Advertisement

OPINI: Korporat Sosial dalam Revolusi 5.0

Bramantyo Djohanputro, Dosen Finance, Governance, Risk, and Compliance di PPM School of Management
Selasa, 11 Januari 2022 - 06:17 WIB
Maya Herawati
OPINI: Korporat Sosial dalam Revolusi 5.0 Suasana instalasi panel surya dari ketinggian di Masjid Istiqlal, Jakarta, Kamis (27/8/2020). Penggunaan pembangkit listrik tenaga surya ini sebagai upaya mendukung penggunaan energi yang ramah lingkungan, efektif dan efisien. Bisnis - Himawan L Nugraha

Advertisement

Apa yang disampaikan Ketua Umum Kadin Indonesia Arsjad Rasjid saat wawancara dengan politisi Akbar Faizal tentang perusahaan sosial atau korporat sosial atau social enterprises memang benar. Sudah menjadi isu penting. Chitvan Trivedi dan Daniel Stokol juga menulis artikel pada 2011 yang membandingkan social enterprises dan corporate enterprises.

Menurut mereka, berkembangnya korporat sosial merupakan solusi terhadap ketidakpuasan penyelesian masalah sosial, ekonomi, dan lingkungan. Pemerintah dituduh menghambat berbagai inisiatif dan birokrasi yang tidak responsif terhadap isu-isu tersebut. Mekanisme pasar juga dituding sebagai akar ketimpangan sosial ekonomi.

Advertisement

Trivedi dan Stokol juga mencatat bahwa globalisasi menurunkan peran pemerintah sebagai agen pembangunan. Kesadaran masyarakat untuk terlibat aktif dalam penanganan isu-isu sosial, lingkungan, ekonomi, juga semakin kuat, dengan apa yang disebut sebagai pembangunan partisipatif atau participatory development.

Kesadaran tersebut muncul serentak di semua lapisan masyarakat, termasuk angkata muda dan milenial. Semangat pembangunan partisipatif semakin kuat dengan berkembangnya internet, yang memudahkan komunikasi lintas negara tanpa batas, dan lintas generasi.

Antusiasme pembangunan partisipatif dengan mudah menyebar dan mengakar ke semua orang. Isu-isu ketimpangan ekonomi, sosial, masalah lingkungan, dengan cepat diketahui semua orang dan membangun kesadaran bersama. Termasuk juga kesadaran untuk berpartisipsi dalam penanganan Covid-19 dan berbagai dampaknya.

Kemauan untuk terjun dalam pembangunan partisipatif semakin mengkristal dengan berkembangnya dukungan berbagai pihak. Misalnya, Global Compact mengeluarkan 10 prinsip yang mencakup hak asasi, buruh, lingkungan, dan anti korupsi.

Juga dikeluarkannya 17 SDGs yang terdiri dari no poverty, zero hunger, good health, education, gender equality, clean water, clean energy, economic growth, industry and infrastructure, no inequality, sustainability, responsible consumption, climate action, life underwater, peace and justice, dan partnership.

Sejalan dengan itu, secara spesifik berkembang isu tentang green economy, blue economy, circular economy, dan renewable energy. Secara kelembagaan, korporat sosial memiliki keunikan yang merupakan perpaduan antara korporat bisnis dan yayasan.

Korporat sosial sebagai layaknya sebuah korporat yang berbisnis, bertujuan meningkatkan nilai perusahaan, mencari laba, bertumbuh dan langgeng, growth and sustain. Alhasil, sebuah korporat sosial wajib menerapkan kaidah-kaidah bisnis seperti persaingan dan perhatian kepada konsumen.

Berbagai instrumen bisnis digunakan seperti analisis SWOT, pengembangan strategi dengan matriks TOWS. Ada juga yang menggunakan Balanced Score Card dan Business Model Canvas.

Dan karena sebuah korporat, pemiliknya adalah para pemegang saham yang memiliki hak suara dengan organ utama yang terdiri dari rapat umum pemegang saham, direksi, dan dewan komisaris.

Perbedaan esensial antara korporat sosial dan korporat bisnis adalah dalam hal penggunaan laba. Secra ekstrem, seluruh laba bersih tidak boleh dibagikan dalam bentuk dividen tetapi harus direinvestasikan dan digunakan untuk menjalankan misi pembangunan partisipatif korporat bersangkutan.

Ada yang mengatakan bahwa sebagian laba bersih tahun berjalan bisa dibagikan berupa dividen tetapi dalam jumlah terbatas, selebihnya masuk ke dalam laba ditahan. Laba ditahan, retained earnings, tidak boleh dibagikan sebagai dividen tetapi harus digunakan untuk menjalankan misi pembangunan partisipatif.

Dalam hal pemanfaatan laba besih dan laba ditahan, yayasan jelas tidak boleh mendistribusikannya kepada siapa pun tetapi harus digunakan untuk mengembangkan kegiatan dalam rangka mencapai misinya.

Jadi kesamaan antara korporat sosial dan yayasan adalah dalam hal kewajiban penggunaan laba ditahan untuk pencapaian misi pembangunan partisipatif mereka. Tantangannya adalah bagaimana supaya semangat masyarakat tersebut bisa tersalurkan dengan optimal.

Peran pemerintah menjadi krusial, khususnya dalam hal legal formal melalui perundangan. Perundangan pertama yang perlu disusun adalah terkait apa dan bagaimana sebuah korporat sosial atau PT sosial berdiri, beroperasi, dan ditatakelolakan. Perlu ada undang-undang korporat sosial yang sejajar dengan undang-undang PT dan undang-undang yayasan.

Pengaturan terkait perkembangan revolusi sosial 5.0 juga perlu mendapat perhatian. Jarak manusia dan teknologi dipersempit, pertumbuhan ekonomi dengan menekankan aspek kemanusiaan dirasakan oleh semua orang.

Perkembangan teknologi dalam Society 5.0 menjadikan masyarakat yang inklusif, terbuka bagi semua orang untuk berpartisipasi. Kalau saja semangat pembangunan partisipatif dan Society 5.0 bisa segera mendapat dukungan infrastruktur dan regulasi, keinginan dalam SDGs makin mudah direalisasikan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : JIBI/Bisnis Indonesia

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Pertobatan Ekologis dan Persoalan Sampah Jadi Topik Peragaan Jalan Salib di Gereja Ini

Jogja
| Jum'at, 29 Maret 2024, 15:27 WIB

Advertisement

alt

Rela, Ungkapan Some Island tentang Kelam, Ikhlas dan Perpisahan

Hiburan
| Jum'at, 29 Maret 2024, 09:07 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement