Advertisement

OPINI: Tantangan Perbankan Syariah 2019

Mulya E. Siregar
Kamis, 03 Januari 2019 - 08:25 WIB
Budi Cahyana
OPINI: Tantangan Perbankan Syariah 2019 Ilustrasi perbankan syariah. - Bisnis.com

Advertisement

Perbankan syariah ke depan cukup menantang, baik dari sisi internal maupun eksternal. Saat ini perbankan syariah masih melakukan konsolidasi dan improvement, antara lain perbaikan kualitas aktiva produktif, penyempurnaan end to end business process, penghimpunan low cost fund, peningkatan kapabilitas SDM dan permodalan.

Hal-hal tersebut diharapkan dapat segera selesai, sehingga perbankan syariah mampu bersaing dan meningkatkan market share yang sampai dengan September 2018 sebesar 5,92% dibandingkan dengan industri perbankan nasional.

Advertisement

Selanjutnya untuk memasuki 2019, beberapa tantangan yang perlu menjadi perhatian perbankan syariah, antara lain, pengelolaan dana haji. Secara prinsip perbankan syariah dan BPKH memiliki arah tujuan yang sama yaitu memberikan kemaslahatan yang besar kepada umat.

Berlandaskan atas pemikiran tersebut, perlu kerja sama yang baik (fastabiqulkhairat) dan saling menguntungkan. Dari sisi perbankan syariah, tentunya harus memastikan bahwa memiliki performance yang baik dan tingkat kesehatan minimal pada peringkat komposit 2 (sehat).

Selain itu, pentingnya melakukan inovasi produk yang dapat memenuhi kebutuhan investasi BPKH, sehingga investasi BPKH di perbankan syariah tidak hanya dalam penempatan dana pihak ketiga tetapi juga misalnya kolaborasi pembiayaan secara bersama-sama dan sebagainya.

Tantangan lain adalah digital banking. Meningkatnya jumlah pengguna internet dan sosial media merupakan potensi sekaligus tantangan bagi perbankan syariah. Di sisi lain, terjadi perkembangan teknologi finansial (tekfin) yang cepat dan mendisrupsi pangsa pasar perbankan.

Oleh karena itu, perbankan syariah harus segera berinovasi menciptakan layanan yang sesuai dengan kebutuhan saat ini, seperti digital banking.

Perbankan syariah juga perlu melakukan kolaborasi dengan syariah fintech company guna menjangkau masyarakat yang berada di remote area melalui kerja sama agen Laku Pandai dan layanan transaksi syariah bagi generasi muda/milenial yang saat ini memiliki ghiroh/semangat berhijrah yang sangat besar.

Selain itu ada sustainable finance (SF). Penerapan SF sebagaimana diatur POJK No.51/POJK.03/2017, berlaku pada 2019 bagi Bank BUKU III, IV, dan bank asing, sementara bagi Bank BUKU I dan II akan berlaku pada tahun 2020.

Masyarakat dan Planet

Bank Mandiri Syariah sebagai satu-satunya Bank Umum Syariah (BUS) BUKU III harus mengimplementasikan POJK tersebut pada 2019.

POJK tersebut terbit sebagai respon dari otoritas sehubungan UNDP beralih dari Millenium Development Goals (MDGs) menjadi Sustainable Development Goals (SDGs) pada 2015. Terdapat 17 tujuan SDGs, yang pada dasarnya mengadopsi konsep Triple Bottom Line/TBL (meliputi 3 Ps yaitu profit, people, dan planet).

Konsep TBL dalam penerapan SF ditujukan agar penyaluran pembiayaan tidak semata-mata mengejar untung (profit) tetapi harus memberikan dampak positif bagi sosial/masyarakat (people) dan juga kehidupan (planet).

Hal tersebut sejalan dengan konsep Maqashid Syariah yang merupakan landasan bagi perbankan syariah, yaitu meliputi Hifdz Ad Din, Hifdz Al Aql, dan Hifdz An Nafs yang ketiganya identik dengan people, serta Hifdz Al Maal dan Hifdz An Nasb identik dengan profit dan planet.

Oleh karena itu, by its nature sudah sewajarnya perbankan syariah harus yang terdepan dalam menerapkan SF.

Perbankan syariah harus bersiap, karena suatu saat konvergensi perbankan syariah dan perbankan konvensional kami perkirakan terjadi dalam dua tahap, yaitu kesamaan obyek yang dibiayai dan kesamaan how to finance oleh perbankan yariah dan perbankan konvensional.

Tantangan berikutnya spin off atau konversi. Ada berbagai pilihan yaitu spin off, konversi, atau penggabungan beberapa unit usaha syariah (UUS) untuk menjadi sebuah bank umum syariah (BUS). Satu hal yang mengganjal terlaksananya spin off yaitu modal. Penyertaan modal Bank Induk pada BUS yang berasal dari spin off UUS maksimal sebesar 20%.

Pada tahap awal, Bank Induk harus menyediakan Rp500 miliar untuk modal BUS hasil dari spin off. Ini berarti modal minimum yang dimiliki Bank Induk sebesar Rp2,5 triliun, sementara saat ini ada Bank Induk yang modalnya dibawah Rp1 triliun seperti BPD.

Selain itu, penyertaan modal dapat dilakukan Bank Induk jika memiliki tingkat kesehatan minimal peringkat komposit 2 selama 4 semester terakhir.

Dengan dua kendala tersebut yaitu modal dan tingkat kesehatan, melahirkan alternatif lainnya yaitu konversi Bank Induk menjadi BUS. Konversi ini sejalan dengan program konsolidasi perbankan, karena tidak menambah jumlah bank umum.

Saat ini terdapat dua BUS hasil konversi Bank Induk yaitu Bank Aceh Syariah dan Bank NTB Syariah. Menariknya, informasi yang penulis peroleh, terdapat peningkatan performance setelah pelaksanaan konversi Bank Aceh Syariah.

Alternatif terakhir, beberapa UUS di spin off dari induknya untuk bergabung menjadi satu BUS baru. Untuk alternatif ini, OJK perlu memberikan kemudahan baik dari permodalan maupun tingkat kesehatan. 

Permodalan dari Bank Induk jangan dilihat per individu bank, tetapi dari gabungan modal Bank Induk. Diperkirakan, modal gabungan 3-4 Bank Induk yaitu sebesar Rp2,5 triliun-Rp5 triliun, sehingga modal yang dapat disisihkan dapat mencapai Rp1 triliun dan BUS tersebut langsung masuk kelompok Bank BUKU II.

Menurut hemat kami, pada 2019 adalah batas waktu bagi semua Bank Induk untuk menentukan sikap memilih alternatif tersebut di atas, karena apapun pilihannya butuh waktu untuk menyiapkannya dan jangan sampai terlambat.

Sinergi

Tantangan terakhir adalah sinergi BUS dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS). OJK telah menerbitkan dan mensosialisasikan POJK mengenai Penerapan Tata Kelola dan Manajemen Risiko bagi BPRS.

Menurut hemat penulis, BUS perlu mendukung upaya BPRS mengimplementasikan POJK tersebut. BUS yang sudah terlebih dulu menerapkan melalui Asosiasi Bank Syariah Indonesia (Asbisindo) harus siap membantu BPRS.

Selain itu, sinergi BPRS dan BUS juga dapat dilaksanakan diberbagai bidang seperti pembiayaan, sistem pembayaran, dan sebagainya dengan semangat berjamaah dalam menerapkan keuangan syariah.

Untuk menghadapi berbagai tantangan tersebut, perbankan syariah harus memiliki organizational agility yang sangat ditentukan oleh agile human resources (HR).

Keberadaan agile HR sangat tergantung pada dua hal. Pertama, pelatihan human resources yang berkesinambungan bagi seluruh SDM. Kedua, agile leadership yang tanggap dalam menghadapi berbagai perubahan.

Perbankan syariah harus mengoptimalkan 5% dari biaya tenaga kerja untuk peningkatan kapabilitas SDM. Selain itu, diperlukan seorang pemimpin yang lincah (agile) untuk tanggap membaca arah perubahan dan mampu dalam waktu cepat melakukan adjustment maupun alignment organisasi.

Akhirnya dengan adanya pelatihan HR dan agile leadership, penulis meyakini seluruh komponen SDM perbankan syariah Insyaallah siap untuk menunjang organisasi dalam bermanuver menghadapi masa depan yang penuh dengan volatility, uncertainty, complexity, dan ambiguity (VUCA).

*Penulis adalah Staf Ahli Direksi Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Top 7 News Harianjogja.com Kamis 25 April 2024: Kasus Penggelapan Pajak hingga Sosialisasi Tol Jogja-YIA

Jogja
| Kamis, 25 April 2024, 06:47 WIB

Advertisement

alt

Berikut Rangkaian Program Pilihan Keluarga Indonesia Paling di Hati, Hanya di MNCTV

Hiburan
| Selasa, 23 April 2024, 14:57 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement