Advertisement
CRCS Nilai Atasi Konflik Kebebasan Beragama Bukan dengan Relokasi
Advertisement
Harianjogja.com, JOGJA—Relokasi bukan solusi yang baik dalam mengatasi konflik terkait dengan kebebasan beragama dan berkeyakinan.
"Model penyelesaian yang mengharuskan relokasi untuk menjadi sebuah pilihan jangan sampai terulang kembali," ujar Direktur Center for Religious and Crosscultural Studies (CRCS) Universitas Gadjah Mada (UGM) Zainal Abidin Bagir saat diskusi buku Mengelola Konflik, Memajukan Kebebasan Beragama di Auditorium Sekolah Pascasarjana (SPs) UGM, Yogyakarta, Rabu (10/1/2024).
Advertisement
Penyelesaian dengan cara relokasi, kata Zainal, antara lain terjadi pada kasus Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin di Bogor yang proses penyelesaiannya menelan waktu hingga 15 tahun. Menurut dia, berlarutnya kasus itu, disebabkan proses mediasi dan relasi antarkelompok yang tidak terbangun.
Sebaliknya, kata Zainal, antarkelompok saling menggugat secara legal formal ke pengadilan, sehingga tidak pernah mencapai titik temu. "Seharusnya diselesaikan lebih awal dengan mediasi dan negosiasi, resolusi untuk memenuhi hak semua kelompok agar tidak memilih saling gugat dan sebagainya," kata dia. Zainal menilai advokasi kebebasan beragama dan berkeyakinan dalam dua dasawarsa makin menguat setelah ada amendemen UUD 1945 pada tahun 2000.
Baca Juga
Ganjar Nyatakan Pemerintah Harus Jamin Kebebasan Beragama
Pelanggaran Kebebasan Beragama Dilaporkan Meningkat, Ma'ruf Amin Akan Verifikasi
Pembelajaran di Sekolah Harus Sensitif Kebebasan Beragama
Anggota Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta Kharisma W. Khusniah mengatakan proses relokasi pada kasus GKI Yasmin bisa dianggap untuk menormalisasi konflik, tetapi kebijakan tersebut justru mempertahankan praktik intoleransi di tengah masyarakat.
Di Yogyakarta, kata Kharisma, kerap menemukan kasus yang sama, di mana kelompok minoritas mengalami tekanan dan intimidasi dari kelompok mayoritas. "Berbeda dengan saat pendirian gereja di Ngentak, Sleman, justru warga sekitar saling gotong royong membangun gereja dan masjid. di mana pihak yang berkonflik dan perwakilan negara saling membangun hubungan," kata dia.
Dosen Hubungan Internasional Fisipol UGM Diah Kusumaningrum mengatakan selama manusia hidup bersama maka selama itu pula konflik akan selalu muncul. Menurut dia, pendekatan yang dipilih untuk menyelesaikan konflik sebaiknya yang paling sedikit mudaratnya dan mengedepankan prinsip keadilan sosial. "Keterampilan itu hanya dapat berkembang dengan latihan dan refleksi secara berulang," ujar dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
- Kondisi Jalan Gelap, Pengendara Motor Meninggal seusai Tabrak Truk di Sragen
- Strategi Bata Tutup Pabrik Disebut Kurang Tepat di Tengah Pertumbuhan Industri
- Tak Penuhi Rekomendasi OJK, Izin Usaha PT Tani Fund Madani Indonesia Dicabut
- Unesco Menetapkan Tiga Warisan Dokumenter RI sebagai Memory of The World
Berita Pilihan
- Ayah Perkosa Anak Kandung di Serang, Kementerian PPPA Turun Tangan
- KPU Purworejo Digugat ke PTUN Oleh Caleg Nasdem
- Usulan Presidential Club Prabowo Didukung Zulkifli Hasan
- Kepala Rutan Nonaktif KPK Ajukan Praperadilan Kasus Pungli
- Sidang Sengketa Pilpres, Hakim Ingatkan Tegur Ketua KPU Agar Tidak Tertidur
Advertisement
Top 7 News Harianjogja.com Kamis 9 Mei 2024: Masalah Sampah, Keracunan Massal, hingga Indonesia Vs Guinea
Advertisement
Grand Rohan Jogja Hadirkan Fasilitas Family Room untuk Liburan Bersama Keluarga
Advertisement
Berita Populer
- Waspada! Marak Penipuan dengan Modus Mengirimkan Email Palsu
- Gunung Ibu Halmahera Erupsi, Lontarkan Abu Ketinggian 2 Kilometer
- Tak Lagi Dianggap Bagian dari PDI Perjuangan, Begini Respons Jokowi
- Wacana Prabowo-Gibran Tambah Kementerian, Pakar: Harus Ubah Regulasi
- Desak Israel Berhenti Menyerang Rafah, China: Itu Kejahatan Kemanusian
- Semeru Kembali Erupsi Setinggi 600 Meter dari Puncak Gunung
- BMKG Ingatkan Potensi Hujan Deras dan Angin Kencang Hari Ini
Advertisement
Advertisement