil ardli [khalifah di Bumi], terlebih dalam suasana duka pandemi Covid yang sedang melanda dunia dan telah mengubah pola hidup secara drastis, sebagaimana yang kita saksikan dan alami bersama,” katanya.

Masmin juga menyampaikan bahwa Idulfitri mengandung beberapa makna, di antaranya. Pertama, Idulfitri mengandung arti kembali kepada kesucian rohani, atau kembali ke asal kejadian, atau kembali ke sikap keberagamaan yang benar. Makna ini mengisyaratkan bahwa setiap muslim yang merayakan Idulfitri sebenarnya dia sedang merayakan kesucian rohaninya dan menikmati sikap keberagamaan yang benar. Hal tersebut sesuai dengan Al-Qur’ann, surat Al-Fathir ayat 18-21. “Barang siapa yang mensucikan dirinya, sesungguhnya dia telah mensucikan diri untuk memperoleh kebahagiaannya sendiri. Dan hanya kepada Allah-lah tempat kembalimu. Bukankah tidak sama [antara] orang yang buta dengan orang yang melihat? Bukankah pula tidak sama gelap-gulita dengan terang-benderang? Dan bukankah juga tidak sama yang teduh dengan yang panas?”

“Mari kita perhatikan, betapa Allah SWT membandingkan orang yang mensucikan dirinya dengan orang yang mengotorinya laksana orang yang melihat dengan orang yang buta, laksana terang berbanding gelap, laksana teduh berlawan panas. Sungguh sebuah metafora yang patut kita renungkan. Allah seakan hendak menyatakan bahwa manusia yang fitri itu adalah yang mau melihat persoalan masyarakatnya secara empatik, kemudian berupaya mengurainya untuk terciptanya tatanan kehidupan yang adil dan berkesejahteraan,” katanya.

Ia mampu menjadi lentera di kala gelap, menjadi payung di kala panas, menjadi garam bagi kehidupan dengan berupaya menghadirkan kemaslahatan dan prestasi yang maksimal untuk peradaban manusia yang lebih baik. Mereka inilah pemilik agama yang benar, hanifiyyah wa al- samhah yang santun, toleran, dan penuh kasih sayang kepada sesama.

Kedua, disadari bahwa fitrah manusia dapat berubah dari waktu ke waktu. Berubah karena pergaulan, karena pengaruh lingkungan, karena pendidikan, karena bacaan dan tontonan, bahkan karena asupan makanan dan minuman. Maka, agar fitrah itu tetap terpelihara dan terus bersemi, hendaknya manusia mengacu pada pola kehidupan yang Islami. Yaitu, pola kehidupan yang bernafaskan nilai-nilai spiritualitas dan akhlak mulia. Sehingga, darinya diharapkan mampu membangun insan kamil yang memiliki keteguhan iman, keluasan ilmu pengetahuan serta terampil dalam menjawab berbagai peluang dan tantangan.

Untuk itu, segala kebiasaan baik yang telah kita jalankan di bulan suci Ramadan, berupa pengendalian hawa nafsu, tadabbur Al-Qur’an, berderma kepada sesama, mengelola emosi, peduli dan disiplin, bertutur kata yang jujur serta berbagai amal kebajikan yang lain, hendaknya tetap dirawat dan ditingkatkan sedemikian rupa agar menjadi tradisi yang mulia dalam diri, keluarga dan masyarakat, terlebih di tengah disrupsi kehidupan manusia yang semakin krisis spiritualitas dan empati kemanusiaan.

 

Kampus Kehidupan

Selain itu, Masmin juga menyampaikan bahwa Ramadan adalah kampus kehidupan manusia. Sukses Ramadan sesungguhnya tidak diukur pada saat sedang berlangsung, akan tetapi justru dilihat dari 11 bulan yang akan dijalaninya ke depan. Adakah ia mampu melakukan perubahan dan perbaikan dirinya menjadi pribadi muttaqin? Adakah ia tetap konsisten menjaga amaliah kebajikan selama Ramadan untuk tegaknya kemaslahatan dan keluhuran diri serta lingkungannya? Semua berpulang kepada penghayatan dan komitmen dirinya.

Ketiga, adalah merupakan sunnatullaah bila dinamika kehidupan diwarnai dengan susah dan senang, datang dan hilang, peluang dan tantangan, tangis dan tawa, anugrah dan musibah yang acap kali menghiasi perjalanan hidup. Orang bijak menyatakan, kehidupan laksana roda berputar, sekali waktu bertengger di atas, waktu lain tergilas di bawah. Kehidupan laksana samudra yang tak pernah sepi dari deburan gelombang. Segala yang kita miliki pada hakikatnya adalah titipan dari Yang Maha Kuasa, tidak ada sesuatupun yang abadi, apalagi yang dapat disombongkan.

“Boleh jadi kemarin sebagai penguasa, sekarang hidup di balik jeruji penjara, kemarin bergelimang harta, saat ini miskin papa, kemarin mereka yang kita cinta masih berkumpul bercengkrama, saat ini telah meninggalkan kita untuk selama-lamanya. Itulah lingkaran roda kehidupan dan kita semua sedang berputar bersamanya,” ucap Masmin.

Sungguh betapa amat lemahnya manusia di hadapan kuasa Tuhan. Untuk berhadapan dengan satu makhluk sangat kecil Virus Corona, meski dengan segala kecanggihan ilmu pengetahuan dan teknologi modern saat ini, toh nyatanya tak berdaya. Sebagai seorang mukmin, harus meyakini bahwa tidak ada peristiwa apapun berlalu dengan sia-sia begitu saja, tapi ia sarat dengan pelajaran dan makna.

Tidak ada celah kata menyerah akan tetapi harus tetap optimistis menggapai rahmatNya, bekerja keras seraya mengharap pertolonganNya. Orang mukmin akan terus berusaha menegakkan dakwah, merajut ukhuwah, menebar marhamah dan menjawab segala tantangan kehidupan dengan penuh kesungguhan, karena ia menyadari bahwa segala perbuatan baik adalah wujud pengabdian dan ibadah kepada Rab-nya.

Dalam puasa terkandung pesan ibadah ritual dan sosial sekaligus. Orang yang sedang melaksanakan puasa, ketika merasakan lapar dan dahaga, maka pada saat itulah mereka merasakan, betapa sulit dan pahitnya kehidupan orang-orang yang lemah dan miskin papa, supaya hatinya tergerak dan bangkit menyayangi dan menyantuni mereka. Itulah sebabnya, pada akhir Ramadan kita diwajibkan mengeluarkan zakat sebagai wujud kepedulian dan solidaritas kita untuk menghadirkan kebahagiaan kepada sesama.

“Idulfitri adalah momentum emas untuk memperkuat solidaritas kemanusiaan kita dengan saling peduli, berbagi dan menghargai, saling merajut silaturrahmi, menyapa dan memaafkan serta mengaktualisasikan nilai-nilai fitrah dalam perbuatan nyata dan prilaku mulia,” ujarnya.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Jumlah TPS Pilkada Bantul 2024 Diperkirakan Menyusut Dibanding Pemilu, Ini Alasannya

Bantul
| Kamis, 18 April 2024, 08:47 WIB

Advertisement

alt

Sambut Lebaran 2024, Taman Pintar Tambah Wahana Baru

Wisata
| Minggu, 07 April 2024, 22:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement