Advertisement

Krisis Petani Muda di Negeri Agraris

Mohammad Iqbal Shukri
Rabu, 31 Juli 2019 - 06:07 WIB
Galih Eko Kurniawan
Krisis Petani Muda di Negeri Agraris Ilustrasi petani di desa - JIBI

Advertisement

Indonesia tergolong negara yang agraris.Tapi tak sedikit dari masyarakat kita dimakmurkan atas usaha dari mengolah bumi Indonesia ini. Khususnya kesejahteraan pada masyarakat yang sehari-hari bekerja sebagai petani.

Seorang petani harus bisa mengatur kesejahteraannya sendiri. Risiko gagal panen, harga pupuk mahal, cuaca dan iklim yang tidak mendukung, bahkan keadaan harga jual hasil tanaman yang rendah adalah beban yang harus dipikirkan oleh petani setiap tahunnya.

Advertisement

Terkadang pikiran tak sebanding pengeluaran dengan untung dalam bertani menimpa para petani. Sehingga ada anggapan menjadi seorang petani adalah termasuk pada status kerja yang rendah.  Petani tak seperti pekerjaan lainnya, yang telah dijamin kesejahteraannya.

Seperti pegawai atau karyawan yang dijamin kesehatan dan gajinya oleh suatu perusahaan. Atau bahkan seseorang yang bekerja pada lembaga pemerintahan yang sudah dijamin gaji pasti, dan tunjangan hiidup tiap bulannya.

Hal itu menjadi salah satu dasar kenapa pemuda Indonesia banyak yang tak mau jadi seorang petani. Jaminan kesejahteraan yang masih dalam bayang-bayang, dan status kerja rendah menjadi petani dibanding pekerjaan lainnya.

Pembentukan mindset bahwa pekerjaan petani itu rendah sebenarnya sudah ditanamkan pada diri kita sejak kecil, dalam lingkup keluarga, masyarakat dan sekolah. Hal ini harus segera diselesaikan, branding pekerjaan menjadi seorang petani harus ditingkatkan minimal setara dengan status pekerjaan lainnya.

Sejak kecil kita pasti masih ingat pesan-pesan orang tua tatkala menyekolahkan anaknya, “Sekolah yang benar ya nak, supaya pandai dan kelak menjadi orang besar. Tidak menjadi seperti bapak dan ibu jadi petani”.

Memang pesan dari orang tua tersebut adalah upaya untuk meningkatkan derajat keluarga dan masa depan anaknya. Namun dari ungkapan tersebut pula menjadikan seolah-olah petani adalah pekerjaan dengan kasta terendah. Sebab menurut para orang tua yang bekerja sebagai petani berpuluh-puluh tahun lamanya tak menganggap tak ada jaminan kesejahteraan dalam hidupnya, sehingga ia berupaya menyekolahkan anaknya menjadi orang yang berpendidikan dan mendapatkan pekerjan yang lebih baik.

Satu contoh lagi, alhasil dari pesan orang tua dan anaknya tadi merambah pada pola pikirnya. Tidak ingin menjadi seorang petani seperti sang orang tua. Dibuktikan dengan ketika kita waktu kecil, pasti masih ingat guru disekolah pernah bertanya pada murid “Anak-anak kalau besar nanti ingin jadi apa?”. Kemudian sang murid pun menjawab ada yang ingin menjadi dokter, polisi, masinis, pilot namun nyaris atau bisa dibilang tidak ada dari kita satu kelas yang menginginkan menjadi seorang petani.
Tak ingin menjadi petani disematkan dalam pikiran hingga jenjang pendidikan tinggi atau pada waktu muda. Akibatnya sekarang Indonesia krisis petani muda.

Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkap dalam laporan bertajuk Sensus Pertanian 2013 mengkategorikan petani dalam beberapa usia. Dari jumlah total yang terdata waktu itu berjumlah 26.135.469 petani. Diurutkan dari petani usia golangan tua ke data jumlah petani muda. Pertama petani usia lebih dari 65 tahun sebanyak 3.332.038 petani. Kedua petani usia 55-64 tahun berjumlah 5.229.903 orang. Ketiga usia 45-54 tahun sebanyak 7.325.544 orang.Keempat petani usia 35-44 tahun sebanyak 6.885.100 orang. Kelima petani muda usia 25-35 tahun sebanyak 3.129.644 orang. Kemudian pada usia 15-24 tahun jumlahnya hanya 229.943 orang dan jumlah petani yang paling sedikit yakni pada kelompok usia dibawah 15 tahun hanya berjumlah 3.297 orang.

Data tersebut menggambarkan jumlah antara kelompok petani golongan tua, dengan petani muda tergolong mengalami ketimpangan. Hal itu tidak menutup kemungkinan petani muda yang tercantum termasuk mereka yang masih berpendidikan rendah atas sebab kurang mampu membayar biaya pendidikan. Sehingga ia putus sekolah dan akhirnya dengan terpaksa mereka meneruskan pekerjaan orang tua menjadi petani.

Regenerasi Petani Muda
Visi pemerintah untuk mewujudkan cita-cita Indonesia sebagai Lumbung Pangan Dunia 2045 tak luput dengan perhatian terhadap regenerasi petani. Sebab petani adalah mereka yang memproduksi hasil pangan dengan cara mengolah kekayaan bumi kita ini.

Begitu pentingnya peran petani demi terwujudnya cita-cita tersebut harus menjadi sebuah kajian yang serius dalam kurun waktu 25 tahun yang tersisa ini. Jangan sampai Indonesia krisis petani muda. Untuk mengatasi krisis petani muda ada banyak cara yang bisa dilakukan.

Pertama, merubah mindset anak sejak kecil, bahwa pekerjaan menjadi seorang petani itu adalah pekerjaan yang punya status mobilitas tinggi, dan setara dengan pekerjaan lainnya. Minimal pada lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Rebranding mindset petani itu sangat penting, dan perlu sebab anak-anak mempunyai daya ingat yang sangat kuat dan mereka akan mengingatnya sampai kapanpun. Bisa dimulai dengan mengenalkan anak pada bidang pertanian, cara bercocok tanam, jenis tanaman, hingga menanamkan mindset bahwa bertani itu adalah suatu pekerjaan yang sangat menyenangkan.

Kedua, menjamin kesejahteraan petani, disini peran pemerintah sangat penting dalam upaya menjamin kesejahteraan petani layaknya pekerjaan lainnya. Tiap tahunnya petani Indonesia dibayangi oleh ketidakpastian harga pasar, baik harga hasil panen ataupun harga-harga bahan-bahan perawatan tanaman seperti pupuk. Pekerjaan rumah pemerintah yakni sebisa mungkin bisa mengendalikan harga-harga tersebut supaya tidak merugikan para petani. Salah satu caranya pemerintah bisa membuat kebijakan menghapuskan adanya cukong atau pengepul produk-produk pertanian.

Ketiga, pertanian modern. Jepang menjadi salah satu contoh negara maju khususnya dalam pengelolaan bidang pertanian. Salah satu kunci kesuksesannya adalah adanya teknologi pertanian yang sudah canggih. Selain itu sistem yang diterapkan oleh Jepang memang sudah terlihat antara perhatian khusus yang diberikan oleh pemerintah terhadap bidang pertanian dan para petani.

Dari proses penanaman, perawatan, dan panen Jepang menerapkan dengan prinsip pertanian modern dengan di dukung teknologi alat pertanian. Selain itu pemerintah Jepang ikut men dukung dari awal penanaman hingga distribusi hasil panen sehingga ketakutan Dan kebingungan petani terkait harga jual murah bisa teratasi.

Terkait itu semua, memajukan pertanian tak bisa dipisahkan dengan pendidikan. Petani Indonesia hanya sedikit yang menerapkan sistem pertanian modern. Disini perlunya peran petani muda berpendidikan untuk terjun dan memberikan edukasi pertanian sistem modern kepada para petani, khususnya petani-petani yang ada di desa. Indonesia mempunyai Institut Pertanian Bogor (IPB), dalam hal ini pemerintah bisa bersinergi dengan lembaga pendidikan yang fokus pada bidang pertanian untuk memajukan pertanian Indonesia. Bahkan terwujudnya jaminan kesejahteraan, dan regenerasi petani muda.

Jangan sampai tanah Indonesia terganti menjadi lahan industri yang menyuplai pencemaran lingkungan tiap tahunnya. Bukankah lebih baik membuat lahan pekerjaan yang ramah lingkungan? Ya, contohnya seperti mengolah bumi kita ini dengan bijak yang biasa kita sebut pertanian.

*Penulis merupakan mahasiswa Jurusan Perbankan Syariah UIN Walisongo Semarang/Aktiv di Surat Kabar Mahasiswa (SKM) Amanat

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Jadwal Bus Damri dari Jogja-Bandara YIA, Bantul, Sleman dan Sekitarnya

Jogja
| Jum'at, 29 Maret 2024, 04:37 WIB

Advertisement

alt

Film Horor Gunakan Unsur Islam dalam Judul, MUI Sebut Simbol Agama Harus di Tempat yang Pas

Hiburan
| Selasa, 26 Maret 2024, 09:27 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement