Advertisement

OPINI: Denda Mematikan Usaha Penangkapan Ikan

Hendra Sugandhi, Ketua Bidang Peternakan dan Perikanan Apindo
Selasa, 17 Mei 2022 - 06:07 WIB
Maya Herawati
OPINI: Denda Mematikan Usaha Penangkapan Ikan

Advertisement

Dunia usaha penangkapan ikan be­la­kang­­an ini sa­ngat terkejut de­ngan besar­nya denda yang dikenakan aki­bat pelanggaran wilayah pe­nge­lolaan perikanan (WPP), beredar luas di media so­sial billing pembayaran den­­da pelanggar yang di­se­tor­kan ke kas negara Rp 772 juta.

Keterkejutan berlanjut dengan denda pelanggaran yang nilainya lebih tinggi lagi mencapai Rp 3,99 miliar. KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan) memiliki alasan kuat yang mengacu pada dasar hukum PP No. 5/2021 pasal 320 poin 3 huruf g tentang pengenaan denda pelanggaran terhadap kegiatan penangkapan ikan di WPP-NRI dan laut lepas yang tidak memenuhi persyaratan Perizinan Berusaha.

Advertisement

Pengenaan denda yang fantastis tersebut menimbulkan polemik dan semakin menyurutkan niat berinvestasi di usaha penangkapan ikan. Kalimat “Tidak memenuhi persyaratan Perizinan Berusaha“ sangat sumir dan rawan disalahtafsirkan sepihak yang akan menimbulkan ketidakpastian hukum.

Pengenaan denda fantastis Rp 3,99 miliar kepada pemilik kapal dalam negeri karena transmitter VMS (Vessels Monitoring System) tidak aktif secara terus menerus terjadi pada saat posisi kapal berada di laut lepas, di luar WPP-NRI (Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia). Sementara beberapa negara lain memiliki kebijakan yang mendukung penuh nelayannya untuk menangkap ikan di laut lepas, bahkan coastguard-nya melindungi dan mengawal penangkapan ikan di area abu-abu.

Lebih ironis lagi Kapal Ikan Asing (KIA) yang melakukan pelanggaran melakukan penangkapan di ZEEI tanpa memiliki Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat yang seharusnya dikenakan denda administratif paling banyak Rp20 miliar ternyata tidak dapat diterapkan dendanya karena tidak sesuai peraturan UNCLOS (the United Nation Convention on the Law of the Sea), terkecuali sudah ada perjanjian bilateral.

Artinya dalam PP Nomor 5/2021 pasal 320 jelas ada ketidakadilan terhadap pelaku usaha dalam negeri karena pasal denda tidak dapat diberlakukan untuk kapal ikan asing yang melanggar hukum di ZEEI, sementara pelaku usaha dalam negeri dikenakan denda yang sangat tinggi yang membangkrutkan usaha penangkapan ikannya.

Seringkali pemilik kapal di ­atas 30GT disebut bukan ne­layan tapi pengusaha, seolah olah ada persepsi nelayan pe­ngusaha tidak perlu dilindung­i.

Prioritas kebijakan afirmasi kepada nelayan kecil tentu harus didukung, tetapi nelayan pengusaha menengah besar pun jangan dikesampingkan dan harus diberikan perlindungan investasinya karena terkait erat dengan kesejahteraan nakhoda dan ABK(anak buah kapal).

Pemilik kapal dengan nahkoda dan ABK umumnya mem­­­punyai kesepakatan ber­­bagi penghasilan sesuai de­­ngan hasil tangkapan yang di­­pe­­roleh.

Nakhoda kapal akan berusaha untuk memburu ikan untuk menghindari kerugian operasional, pada waktu tertentu jika hasil tangkapan sangat minim terpaksa memasuki wilayah yang ada ikannya di luar wilayah penangkapan yang diizinkan.

MEMILIKI EMPATI

KKP seharusnya lebih pe­ka dan memiliki empati da­lam merumuskan peraturan dan melakukan simulasi per­hitungan yang terperinci de­ngan merumuskan berbagai kemungkinan dampak mi­ti­gasi yang terburuk. Perlu di­ingatkan bahwa salah satu tu­gas utama KKP adalah me­ngayomi, melindungi dan men­sejahterakan nelayan ke­cil, menengah dan besar de­ngan mengedepankan pembi­na­an dan mencegah pelanggar­an.

Pelaku usaha penangkapan ikan belakangan ini dihadapkan pada cobaan berat berjuang menghadapi gelombang usaha yang penuh risiko. Mereka juga harus mengatasi melonjaknya pungutan hasil perikanan, denda pelanggaran yang mematikan, kenaikan harga solar industri dan perubahan iklim yang mempengaruhi kelayakan usaha penangkapan ikan.

Semangat Undang Undang Cipta Kerja untuk meningkatkan investasi dan menciptakan lapangan kerja ternodai oleh denda yang mematikan. PP Nomor 5 Tahun 2022 khususnya pasal 320 harus dikaji ulang, dengan lebih mengedepankan asas proporsionalitas.

Pelanggaran tentu saja tidak dibenarkan dan harus diberikan sanksi, kalimat yang sumir dan multitafsir harus diperjelas pelanggarannya lebih rinci dan besaran dendanya harus proporsional sesuai berat ringannya pelanggaran. Namun, yang terpenting besarnya denda jangan sampai mematikan usaha penangkapan ikan karena akan berdampak sangat luas terutama meningkatnya kriminalitas karena kehilangan lapangan kerja. Semoga badai cepat berlalu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : JIBI/Bisnis Indonesia

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Dukung Kelestarian Lingkungan, Pemda DIY Mulai Terapkan Program PBJ Berkelanjutan

Jogja
| Kamis, 28 Maret 2024, 16:17 WIB

Advertisement

alt

Film Horor Gunakan Unsur Islam dalam Judul, MUI Sebut Simbol Agama Harus di Tempat yang Pas

Hiburan
| Selasa, 26 Maret 2024, 09:27 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement