Advertisement

OPINI: Ancaman Depopulasi Sapi

Khudori, Pegiat Komite Pendayagunaan Pertanian
Sabtu, 17 Juli 2021 - 06:17 WIB
Galih Eko Kurniawan
OPINI: Ancaman Depopulasi Sapi Pedagang daging sapi segar melayani konsumen, di Pasar Modern, Serpong, Tangerang Selatan, Senin (2/6/2019). - Bisnis/Endang Muchtar

Advertisement

Tanpa banyak disadari publik, lebih dari tiga tahun terakhir terjadi perubahan pola pergerakan harga daging sapi. Selama berpuluh-puluh tahun, pola pergerakan harga ajek: harga rendah di awal tahun, naik seminggu jelang Ramadan, seminggu jelang Idulfitri, dan terus naik sejak sebulan sebelum Iduladha.

Harga baru turun usai Iduladha. Di akhir tahun, harga daging sapi perlahan-lahan naik menuju Natal dan tahun baru. Sejak 2018, pola pergerakan harga ini berubah. Pergerakan harga daging tak berpola dan sulit ditebak.

Advertisement

Diduga kuat hal ini tidak terlepas dari dinamika pemenuhan daging sapi dalam negeri, yang sekitar 37% diimpor. Kala pemenuhan dari impor, baik daging beku maupun sapi bakalan, terhambat maka secara langsung memengaruhi harga daging sapi di pasar.

Ini terjadi karena daging sapi impor bukan lagi komplementer tapi jadi elemen penting stabilitas pasokan. Kala pasokan daging sapi impor terhambat, harga di dalam negeri berpotensi terguncang.

Mengapa? Tak lain karena struktur industri peternakan domestik sebagai basis utama pasokan daging sapi secara inheren memang rentang bergejolak. Berbeda dengan di Australia, lebih dari 98% ternak sapi di Indonesia dikuasai 4,6 juta peternak kecil dengan skala kepemilikan 2—3 ekor per peternak.

Ternak dipelihara di belakang rumah sebagai usaha sambilan. Hanya kurang 2% sapi dikuasai perusahaan ternak besar. Bagi mereka, ternak dianggap ’rojo brono’ atau ’rojo koyo’. Dua kosa kata itu kira-kira sama dengan aset likuid.

Di sisi lain, pasar menuntut pasokan sapi secara kontinyu sepanjang tahun. Struktur seperti ini tidak akan mampu mencukupi kebutuhan konsumsi daging sapi nasional, karena diperlukan populasi sapi yang besar.

Sialnya, dua tahun terakhir pasokan daging sapi (beku dan sapi bakalan) impor, terutama dari Australia, ada kendala serius. Daging sapi selama ini mayoritas dipasok dari Australia. Letak geografis yang dekat dengan Indonesia membuat harga daging dari Australia lebih kompetitif ketimbang negara lain.

Dua tahun terakhir Australia dilanda bencana: banjir bandang pada 2019 dan kebakaran hutan pada 2020. Sejak 2019 lalu Australia mengurangi ekspor sapi, karena perlu memulihkan populasi sapinya ke level ideal. Mengikuti hukum pasokan-permintaan, saat pasokan terbatas dengan permintaan tetap, harga sapi naik drastis.

Sejak impor sapi dari Australia di awal 1990-an, baru kali ini harga sapi impor menyentuh Rp56.000-an/kg berat hidup (landed cost), lebih mahal dari harga sapi lokal (Rp 47.000-an/kg berat hidup). Pebisnis penggemukan sapi (feedloter) tak mungkin berharap dapat sapi bakalan dari Australia.

Sialnya lagi, tidak mudah mencari pasokan sapi pengganti Australia. Alhasil, pengusaha feedloter kemungkinan besar akan menggantungkan pada sapi bakalan lokal. Masalahnya, populasi sapi lokal pun terbatas.

Informasi dari Komunitas Sapi Indonesia (KSI), keterbatasan pasokan sapi sudah terjadi saat Ramadan lalu. Saat puasa harga naik lumayan tinggi. Kalkulasi KSI, para peternak sapi kini menahan pasokan sapi jantannya ke rumah pemotongan hewan (RPH). Sapi-sapi jantan itu baru dilepas saat Iduladha karena akan diganjar harga tinggi.

Sebagai gantinya, sapi-sapi betina, termasuk betina yang produktif, dipotong di RPH. Bahkan, sapi perah pun bernasib sama. Harga daging sapi yang tinggi menjadi insentif (ekonomi) yang menarik untuk memotong sapi perah ketimbang mereka terus memelihara sapi tersebut untuk menghasilkan susu.

Data KSI, pemotongan betina produktif semakin intensif setelah Iduladha. Kecenderungan ini terjadi 3 tahun terakhir. Hal ini harus diantisipasi sejak dini agar pengurasan sumber daya sapi lokal (depopulasi) seperti pada 2011—2013 tak terulang.

Saat itu, yakin swasembada daging tercapai pada 2011 (berdasarkan hasil sensus BPS 2011), secara bertahap kuota impor daging sapi dipangkas 35% dari kebutuhan pada 2011 menjadi 15,5% pada 2012, dan tinggal 13,4% pada 2013. Belakangan, kalkulasi sensus BPS diyakini salah.

Apa yang terjadi? Pertama, terjadi pengurasan populasi sapi. Sensus Pertanian 2013 oleh BPS menyimpulkan, populasi sapi turun 19% dari data yang dirilis pada 2011. Pemangkasan impor membuat banyak sapi dipotong, bahkan betina produktif yang dilarang UU juga dipotong karena ada insentif harga yang tinggi.

Rata-rata betina produktif yang dipotong di rumah pemotongan hewan mencapai 31,08% atau 1 juta ekor per tahun (Tawaf, 2013). Kedua, pengurasan populasi sapi perah. Ketiga, bukan hanya harga daging, impor (daging dan sapi bakalan) juga kian tak terkendali. Sampai saat ini.

Dalam jangka pendek, perlu dicari sumber alternatif pengganti Australia. Dalam jangka menengah-panjang, perlu langkah serius dan konsisten. Pertama, mengembangkan breed lokal.

Kedua, mengintegrasikan sawit-sapi. Luas kebun sawit Indonesia mencapai 16 juta hektare. Dengan rasio tiap hektare kebun sawit bisa memuat 2 ekor sapi, potensi breeding farm mencapai 16 juta induk sapi betina dengan potensi 16 juta pedet atau anakan sapi. Jika separuh potensi dimanfaatkan: ada potensi 8 juta pedet. Ini potensi yang luar biasa.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : Bisnis Indonesia

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Jadwal Kereta Bandara YIA Xpress Rabu 24 April 2024, Tiket Rp50 Ribu

Jogja
| Rabu, 24 April 2024, 03:17 WIB

Advertisement

alt

Berikut Rangkaian Program Pilihan Keluarga Indonesia Paling di Hati, Hanya di MNCTV

Hiburan
| Selasa, 23 April 2024, 14:57 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement