Advertisement

OPINI: Penjenamaan Museum

Sumbo Tinarbuko
Rabu, 20 Maret 2019 - 08:07 WIB
Galih Eko Kurniawan
OPINI: Penjenamaan Museum Gubernur DIY Sri Sultan HB X saat membuka Simposium Internasional terkait Budaya Jawa dan Naskah Keraton di Royal Ambarukmo Hotel, Selasa (5/3/2019). - Harian Jogja/Abdul Hamid Razak

Advertisement

Pada Rabu, 6 Maret 2019, Harianjogja.com menayangkan headline berita berjudul Sultan: Museum Harus Tampil Eksotis’. Berita menarik yang ditulis wartawan Harianjogja.com Abdul Hamied Razak itu mengutip pendapat Gubernur DIY Sri Sultan HB X saat membuka Simposium Internasional Budaya Jawa dan Naskah Kraton di Royal Ambarukmo Hotel, Selasa (5/3/2019).

Dikatakan Sri Sultan HB X, pengelola museum juga harus memantapkan posisinya sebagai inspirator dan motivator dengan penjenamaan baru untuk mengambil hal-hal yang bernilai dari masa lalu untuk masa kini. Sebab museum bisa difungsikan sebagai jembatan budaya antargenerasi, sekaligus jendela budaya, sarana menemukan dunia baru dengan menengok masa lalu untuk mengembangkan budaya dan peradaban bangsa ke depan.

Advertisement

"Museum sebagai bagian dari industri kreatif, perlu membuat new brand dengan mengemas potensi museum secara menarik, atraktif, dan sesuai dengan kebutuhan kekinian untuk meningkatkan awareness masyarakat,” harap Sri Sultan HB X.

Jejak Peradaban
Keinginan Gubernur DIY membuat penjenamaan baru pada sejumlah museum yang ada di DIY layak didukung oleh siapa pun. Gagasan orang nomor satu di kantor pemerintahan DIY ini berdasarkan realitas sosial yang berkembang di kalangan masyarakat. Sri Sultan HB X meyakini keberadaan museum di era digital ini menjadi tempat mencatat dan menempatkan peninggalan jejak peradaban masa lampau. Catatan verbal dan catatan visual jejak peradaban masa lalu yang tersimpan rapi di musem sengaja dihadirkan pada zaman sekarang sebagai sumber inspirasi sekaligus citra cermin bagi generasi milenial.

Untuk mengenalkan serta menunjukkan keberadaan jejak peradaban masa silam, program penjenamaan museum layak dilakukan dan dijalankan secara terus menerus. Mengapa demikian? Karena era peradaban digital sekarang ini, semua menyadari, jenama menjadi jati diri dari produk barang dan jasa.
Jenama dihadirkan untuk merepresentasikan kualitas nilai yang memberikan unsur pembeda secara signifikan antara jenama yang satu dan lainnya. Hal yang sama terjadi di era bisnis modern. Mereka menjual merek dan bukan produk. Apalagi produk yang dijual, semuanya hampir sama.

Agar jenama memiliki kekuatan yang bersifat humanis, perlu dibuat kesepakatan baru antar para pihak. Sebab pada dasarnya, sebuah jenama, dalam konteks branding museum, keberadaannya tidak sekadar membuat serta merancang nama brand saja. Kemudian diparafrasekan dan divisualkan dengan pendekatan desain komunikasi visual menjadi sebuah desain logo lengkap dengan identitas visualnya.
Sebab sejatinya, jenama tidak sama dengan merek. Ibarat raga manusia, merek sekadar nama pribadi manusia. Ketika pendapat umum masih menganggap jenama identik dengan merek. Realitas sosial yang muncul, nama tersebut (baca: merek) senantiasa berjarak dengan objek yang diberi nama.

Atas dasar itulah, disodorkan konsep baru yang mendekonstruksi jenama bukan kembaran dari merek. Sebab jenama adalah merek plus plus. Keberadaannya meliputi segenap jiwa raga dari sang manusia itu sendiri. Jenama harus dijaga dalam posisi sebagai kata kerja. Bukan kembali pada sang asal, yakni tetap menjadi kata benda.

Adrenalin Rindu
Ketika museum di kota budaya DIY dibranding sebagai sanctuary dunia, keberadaannya diharapkan mampu menggoyang adrenalin rindu seseorang atau sekelompak warga dunia untuk senantiasa mengunjungi dan melakukan investasi budaya di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Harus diakui, Daerah Istimewa Yogyakarta, bagi alumnusnya (orang yang pernah tinggal di di DIY), menyembulkan getaran romantisme tiada tara. Magnet romantisme alam raya, adat istiadat dan budaya lokal DIY selalu mengusik sanubari para alumnus DIY untuk senantiasa menengok, mengunjungi, dan mencium wangi tubuh ibu pertiwi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Masalahnya kenapa romantisme alam raya, adat istiadat dan budaya lokal DIY begitu ngangeni? Kenapa pula orang-orang yang pernah bermukim atau berkunjung ke wilayah DIY ingin kembali lagi ke kota yang awalnya di bangun oleh pihak Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat?

Harus diakui, Daerah Istimewa Yogyakarta dalam perspektif budaya visual adalah wilayah mooi indie yang nyaman, lengkap dengan artefak dan budaya lokal. Terhadap realitas sosial seperti itu, maka branding museum di kawasan DIY sebagai sanctuary dunia secara otomatis mengerucut pada representasi objek wisata berbasis jejak sejarah peradaban DIY.

Magnet pariwisata tersebut menyebarkan auranya di sudut ruang dan waktu di DIY yang membaptis dirinya menjadi kota budaya. Di dalamnya tersedia objek wisata religiusitas keagamaan, ziarah kubur, pendidikan, konferensi, sejarah, belanja, dan kuliner tradisional. Di samping itu: wisata alam, pantai, serta wisata minat khusus, tidak pernah sepi dikunjungi pelancong dari berbagai pelosok kota di Indonesia dan manca negara.

Tawaran penjenamaan museum seperti dikumandangkan dalam narasi pidato Gubernur DIY layak dijadikan sebuah pentas orkestrasi yang merdu. Atas dasar itu, upaya branding museum di kawasan DIY sebagai sanctuary dunia yang direpresentaskan lewat objek wisata menjadi penting dan mengikat para pihak.

Mengapa penting? Karena sektor pariwisata diposisikan menjadi salah satu andalan objek pendapatan finansial Pemerintah Daerah DIY. Kepentingan lainnya, upaya branding museum seperti ini diyakini mampu menggerakkan sektor industri kreatif yang menjadi soko guru industri pariwisata di DIY.

*Penulis merupakan pemerhati budaya visual/Dosen Komunikasi Visual FSR ISI Jogja

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Jalan Rusak di Sleman Tak Kunjung Diperbaiki, Warga Pasang Spanduk Obyek Wisata Jeglongan Sewu

Sleman
| Sabtu, 20 April 2024, 18:57 WIB

Advertisement

alt

Lokasi dan Harga Tiket Museum Dirgantara Jogja, Cek di Sini

Hiburan
| Sabtu, 20 April 2024, 13:37 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement