Advertisement

OPINI: Kemandirian Farmasi Nasional

Muhammad Jasrif Teguh, Founder IDN-Pharmacare Institute
Senin, 17 Januari 2022 - 06:07 WIB
Maya Herawati
OPINI: Kemandirian Farmasi Nasional Aktivitas di salah satu Laboratorium yang ada di Kalimantan Tengah, Rabu (11/5). Bisnis - Nurul Hidayat

Advertisement

Isu kemandirian farmasi nasional kembali menjadi topik penting setelah Presiden Joko Widodo menegaskan lagi hal ini saat melakukan groundbreaking Rumah Sakit (RS) Internasional Bali pada 27 Desember lalu.

Sepanjang 2021 setidaknya terdapat tiga momen lain ketika Presiden menyampaikan hal yang sama, yaitu pada Sidang Tahunan 16 Agustus 2021, pertemuan dengan para direktur utama BUMN di Nusa Tenggara Timur pada 14 Oktober 2021, dan saat membuka Rakernas Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) 5 November.

Advertisement

Alasannya sama, yaitu tingkat ketergantungan impor bahan baku obat nasional masih tinggi. Kondisinya dilematis. Di satu sisi Indonesia memiliki kekayaan dan keberagaman hayati tetapi sekitar 95% bahan baku obat masih diimpor. Alhasil terjadi pemborosan devisa negara, mempertebal defisit neraca transaksi berjalan, dan pada akhirnya industri farmasi nasional tidak bisa tumbuh dengan baik.

Kondisi pandemi Covid-19 menunjukkan betapa rentannya ketahanan kesehatan nasional ketika ada gangguan rantai pasok bahan baku obat (BBO) akibat sejumlah pembatasan di berbagai negara. Menurut Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi dan Tekstil (IKFT) Kemenperin Muhammad Khayam, produksi bahan baku domestik masih sulit untuk dipacu karena sejumlah persoalan seperti kelayakan ekonomi yang rendah, sehingga menghambat investasi pada sektor ini.

Ada pula hambatan rantai nilai. Adapun di industri hilir produsen lokal sudah mampu menguasai pasar domestik hingga 90%. Impor industri farmasi juga mengalami peningkatan selama 2018–2020 sekitar 110,5% tetapi menurun secara volume pada periode tersebut (Kemenperin, 2021).

Bagi masyarakat, produk farmasi adalah kebutuhan yang penting untuk menopang kesehatan dan produktivitasnya, terlebih dalam kondisi pandemi. Ketersediaannya di berbagai sarana kesehatan di seluruh Indonesia dibutuhkan tanpa memandang kelompok kelas. Di samping keterjangkauan, kualitas juga menjadi penting.

Kemandirian farmasi nasional merupakan target realistis mengingat potensi yang dimiliki Indonesia. Setidaknya ada dua potensi besar. Pertama, potensi pasar dan pelaku industri farmasi. Seiring peningkatan ketahanan kesehatan nasional, kebutuhan terhadap bahan baku obat ikut meningkat.

Pasar farmasi Indonesia menyentuh angka Rp84,5 triliun pada 2020 (IQVIA, 2021) dan diproyeksikan meningkat menjadi Rp123,6 triliun pada tahun lalu. Saat ini terdapat sekitar 223 perusahaan perusahaan farmasi, terdiri dari empat BUMN, 195 industri swasta nasional, dan 24 perusahaan multinasional (Kemenperin, 2021). Namun baru 5 perusahaan farmasi lokal yang terjun ke industri BBO.

Kedua, potensi kekayaan alam yang sangat besar bagi BBO, mulai dari minyak bumi, sumber daya hayati dan keanekaragaman spesies. Kekayaan flora Indonesia mencakup 30.000 jenis tumbuhan dengan 9.600 di antaranya merupakan tumbuhan berkhasiat obat. Jika sumber alami itu bisa dimanfaatkan, impor BBO bisa ditekan.

Sayangnya, upaya memaksimalkan potensi tersebut dihadapkan pada beberapa tantangan yang butuh untuk dikaji dan dicarikan solusinya. Masalah pertama kepastian pasar. Meskipun telah ada Permenperin No. 16/2020, masih dibutuhkan kepastian fasilitas kesehatan (rumah sakit, apotek, klinik, puskesmas) terutama milik negara untuk wajib membeli produk farmasi dengan kandungan lokal yang telah ditentukan.

Kementerian Kesehatan perlu mengeluarkan regulasi terkait hal ini, sehingga dapat mendorong investasi industri BBO, lokal karena skala ekonominya menjadi lebih jelas.

Kedua, teknologi dan ekosistem pendukung. Setiap obat terdiri dari dua komponen utama yaitu active pharmaceutical ingredients (API) yang aktif secara kimia dan eksipien yang inert secara kimiawi. Masalahnya, API tidak diproduksi oleh satu reaksi bahan mentah saja tetapi melalui berbagai reaksi senyawa kimia. Dari bahan mentah hingga API, beberapa di antaranya menjalani lebih dari 10 jenis perantara selama prosesnya.

Mulai dari bahan kimia di laboratorium sampai pada produksi dengan reaktor besar untuk menghasilkan API dalam jumlah jumbo. Tingkat kemurniannya juga perlu dipastikan sebelum dijual ke produsen obat. Jika API tidak murni, obat tersebut tidak dapat memenuhi standar kualitas yang ketat. Oleh karena itu, penguasaan teknologi dan ekosistem industri pendukung untuk menghasilkan API yang berkualitas berperan sangat penting.

Ke depan, pengembangan ekosistem industri BBO yang melibatkan kolaborasi beragam industri dalam negeri dan riset pendidikan tinggi perlu dipacu. Harapannya, bisa menjadi penggerak kemandirian farmasi Indonesia, sehingga tidak lagi sangat tergantung pada impor.

Dalam jangka pendek, impor bisa pelan-pelan dikurangi dengan regulasi dan implementasi pemakaian BBO lokal. Tetapi perlu diingat akar masalahnya. Jika tidak, ketergantungan impor ini akan terus terjadi. Arahan Kepala Negara sudah jelas, yaitu jadikan kemandirian farmasi fokus utama.

Tentu target kemandirian farmasi ini tetap memperhatikan kolaborasi semua pihak dengan harapan ketahanan kesehatan nasional akan terwujud.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : JIBI/Bisnis Indonesia

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Jadwal Bus Damri dari Jogja-Bandara YIA, Bantul, Sleman dan Sekitarnya

Jogja
| Jum'at, 29 Maret 2024, 04:37 WIB

Advertisement

alt

Film Horor Gunakan Unsur Islam dalam Judul, MUI Sebut Simbol Agama Harus di Tempat yang Pas

Hiburan
| Selasa, 26 Maret 2024, 09:27 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement