Advertisement
Segera Disahkan DPR, Ini Sederet Kontroversi RUU Kesehatan
Advertisement
Harianjogja.com, JAKARTA—DPR akan mengesahkan RUU Kesehatan menjadi Undang-undang (UU) pada Selasa (11/7/2023) siang ini. Namun, masih terdapat penolakan karena beberapa sejumlah kontroversi RUU ini.
Berdasarkan surat undangan rapat paripurna bernomor B/288/PW.11.01/7/2023, ada tiga agenda dalam rapat paripurna ke-29 masa sidang V tahun 2022-2023 pada Selasa (11/7/2023). Salah satunya pembahasan tingkat II alias pengesahan RUU Kesehatan. “Pembicaraan tingkat II/pengambilan keputusan terhadap Rancangan Undang-undang tentang Kesehatan,” tulis agenda acara pertama dalam surat.
Advertisement
Disebutkan rapat akan dimulai pada pukul 12.30 WIB, dan diselenggarakan di Ruang Rapat Paripurna, Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat.
BACA JUGA: RUU Kesehatan Diklaim Tidak Membuat Organisasi Profesi Mati
Lalu, apa saja substansi yang sempat menjadi perdebatan selama pembahasan RUU Kesehatan?
Berikut kontroversial RUU Kesehatan:
1. Pembahasan Terburu-buru
Pihak yang kerap meminta penundaan pengesahan RUU Kesehatan menilai pengesahan aturan ini terkesan terburu-buru. Padahal, RUU ini diatur dalam bentuk omnibus atau berisi banyak topik.
RUU Kesehatan sendiri baru masuk ke dalam Prolegnas DPR pada Februari 2023. Artinya, pembahasan RUU ini tak lebih dari lima bulan.
IDI misalnya, menyoroti penyusunan RUU kesehatan yang terlalu singkat. Ketua Umum PB IDI Moh. Adib Khumaidi menjelaskan, sesuai hasil diskusi Forum Guru Besar Lintas Profesi (FGBLP), pembahasan RUU Kesehatan kurang transparan dan tak mengedepankan partisipasi.
“Tidak secara memadai memenuhi asas krusial pembuatan undang-undang, yaitu asas keterbukaan atau transparan, partisipatif, kejelasan landasan pembentukan—secara filosofis, sosiologis, dan yuridis—dan kejelasan rumusan,” jelas Adib dalam keterangannya, dikutip Selasa (11/7/2023).
Apalagi, dinilai tidak ada urgensi dan kegentingan mendesak untuk pengesahan RUU Kesehatan saat ini. Dia menyatakan ada sembilan UU terkait kesehatan yang masih relevan tanpa adanya kontradiksi satu sama lain.
2. Penghapusan Dana Wajib Kesehatan
Dalam pembahasan RUU Kesehatan, disepakati untuk menghapus alokasi anggaran kesehatan pemerintah pusat (mandatory spending). Beberapa fraksi sempat menolak penghapusan ini namun kalah jumlah. Sebelumnya, mengacu pada Pasal 171 UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, negara harus menyediakan anggaran kesehatan sebesar 5% dari APBN dan 10% dari APBD.
Kendati demikian, panitia kerja (panja) RUU Kesehatan memutuskan untuk menghapus ketentuan tersebut dalam RUU Kesehatan. Penghapusan mandatory spending sendiri merupakan usulan yang disampaikan oleh pemerintah.
Menurut Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin, penghapusan sistem mandatory spending diperlukan lantaran selama ini alokasi di bidang kesehatan pada kenyataannya masih belum berjalan dengan baik.
Oleh karena itu, mantan Wakil Menteri BUMN ini mengaku bahwa pihaknya tengah menyiapkan metode lain soal penyaluran anggaran di bidang kesehatan yang lebih efektif dan efisien.
3. Tembakau Setara Zat Adiktif
Dalam RUU Kesehatan, ditetapkan pasal yang menyatakan hasil tembakau sebagai produk yang setara dengan narkotika dan zat adiktif lainnya.
Menurut RUU Kesehatan, zat adiktif sendiri disebut sebagai semua bahan atau produk yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/atau masyarakat.
Pihak yang menentang menilai ketentuan baru ini telah menyalahi perundang-undangan yang berlaku lantaran tembakau merupakan komoditas strategis perkebunan dalam UU No 39/2014 tentang Perkebunan.
Sementara itu, pihak yang mendukung malah ingin adanya penambahan pelarangan iklan, promosi, atau sponsor industri rokok yang dinilai kerap kali menyasar generasi muda Indonesia.
4. Ketentuan Organisasi Profesi
Dalam RUU Kesehatan bagian pengaturan Organisasi Profesi, dinyatakan setiap kelompok tenaga medis dan tenaga kesehatan diperbolehkan untuk membentuk satu organisasi profesi.
Sebelumnya, dalam UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) merupakan satu-satunya wadah tunggal bagi profesi dokter di Indonesia. Sementara untuk dokter gigi, organisasi profesi yaitu Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI).
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kedepannya bukan hanya IDI dan PDGI organisasi profesi yang keberadaannya akan diakui dalam RUU Kesehatan.
IDI sendiri menolak ketentuan baru ini karena ditakutkan akan ada standar ganda dalam penegakan etika profesi kedokteran yang kemudian menimbulkan kegaduhan dan masyarakat tidak mendapatkan haknya.
Sumber: Bisnis.com
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber : JIBI/Bisnis.com
Berita Lainnya
Berita Pilihan
- Kecelakaan Maut Bus Pengangkut Rombongan SMK Depok di Subang Diduga Rem Blong
- Bus Rombongan SMK Depok Kecelakaan, Sejumlah Korban Meninggal Dibawa ke RSUD Subang
- 13 Bandara Disiapkan Jadi Embarkasi dan Debarkasi Haji
- Kata Rektor Paramadina Soal Kemungkinan Duet Anies dan Ahok di Pilgub Jakarta 2024
- Viral ASI Perah Jadi Bubuk, IDAI Sebut Ada Risiko Kontaminasi
Advertisement
Top 7 News Harianjogja.com Minggu 12 Mei 2024: Kecelakaan Maut Bus Pariwisata, Kantong Parkir Resmi, Pekerja Tewas Diterkam Harimau
Advertisement
Advertisement
Berita Populer
- Aktivitas Kegempaan Gunung Slamet di Jawa Tengah Meningkat
- Indonesia Kutuk Israel Usai Bakar Markas UNRWA di Yerusalem
- 143 Negara Mendukung Palestina jadi Anggota Penuh PBB, 9 Menolak dan 25 Abstain
- AS Umumkan Paket Bantuan Rudal Senilai Rp6,42 Triliun untuk Ukraina
- Kronologi Baku Tembak TNI Polri dengan Separatis Papua
- Duet Anies-Ahok di Pilkada DKI 2024 Bisa Jadi Momentum Hapus Polarisasi
- Caleg PDIP Karanganyar Laporkan KPU ke Ombudsman, Sebut Lakukan Maladministrasi
Advertisement
Advertisement