Advertisement

Makna & Sejarah Ketupat, Ada Hubungannya dengan Sunan Kalijaga

Faustina Prima Martha
Senin, 02 Mei 2022 - 21:47 WIB
Bernadheta Dian Saraswati
Makna & Sejarah Ketupat, Ada Hubungannya dengan Sunan Kalijaga Pedagang menata ketupat yang terbuat dari daun kelapa atau janur di Kota Meulaboh, Aceh Barat, Aceh, Minggu (2/6/2019). - ANTARA / Syifa Yulinnas.

Advertisement

Harianjogja.com, JAKARTA - Ketupat atau kupat merupakan makanan khas Indonesia dan Malaysia. Makanan ini terbuat dari beras yang dibungkus dengan pembungkus berbentuk segi empat dari anyaman daun kelapa muda (janur). Beras yang dibungkus daun kelapa muda ini kemudian dikukus hingga matang.  
 
Ketupat dapat diolah menjadi berbagai macam kuliner Indonesia seperti kupat tahu (Jawa Tengah), laksa (Jawa Barat), dan sate Padang (Sumatera Barat). Ketupat merupakan makanan yang banyak disajikan saat perayaan Idulfitri (Lebaran).
 
Meski selalu disajikan pada perayaan Idulfitri (Lebaran) di Indonesia, tidak banyak orang yang mengetahui bahwa ketupat memiliki sejarah dan makna yang menarik.
 
Menurut Hermanus Johannes de Graaf, seorang sejarawan Belanda yang mengkhususkan diri menulis sejarah Jawa, ketupat diperkirakan pertama kali diperkenalkan oleh Sunan Kalijaga, yang merupakan penyebar agama Islam di Pulau Jawa. Untuk memperkenalkan Islam, Sunan Kalijaga memperkenalkan sebuah tradisi, yaitu setelah bulan Ramadan usai dan Idulfitri (Lebaran) dirayakan, masyarakat setempat  diajak menganyam ketupat dengan daun kelapa muda lalu disii dengan beras. 

Baca juga: Masih Pandemi, Garebeg Syawal Kraton Jogja Digelar Terbatas
 
Meski pendapat di atas sangat populer, sebenarnya masyarakat Jawa telah mengenal hidangan bernama ketupat atau tipat sebelum datangnya Islam. Sebelum datangnya Islam, masyarakat Indonesia, terutama masyarakat Jawa dan Bali kerap menggantungkan ketupat di depan pintu rumah sebagai jimat. Ketupat juga merupakan bentuk rasa syukur kepada Dewi Sri, yang merupakan Dewi pertanian dan kesuburan dalam mitologi Hindu.
 
Setelah datangnya Islam, Sunan Kalijaga memperkenalkan tradisi lebaran ketupat diangkat dari tradisi pemujaan terhadap Dewi Sri, Akan tetapi, pada tradisi lebaran ketupat, ketupat tidak lagi digunakan untuk memuja Dewi Sri, melainkan sebagai bentuk ucapan syukur kepada Tuhan.
 
Penggunaan ketupat sebagai hidangan perayaan tidak hanya terdapat di pulau Jawa. Di daerah-daerah lain terdapat tradisi unik yang dinamakan perang ketupat. Di Pulau Bangka perang ketupat dilakukan saat memasuki Tahun Baru Islam (1 Muharam). Di Desa Kapal, Badung, Bali, perang ketupat bertujuan untuk memperoleh keselamatan dan kesejahteraan. Di Lombok, perang ketupat dilakukan sebagai ungkapan rasa syukur atas keberhasilan panen dan menandai saat mulai menggarap sawah.
 
Berdasarkan penelitian dari H.J. de Graaf dalam buku Malay Annual, ketupat merupakan simbol perayaan hari raya Islam pada masa kesultanan Demak yang dipimpin Raden Patah awal abad ke-15. De Graaf menduga kulit ketupat yang terbuat dari janur berfungsi untuk menunjukkan identitas budaya pesisiran yang ditumbuhi banyak pohon kelapa.
 
Ketupat bukan sekadar makanan yang disajikan untuk menjamu para tamu pada hari raya Idulfitri maupun merayakan genapnya enam hari berpuasa sunah pada bulan Syawal. Ketupat memiliki makna yang sangat dalam. Nama ketupat atau kupat merupakan singkatan dari bahasa Jawa; ngaku lepat (mengaku salah), yang disimbolkan dengan anyaman janur kuning yang berisi beras lalu dimasak. Nasi dianggap melambangkan nafsu manusia. Nasi yang dililit dengan janur memiliki arti; bahwa manusia harus mampu menahan hawa nafsu dunia dengan hati nurani mereka. 
 
Selain itu, cara bagian ketupat lainnya juga memiliki makna tersendiri. Anyaman janur menggambarkan kesalahan manusia, kemudian bentuk segi empat dari ketupat memiliki makna kemenangan umat Islam setelah menjalani puasa selama satu bulan. Butiran beras yang dibungkus dalam janur  juga merupakan simbol kebersamaan dan kemakmuran.
 
Penggunaan janur sebagai kemasan pun memiliki makna tersembunyi. Janur dalam bahasa Arab yang berasal dari kata “jaa a al-nur” bermakna telah datang cahaya. Sedangkan masyarakat Jawa mengartikan janur dengan “sejatine nur” (cahaya). Dalam arti lebih luas berarti keadaan suci manusia setelah mendapatkan pencerahan cahaya (iman) selama bulan Ramadan. Anyaman janur yang melekat satu sama lain merupakan ajakan bagi seseorang untuk melekatkan tali silaturahmi dan mempererat persaudaraan tanpa melihat perbedaan kelas sosial. 
 
Bagi sebagian masyarakat Jawa, bentuk segi empat pada ketupat memiliki makna kiblat papat limo pancer. Papat dimaknai sebagai simbol empat penjuru mata angin utama: timur, barat, selatan, dan utara. Artinya, ke arah manapun manusia akan pergi ia tidak boleh melupakan pacer (arah) kiblat atau arah kiblat (salat).
 
Ketupat kerap disajikan kuah santan yang dibubuhi kunyit berwarna kuning keemasan, melambangkan emas dan keberuntungan, dalam tradisi China. Selain itu, santan atau dalam bahasa Jawa disebut santen dapat memiliki makna nyuwun ngapunten yang berarti saya memohon maaf.
 

Advertisement

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : bisnis.com

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terbaru

Advertisement

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

Advertisement

alt

Top 7 News Harianjogja.com Sabtu 20 April 2024: Normalisasi Tanjakan Clongop hingga Kuota CPNS

Jogja
| Sabtu, 20 April 2024, 09:47 WIB

Advertisement

alt

Kota Isfahan Bukan Hanya Pusat Nuklir Iran tetapi juga Situs Warisan Budaya Dunia

Wisata
| Jum'at, 19 April 2024, 20:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement