Advertisement

OPINI: Membangun Ketangguhan Industrialisasi Peternakan

Rochadi Tawaf, Pengurus Pusat Perhimpunan Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan Indonesia
Senin, 04 Maret 2019 - 08:07 WIB
Galih Eko Kurniawan
OPINI: Membangun Ketangguhan Industrialisasi Peternakan Menteri BUMN Rini Soemarno (kanan) memandikan sapi perah yang terdapat di tempat wisata edukasi peternakan sapi perah dan kambing etawa ketika kunjungan program Perhutanan Sosial di Dusun Karang Anyar, Lumajang, Jawa Timur, Jumat (15/2/2019). - ANTARA/Zabur Karuru

Advertisement

Industrialisasi peternakan yang tangguh hanya bisa diwujudkan dengan terintegrasinya proses produksi dari hulu ke hilir. Dengan kata lain, industri hilir dibangun berdasarkan potensi dan kemampuan industri hulunya.

Pembangunan peternakan berbasis industri ini dimulai sejak pemerintah menetapkan konsep sistem agribisnis pada era tahun 2000. Faktanya, hampir semua komoditas ternak dibangun tidak berdasarkan potensinya. Katakanlah perunggasan, daging (sapi), dan susu, ketergantungan imporya masih sangat tinggi.

Advertisement

Bila dievaluasi setelah berjalan hampir dua dasawarsa, dampaknya terlihat bahwa industri perunggasan dikuasai oleh perusahaan raksasa dunia, sehingga peternak rakyat menjadi buruh dikandangnya sendiri.

Ketergantungannya terhadap impor lebih dari 60% atas sarana produksi terutama GG Parent. Industri persusuan yang sejak 1979 dikuasai koperasi kini mulai tumbuh subur mega farm. Produksi peternakan sapi perah rakyat yang di era 1980-an mampu berkontribusi 50% terhadap konsumsi susu nasional, kini hanya 18% saja.

Industri sapi potong pun mengalami hal serupa. Di era 1990-an, kontribusi produksi peternak rakyat yang 70% kini melorot menjadi sekitar 50%.

Kebijakan industrialisasi ini telah mengubah mind set pejabat pemerintah dan meninggalkan realita kondisi sesungguhnya: meninggalkan peternakan rakyat yang berskala kecil dan tradisional. Alhasil, pembangunan industri peternakan tidak lagi pro produsen/peternak rakyat.

Hal ini dibuktikan dalam grand design pembangunan sapi potong dan kerbau bahwa populasi peternakan rakyat pada tahun 2045 hanya tinggal 20% saja.

Selain itu ternyata tujuan pembangunan peternakan yang dianut pemerintah saat ini pun tidak lagi konsisten. Apakah landasan pembangunan peternakan adalah ketahanan atau kedaulatan atau kemandirian pangan atau swasembada protein hewani?

Pasalnya, konsep-konsep tersebut pendekatannya berbeda-beda satu dengan lainnya. Misalnya ketahanan pangan menganut upaya ketersediaan pangan, baik produk sendiri maupun impor tak jadi masalah. Konsep kemandirian pangan yang diterjemahkan sebagai swasembada pangan, mengatur ketersedian pangan lokal dengan kandungan impornya maksimum 10%.

Adapun kedaulatan pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan pangan yang menjamin hak atas pangan bagi rakyat dan yang memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal (UU No. 18/2012 tentang Pangan).

Penetapan tujuan pembangunan industri peternakan tersebut membawa konsekuensi terhadap pelaksanaan operasionalnya. Kata ‘keberpihakan’ menjadi faktor penentu terhadap konsep pendekatan pembangunan yang selama ini digunakan.

Farming vs Agribisnis
Dua model pendekatan pembangunan yang digunakan selama ini adalah sistem agribisnis yang diperkenalkan di era tahun 2000. Konsep ini lahir di Amerika Serikat pada 1950-an yang berbasis korporasi. Adapun negeri ini mengenal dengan konsep usaha tani rakyat (farming system) yang berlandaskan ekonomi kerakyatan. Sesungguhnya, karut marut pembangunan peternakan ini bermuara pada perbenturan penerapan dua konsep yang saling berseberangan tersebut, yaitu pengembangan industri peternakan melalui usaha korporasi, sementara faktanya pelaku usaha sebagian besar (lebih dari 90%) adalah peternakan rakyat.

Penyebab lain karut marut pembangunan industri peternakan adalah banyaknya kebijakan kontroversial yang tidak didukung oleh data akurat. Kondisi ini memorakporandakan proses pembangunan itu sendiri. Kasus jagung misalnya, kebijakan untuk tidak melakukan importasi tidak didukung oleh data akurat.

Jagung dikatakan surplus dengan produksi sekitar 33 juta ton di sentra produksi pada 2018. Namun, pengguna jagung yaitu industri peternakan ayam berada di tempat lainnya. Jadi inti persoalan terletak pada rantai distribusinya? Apakah ini dalih atau karena perencanaanya tidak matang? Selain itu, pada bulan-bulan ini pemerintah menyatakan panen raya jagung tengah terjadi. Namun faktanya harga jagung pada industri pakan tidak juga turun?

Demikian juga halnya soal sapi potong. Pemerintah memaksa melalui kebijakannya yaitu Permentan No. 2/2017 tentang rasio impor sapi bakalan dengan indukan. Maknanya, konsep integrasi usaha penggemukan yang dilakukan oleh para feedloter dengan usaha pembiakan harus bisa dilaksanakan. Jika tidak, dan pemerintah konsisten dengan kebijakan tersebut, tentu perusahaan penggemukan akan dikenai sanksi.

Pasalnya sejauh ini respon para pengusaha sangat pasif, yaitu realisasi impor sapi indukan di akhir 2018 hanya 21.145 ekor atau tidak lebih 2% dari jumlah yang seharusnya diimpor sesuai ketentuan tersebut. Respon pasif pengusaha terutama disebabkan oleh kerugian usahanya. Dukungan perbankan terhadap konsep Permentan tersebut juga tak terlihat.

Selebihnya program Upsus Siwab (upaya khusus sapi betina wajib bunting) yang digembar gemborkan berhasil diduga kuat akan merugikan peternak jika impor daging dari India terus membanjiri pasar seperti saat ini.

Pasalnya, dampak intervensi daging kerbau asal india menyebabkan harga pasar daging sapi nasional tidak lagi menjadi perangsang bagi tumbuh kembangnya peternak budidaya sapi potong.

Di bidang persusuan pun, peternak rakyat mengalami persoalan yang memprihatinkan. Ancaman munculnya sekitar tujuh korporasi mega farm industri persusuan di negeri ini, yang tidak lagi melibatkan usaha peternakan rakyat, jelas akan melumpuhkan bisnis peternakan rakyat dibawah naungan Gabungan Koperasi Susu Indonesia.

Dalam hal ini tidak tampak adanya keberpihakan pemerintah, terutama dengan dicabutnya Permentan 26/2017 menjadi Permentan 30/2018 dan kemudian menjadi Permentan 33/2018 dimana esensinya memberikan kebebasan kepada industri pengolahan susu (IPS) untuk tidak bermitra dan tidak menyerap produksi peternakan rakyat.

Di era digitalisasi saat ini, konsep pembangunan industrialisasi peternakan masa depan tidak luput dari efisiensi usaha. Untuk memadukan antara sistem agribisnis dan pengembangan usaha peternakan rakyat bisa dilakukan melalui pola klustering, dimana para peternak rakyat yang berusaha sejenis dalam suatu kawasan (horizontal agribisnis).

Bisa dilakukan oleh koperasi maupun kelompok dalam bentuk korporasi (Bumdesa/koperasi). Misalnya, kegiatan perbibitan, perbesaran, penggemukan dan pemotogan (RPH). Aktivitas lanjutan dari klustering ini dihubungkan oleh sistem aplikasi digital. Hubungan ini bersifat tertutup secara vertikal antar kelompok peternak kluster.

Hubungan usaha antar subsistem bersifat captive. Hal ini menunjukkan adanya kepastian atau jaminan dalam berusaha dan pasar. Konsep ini merupakan model industri peternakan masa depan yang menggabungkan konsep farming system dan sistem agribisnis yang berkerakyatan. Semoga! (JIBI/Bisnis Indonesia)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Kembali Tampil di Pilkada Gunungkidul Tahun Ini, Ini Gagasan yang Diusung Sutrisna Wibawa

Gunungkidul
| Jum'at, 29 Maret 2024, 20:17 WIB

Advertisement

alt

Rela, Ungkapan Some Island tentang Kelam, Ikhlas dan Perpisahan

Hiburan
| Jum'at, 29 Maret 2024, 09:07 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement