Advertisement

OPINI: Ramadanomics & Lebaranomics

Y. Sri Susilo, Dosen Prodi Ekonomi Pembangunan Fakultas Bisnis dan Ekonomika Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Kamis, 05 Mei 2022 - 21:08 WIB
Arief Junianto
OPINI: Ramadanomics & Lebaranomics Y. Sri Susilo, Dosen Prodi Ekonomi Pembangunan Fakultas Bisnis &Ekonomika Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Advertisement

Ramadan penuh berkah. Pada Bulan Suci ini, umat Islam menjalani puasa selama satu bulan. Ibadah puasa yang dijalankan mayoritas masyarakat Indonesia membawa perilaku ekonomi yang unik (Ferzi, 2022).

Secara mikro terjadi perubahan dengan meningkatnya konsumsi, daya beli dan berbagai ekspektasi lainnya. Kondisi tersebut dapat mendorong roda ekonomi dan berkorelasi positif terhadap pertumbuhan ekonomi.

Advertisement

Tulisan pendek ini membahas kegiatan di bulan Ramadan yang mendorong peningkatan konsumsi yang dapat berujung pertumbuhan ekonomi (Ramadanomics). Selanjutnya membahas Lebaranomics yaitu kegiatan ekonomi menjelang Hari Raya Idulfitri atau Lebaran dan sesudahnya juga akhirnya dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui belanja konsumsi.

Konsumsi Meningkat
Berdasarkan pengamatan di lapangan dan informasi dari beberapa sumber, Secara umum, tingkat konsumsi masyarakat di bulan Ramadan cenderung meningkat dibandingkan bulan lainnya. Hasil studi Febriyanto et al., (2019) menunjukkan bahwa rata-rata konsumsi rumah tangga meningkat antara 10-30% hingga 100-150% selama bulan puasa (Seperti dikutip Munif, 2019).

Komponen penunjang peningkatan itu termasuk anggaran untuk belanja sahur dan berbuka puasa. Mengapa demikian? Banyak yang berpendapat umat Muslim berusaha memberikan suguhan yang terbaik dan lain dari pada biasanya untuk menu buka puasa dan sahur.

Hasil diskusi penulis dengan rekan-rekan ekonom ISEI Cabang Yogyakarta, setidaknya ada tiga faktor penyebab terjadinya kenaikan konsumsi di bulan Ramadan. Pertama, adanya kegiatan di bulan suci Ramadan yang mendasarkan pada faktor soliditas dan komoditas. Pada saat Ramadan ada sebagian warga yang mengundang anak yatim piatu, rekan kerja, kolega dan saudaranya untuk berbuka puasa bersama (bukber).

Kedua, adanya faktor daya tarik Idulfitri atau Lebaran, sehingga warga sudah mempersiapkan segala kebutuhan (pangan, sandang dan lainnya) untuk menyambut hari raya tersebut. Faktor ini juga terkait dengan Tunjangan Hari Raya (THR) yang diterima oleh masyarakat.

Selanjutnya faktor yang ketiga adalah bulan suci Ramadan ini adalah bulan yang memberi dorongan untuk lebih saling berbagi dan membangun kepedulian. Sebagai contoh, berbagai menu takjil dan memberikan santunan kepada masyarakat yang membutuhkan termasuk anak yatim piatu.

Meningkatnya konsumsi masyarakat saat Ramadan diperkuat juga dengan hasil survei SurveySensum (2022). Menurut survei tersebut, masyarakat menyiapkan rata-rata Rp6,9 juta untuk belanja Ramadan tahun ini (seperti dikutip Pahlevi, 2022).

Hal ini berarti meningkat sekitar 10% dibanding Ramadan 2020 saat pertama terjadi pandemi Covid-19. Untuk diketahui, anggaran belanja untuk Ramadan tahun 2019 tercatat sebesar Rp6,8 juta. Jumlahnya kemudian turun menjadi Rp6,3 juta pada 2020, dan semakin turun menjadi Rp6,2 juta pada 2021.

Sebagai informasi, SurveySensum tersebut dilakukan pada 25 Februari hingga 5 Maret 2022. Survei ini melibatkan 1.500 responden yang tersebar di wilayah Jabodetabek, Surabaya, Medan, dan Bandung.

Pola Konsumsi
Bagaimana dengan pola konsumsi masyarakat, khususnya pangan dan pakaian, pada saat Ramadan dan Idulfitri? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penulis mengacu pada hasil kajian BPS (2019) yang mendasarkan pada analisis Google Trends selama periode 2010-2018.

Kajian tersebut menjadikan komoditas pangan dan pakaian menjadi tiga kelompok. Pertama, komoditas yang paling banyak dicari selama Ramadan (kurma, blewah, kolang-kaling, sirup, es buah dan kolak). Kedua, komoditas yang banyak dicari selama Ramadan dan terkait Idulfitri (baju lebaran, baju kok, kaftan, mukena dan sarung). Ketiga, komoditas yang banyak dicari terkait Idulfitri (kue kering, nastar, kue lebaran, putri salju, ketupat sayur, opor ayam dan rendang).

Ketiga kelompok komoditas yang banyak dicari tersebut dapat dijadikan cermin pola konsumsi pada saat Ramadan dan Hari Raya Lebaran.

Di luar ketiga kelompok komoditas tersebut, catatan penulis penjualan produk elektronik (Kulkas, TV dan produk lainnya) serta sepeda motor juga mengalami peningkatan. Mengacu data sebelum pandemi untuk penjualan produk elektronik dapat meningkat sampai 50%, sedangkan penjualan sepeda motor meningkat sekitar 20-30%.

Momentum Ramadan dan Idulfitri tersebut juga dimanfaatkan oleh produsen dan atau penjual untuk meningkatkan promosi produknya, termasuk iklan, di berbagai media cetak, elektronik dan media sosial. Beberapa produk yang intensitas iklannya di media TV meningkat antara lain sirup, sarung, obat sakit maag, mi instan, minuman kesehatan dan obat kumur.

Pengamatan penulis, meningkatnya iklan tersebut juga terjadi melalui media sosial, seperti Instagram, Youtube, dan sebagainya.

Menurut survei Balitbang Kementerian Perhubungan (2022), jumlah pemudik 2022 diprediksi mencapai 85,5 juta orang, di mana 14,3 juta di antaranya berasal dari Jabodetabek. Jumlah prediksi keseluruhan itu meningkat dari tahun-tahun sebelumnya, bahkan saat ada larangan mudik akibat Covid-19 pada 2020 dan 2021.

Pada 2021 tercatat 1,5 juta orang pemudik, sementara tahun pertama Covid-19yaitu pada 2020 hanya ada 297 ribu orang pemudik. Sementara itu, sebelum adanya pandemi Covid-19, jumlah pemudik pada tahun 2019 yaitu sebanyak 18,3 juta orang.

Seluruh pemudik tersebut dipastikan akan membelanjakan atau mengeluarkan pendapatannya, termasuk THR, di wilayah tujuan mudik masing-masing. pengeluaran tersebut dapat diperkirakan untuk kebutuhan transportasi (pulang pergi/PP).

Belanja lain yang harus dikeluarkan adalah untuk keperluan konsumsi, penginapan, belanja oleh-oleh dan sebagainya. Masih ada pengeluaran lain adalah acara halalbihalal atau syawalan dan berwisata pasca-Lebaran. Seluruh belanja konsumsi di atas dipastikan dapat mendorong kegiatan ekonomi yang berujung pada pertumbuhan ekonomi (consumption led growth).

Sebagai penutup, kenaikan konsumsi pada Ramadan yang berarti terjadinya kenaikan permintaan dapat mendorong terjadinya inflasi. Untuk tahun ini, inflasi sudah cenderung meningkat sebelum Ramadan.

Salah satu penyebab kenaikan tersebut adalah meroketnya harga minyak goreng dan harga administered goods seperti Pertamax dan elpiji. Penulis yakin, Bank Indonesia bersama Pemerintah dapat mengendalikan inflasi tahun ini sesuai target kisaran 2%-4% (year on year/yoy), jika meleset angkanya masih berkisar sekitar 5%.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Mudik Lebaran, Gunungkidul Bakal Dijejali 154.000 Kendaraan

Gunungkidul
| Kamis, 28 Maret 2024, 18:07 WIB

Advertisement

alt

Film Horor Gunakan Unsur Islam dalam Judul, MUI Sebut Simbol Agama Harus di Tempat yang Pas

Hiburan
| Selasa, 26 Maret 2024, 09:27 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement