Advertisement

OPINI: Industri Perlu Ilmu Sosial

Zacky Khairul Umam, Wakil Kepala Abdurrahman Wahid Center di Universitas Indonesia
Sabtu, 24 Juli 2021 - 06:37 WIB
Galih Eko Kurniawan
OPINI: Industri Perlu Ilmu Sosial Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Arsjad Rasjid, Kamis (1/7/2021). - Antara - Harianto.

Advertisement

Kepada seorang CEO (chief executive officer) sebuah perusahaan besar di Indonesia, cabang dari perusahaan Amerika, saya pernah bertanya, “Di antara karyawan anda, apakah ada lulusan antropologi, sosiologi, atau ilmu sosial dan humaniora lain?” Dia menjawab, “Tidak ada.”

Perusahaan ini bergerak di bidang energi, kesehatan, penerbangan, dan lainnya. Semua karyawan inti di dalamnya merupakan lulusan ilmu sains dan teknik. Kepada CEO ini, saya sempat secuil menjelaskan pentingnya merangkul lulusan yang berbeda itu. Bukankah hal ini sudah umum?

Advertisement

Dalam taraf tertentu, perekrutan alumni ilmu sosial-humaniora sudah ada. Tentu tidak absen sama sekali. Biasanya, kebanyakan masuk di bidang human resource development (HRD), sekretaris, atau sampingan lainnya. Perusahaan besar dan berskala multinasional pun demikian.

Selain itu, gaji karyawan inti seperti insinyur misalnya, jauh melebihi karyawan non-inti seperti di HRD. Selain ketimpangan penghasilan tersebut, yang lebih penting disorot ialah kekeliruan cara pandang. Ada yang bilang, contohnya, “Masih perlu disyukuri lulusan psikologi bisa bekerja di perusahaan kami sebagai tim rekrutmen.”

Sarjana non-teknik perlu sama-sama ditempatkan sejajar dengan sarjana sains dan teknik, khususnya di dalam perusahaan yang bergerak di sektor industri pertambangan, perhutanan, pertanian, perikanan, industri berat dan sebagainya.

Inklusi sarjana non-teknik ini perlu dilakukan sejak dari tingkatan terbawah, bukan hanya seorang tokoh tertentu—kebetulan berlatar belakang ilmu sosial—yang diangkat menjadi komisaris atau direktur.

Kesejajaran tersebut tentu saja tidak dilihat dari keharusan sebuah perusahaan untuk membagi buruh atau karyawannya secara seimbang antara lulusan teknik dan non-teknik sebagaimana ‘kewajiban’ untuk memenuhi kuota gender.

Perusahaan di sektor artificial intelligence dan e-commerce misalnya, memiliki karyawan dengan latar belakang teknik komputer dan bisnis jauh lebih banyak. Jadi, kesejajaran tersebut perlu dilihat sebagai sebuah ‘kewajiban’ untuk mengintegrasikan lingkup interdisipliner ke dalam kerja perusahaan, yakni dengan perekrutan sarjana ilmu sosial.

Mengintegrasikan sarjana non-teknik (dan juga non-bisnis) di sini berangkat dari sebuah kegelisahan akan kerja kapitalisme yang serakah. Berapa banyak industri nasional kita telah merusak lingkungan dan abai terhadap kemiskinan dan kemunduran daerah industrialnya?

Ini bukan berarti bahwa sarjana antropologi dan sosiologi yang bekerja di sebuah industri tertentu bisa mengelak dari ekonomi keserakahan. Namun, perangkat keilmuan non-teknik ini sangat berguna untuk menelusuri berbagai persoalan sosial-kultural di mana sebuah perusahaan bergerak.

Tujuan besarnya adalah agar perusahaan tertentu tidak semena-mena mengabaikan persoalan lingkungan dan permasalahan sosial yang lebih besar. Biaya penelitian diberikan, karena itu, tidak terpaku pada inti industrinya, melainkan juga melibatkan berbagai pakar sosial-politik-budaya untuk bersama-sama membangun agar sektor industri tertentu bisa bergerak secara etis.

Masalah terbesar di dalam banyak industri nasional kita ialah tidak adanya departemen penelitian interdisipliner. Apakah ada industri teknik tertentu yang mempekerjakan secara baik, bukan berdasarkan outsourcing dan bersifat prekariat, para sosiolog untuk menjadikan sektor ini lebih memberdayakan?

Dalam taraf tertentu, konsultan dari pakar ilmu sosial diberdayakan tapi hanya sementara saja dan hasilnya belum tentu dipakai. Berbeda jika para sarjana sosial ini diintegrasikan sebagai karyawan tetap. Hasilnya akan berbeda.

Dalam praktiknya di negara maju seperti di Eropa, para sarjana sosial-humaniora bisa menjadi bagian penting di dalam departemen riset dan pengembangan. Dalam level CEO, bahkan, ada beberapa contoh beken bagaimana seorang doktor bidang filsafat menjadi investor ternama dan mereka bukan berasal dari jurusan bisnis ataupun ekonomi.

Bill Miller, pendiri dan pimpinan Miller Value Partners di Amerika Serikat, dulu kuliah filsafat di Johns Hopkins University (JHU).

Atas kerja kerasnya selama ini, tidak heran jika Miller juga menyumbangkan dana wakaf atau endowment sebesar US$70 juta ke Departemen Filsafat di JHU, sumbangan terbesar untuk bidang filsafat.

Miller bukan hanya menjadi pengusaha sukses tapi juga mempraktikkan giving back to the community dengan sangat baik. Pelajaran Miller ini menjadi salah satu contoh menarik bahwa CEO di masa mendatang di negeri kita bisa berasal dari jurusan ilmu sosial dan humaniora.

Sebab, jika seseorang mendalami rumpun keilmuan ini dengan baik, dia bisa menjadi inovator dan perancang besar yang tidak dimiliki oleh seseorang dengan keilmuan yang sangat teknikal dan sempit.

Selain level CEO, perekrutan sarjana non-teknik bagaimanapun perlu dilakukan di masa mendatang untuk mengisi pos penting, khususnya bidang riset dan pengembangan agar industri dan inovasi teknologi di negeri ini melaju.

Di era puncak Habibie populer dengan istilah hi-tech hi-touch. Kira-kira berarti ‘maju teknologinya, hebat kemanusiaannya’. Dan itu semakin relevan saat ini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : Bisnis Indonesia

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Termasuk Jogja, BMKG Ingatkan Sebagian Besar Wilayah Indonesia Waspada Cuaca Ekstrem

Jogja
| Jum'at, 19 April 2024, 09:17 WIB

Advertisement

alt

Film Korea Selatan Terbaru, Jo Jung Suk Tampil sebagai Pilot Cantik

Hiburan
| Rabu, 17 April 2024, 23:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement