Advertisement

OPINI: Kampanye Pilkada Berbahasa Jawa

Bambang Nugroho
Rabu, 09 Oktober 2019 - 05:02 WIB
Galih Eko Kurniawan
OPINI: Kampanye Pilkada Berbahasa Jawa Ilustrasi Pilkada

Advertisement

Dalam Konsolnas KPU (21-24 September 2019) lalu di Jakarta yang dibuka oleh Menteri Dalam Negeri sekaligus peluncuran Pilkada Serentak 2020, Ketua KPU RI melaporkan bahwa Pilkada serentak 2020 di sembilan provinsi dan 270 kabupaten/kota melibatkan tidak kurang dari 107 juta pemilih. Termasuk di Kabupaten Bantul, Sleman dan Gunungkidul akan dilaksanakan pada 23 September 2020.

Tahapannya telah dimulai pada 30 September 2019, diawali dengan kegiatan perencanaan program dan anggaran. Sebagaimana diatur dalam Peraturan KPU No.15/2019 tentang Tahapan, Program dan Jadwal Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota 2020.

Advertisement

Salah satu tahapan yang paling krusial dalam Pilkada selama ini adalah masa kampanye. Dimana suhu politik mencapai puncaknya, sehingga diperlukan kesiapsiagaan dan kedewasaan berpolitik semua pihak. Kampanye pasangan calon antara lain dilakukan melalui pertemuan terbatas, pertemuan tatap muka dan dialog, penyebaran bahan kampanye, pemasangan alat peraga, kampanye melalui media massa serta debat publik secara terbuka antar pasangan calon. Mungkinkah dalam kampanye debat publik secara terbuka oleh pasangan calon dapat dilakukan dengan menggunakan bahasa daerah yaitu bahasa Jawa untuk Pilkada di Bantul, Sleman dan Gunungkidul.

Debat Publik
Debat publik secara terbuka dan disiarkan secara langsung melalui media elektronik (tivi, radio) dilaksanakan untuk menyampaikan visi, misi dan program selain mengukur kapasitas dari pasangan calon. Debat yang dipandu oleh moderator sudah ada rambu-rambu yang sangat ketat, baik mengenai materi maupun waktunya. Artinya bukan debat untuk mencari menang kalah atau salah benar semata. Baik aturan maupun materi, biasanya sudah dikoordinasikan terlebh dahulu oleh KPU bersama tim kampanye pasangan calon.

Karena itu dalam debat publik akan dihindari adanya unsur-unsur yang sifatnya mengandung SARA atau mendiskriditkan pasangan calon lain. Sekalipun didalam praktiknya, jika tidak hati-hati bisa jadi salah satu pasangan calon akan melanggar rambu-rambu itu karena suasana politik yang memanas baik di dalam maupun di luar ruang debat. Hal itulah yang kemudian sering mendapat perhatian dan kritikan publik, bahwa debat kurang sesuai harapan atau dirasa kurang bisa menguak seluruh kapasitas pasangan calon.

KPU provinsi dan kabupaten/kota diberikan wewenang dalam menyusun tata tertib pelaksanaan kampanye sesuai kondisi sosial budaya masyarakat masing-masing yang lebih dahulu berkoordinasi dengan Pemda, Kepolisian, Bawaslu dan tim kampanye pasangan calon. Sehingga tidak ada salah atau jeleknya jika KPU kabupaten/kota di DIY nanti, mencoba memasukkan beberapa materi kearifan lokal menjadi materi debat publik dengan menggunakan pengantar bahasa Jawa dalam debat publik pasangan calon.


Bahasa Jawa
Bagi sebagian besar masyarakat DIY pada umumnya bahasa Jawa masih banyak digunakan dalam pergaulan sehari-hari baik itu ngoko (kasar), krama madya (halus sedang) maupun krama inggil (halus sekali). Bahkan secara formal melalui peraturan gubernur maupun bupati telah mewajibkan bagi para ASN dan pejabat pemerintahan, menggunakan bahasa Jawa dalam berkomukasi dan memberikan pelayanan kepada masyarakat pada hari atau tanggal tertentu. Sekalipun dalam praktiknya belum bisa optimal, karena hari itu sering dihindari untuk tidak digunakan rapat atau kegiatan lain yang harus berbahasa Jawa.

Apabila bahasa Jawa memungkinkan digunakan dalam kampanye debat publik pasangan calon Pilkada di DIY, maka tidak harus semua menggunakan bahasa Jawa. Namun, cukup dimasukkan pada salah satu sesi dengan harus tetap memperhatikan kemampuan dan latar belakang asal pasangan calon. Sehingga jangan sampai mempersulit atau menjadikan titik lemah, tetapi sebaliknya menjadi tolok ukur sejauh mana pasangan calon punya komitmen kuat terhadap penggunaan serta pelestarian bahasa Jawa.

Debat publik dibagi beberapa sesi meliputi pembukan, penyampaian visi misi dan program, tanya jawab sesuai tema debat, saling lempar pertanyaan dan jawaban antar pasangan serta pernyataan penutup. Dari beberapa sesi itu yang paling memungkinkan menggunakan bahasa Jawa, pada sesi pembukaaan atau peryataan penutup karena bisa dengan membaca naskah. Apabila debat publik menggunakan bahasa Jawa bisa dilaksanakan, diharapkan suasana kampanye tentu akan lebih sejuk dan kondusif.


*Penulis merupakan Ketua Paguyuban Sastrawan Jawa Bantul Paramarta/Mantan Kepala Sub Bagian Hukum KPU Bantul

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Dukung Kelestarian Lingkungan, Pemda DIY Mulai Terapkan Program PBJ Berkelanjutan

Jogja
| Kamis, 28 Maret 2024, 16:17 WIB

Advertisement

alt

Film Horor Gunakan Unsur Islam dalam Judul, MUI Sebut Simbol Agama Harus di Tempat yang Pas

Hiburan
| Selasa, 26 Maret 2024, 09:27 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement