Advertisement

OPINI: Risalah Bisnis Ekologis

Harsono, Dosen Departemen Manajemen, Fakultas Bisnis dan Ekonomika, Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Kamis, 02 Juni 2022 - 06:07 WIB
Maya Herawati
OPINI: Risalah Bisnis Ekologis   Harsono, Dosen Departemen Manajemen, Fakultas Bisnis dan Ekonomika, Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Advertisement

Relasi manusia dan alam sudah terbentuk sejak manusia pertama ada di dunia. Manusia membutuhkan alam sebagai salah satu sarana untuk mencapai kehidupannya. Bagi manusia, alam menjadi penyedia kebutuhan. Saat manusia membutuhkan makanan dan minuman, alam dengan segala kelimpahan kekayaannya menyediakannya. Hasil dari itu semua tersedia bermacam bentuk makanan dan jenis minuman. Ketika manusia membutuhkan tempat tinggal, alam menyediakan bahan-bahan yang dibutuhkan. Dengan kata lain, alam menjadi pendukung manusia di dalam kehidupan ini.

Sebagai makhluk hidup jelas manusia memiliki jenjang yang lebih tinggi karena manusia dikaruniai akal budi. Akal budi memungkinkan manusia untuk membedakan mana yang baik dan buruk, pengambilan keputusan dan pemikirannya akan masa depan. Konsep inilah yang kemudian dibarengi dengan pendewaan manusia sebagai makhluk yang superior sehingga memunculkan pemikiran bahwa manusia adalah pusat dan makhluk lainnya adalah sarana manusia untuk mendapatkan kebahagiaannya (Robert Elliot, 1991). Inilah yang dikenal dengan anthroposentrime.

Advertisement

Penekanan anthroposentrisme yang menjadikan manusia sebagai pusat dari dunia ini ternyata menimbulkan banyak akibat; baik itu negatif maupun positif. Akibat negatif yang ditimbulkan adalah rusaknya relasi yang baik antara alam dan manusia sehingga menyebabkan krisis; terutama krisis lingkungan hidup.

Krisis ini kemudian menyadarkan manusia bahwa bagaimanapun manusia juga harus menaruh hormat terhadap alam ini. Pada perkembangannya, konsep ini dijawab dengan ajakan kepada manusia untuk menyadari bahwa manusia pun merupakan bagian dari alam semesta ini (William Chang, 2015). Inilah akibat positif yang ditimbulkan.

Krisis dan penatnya beban hidup serta kesadaran manusia sebagai bagian dari sistem alam semester ini memunculkan kerinduan akan situasi alam segar dan udara yang bersih. Maka, biasanya saat liburan menjadi kesempatan untuk menikmati indahnya alam dan segarnya udara di daerah pedesaan. Di tempat itulah, manusia kembali menemukan kesegaran baru dan healing akan hidupnya.

Tempat Wisata Ekologis

Ketika liburan tiba, Jogja sepertinya masih menjadi destinasi favorit bagi para wisatawan. Ribuan wisatawan dan pelbagai kendaraan bermotor dengan plat nomor bukan AB membanjiri kota ini. Padatnya jalan pun tak terelakkan.

Memang, tidak salah bila memilih Jogja menjadi destinasi wisata karena selain Yogyakarta mempunyai nilai historis dan dibangun dengan suatu filosofi apik, masyarakat Kota Jogja pun tak pernah lelah mengembangkan kotanya itu dengan berbagai kreativitas yang ada. Beberapa sudut kota yang dihiasi dengan pepohonan dan beberapa ornamen memukau serta ditambah lagi dengan sorot lampu yang eksotik tentunya menjadi nilai jual tersendiri bagi Jogja.

Salah satu bentuk kreativitas yang baru-baru ini mulai menjamur di Kota Jogja adalah munculnya tempat-tempat nongkrong yang menyatu dengan alam. Konsep ini berupa kafe atau angkringan yang dibuat di pinggir atau di tengah hamparan tanaman pagi hijau (atau juga menguning ketika musim panen hampir tiba). Dilengkapi dengan tempat parkir yang cukup memadai, tempat duduk dengan payungnya atau tempat duduk di dalam sangkar besar yang cukup untuk dua atau tiga orang, yang mungkin dapat dijadikan objek untuk swafoto, dan hidangan dengan pelbagai makanan dan minuman. Di beberapa tempat, destinasi wisata semacam ini dibumbui dengan persewaan sepeda, skuter dan VCT yang dapat dipakai untuk menikmati hamparan sawah sembari menghirup udara segar dan dapat pula menjadi ajang swafoto. Dari pengamatan penulis di beberapa daerah di sekitar Jogja, destinasi ini sangat ramai dan bahkan menjadi tempat para wisatawan untuk nongkrong, kumpul keluarga atau pula melepas penat sembari menikmati hari libur.

Rekreasi seperti inilah mungkin yang orang bilang sebagai back to nature; kembali kepada alam dan menimba kesegaran kembali darinya. Kiranya konsep ini adalah konsep yang cukup apik di tengah kepenatan hidup karena pandemi yang sedikit banyak masih mengitari hidup manusia dan juga, mungkin, tuntutan pekerjaan yang semakin banyak karena batas waktu kerja manusia sekarang menjadi abu-abu dengan adanya istilah Work from Home (WFH).

Seolah-olah jam kerja menjadi samar karena meski sudah malam pertemuan untuk membahas masalah pekerjaan pun bisa dilakukan secara daring.

Bisnis yang Ekologis

Pembicaraan mengenai ekologi tentunya juga bukan barang baru di dalam perbincangan dan –mungkin juga– pembicaraan mengenai konsep bisnis yang “hijau” juga sudah menjadi pembicaraan umum. Tetapi, tulisan ini dibuat sebagai sebuah bentuk apresiasi terhadap kesadaran manusia akan penghargaannya akan makhluk yang lain yang juga hidup di dunia ini.

Mungkin juga, fenomena lahirnya –menjamurnya (kalau boleh dikatakan demikian)– konsep bisnis yang dibangun di tengah alam ini merupakan sebuah realitas tanggapan terhadap kegamangan akan merosotnya nilai instrinsik alam dan makhluk lainnya di mata manusia.

Jawaban dari konsep tersebut, akhir-akhir ini mendapatkan wujudnya di dalam konsep bisnis yang mencoba menyandingkan alam sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan manusia.

Konsep bisnis ini memang –kalau diamati secara teliti– melulu demi kebahagiaan manusia. Manusia disuguhi alam pedesaan yang masih hijau nan subur yang dikawinkan dengan konsep modern tempat makan dan minum. Perpaduan ini menjadi suguhan yang istimewa terutama bagi mereka yang merindukan luasnya hamparan padi hijau ditambah dengan suasana sejuk hembusan angin pedesaan yang mungkin masih suci dari polusi.

Pola kerja yang bisa dilakukan secara WFH pun juga mendapatkan dukungannya tersendiri lewat konsep bisnis ini: bekerja sembari mencuci mata lewat nuansa hijau asli dari tanaman dan tiupan manja angin perdesaan.

Memang, manusia adalah makhluk yang lebih superior tetapi bagaimanapun manusia adalah bagian dari keseluruhan penghuni dunia ini. Relasi antara manusia dan makhluk lainnya perlu terus dikembangkan. Hal ini bukan hanya untuk generasi selanjutnya, tetapi lebih-lebih untuk manusia zaman sekarang yang hidup di sini dan kini. Kesadaran inilah yang kemudian membutuhkan “belas kasih” sebagai bentuk kesetiakawanan manusia terhadap makhluk lainnya (William Chang, 2015).

Maka, konsep bisnis Food and Beverage yang mengambil konsep ekologis dapat terus dikembangkan dan tentunya menjadi ikon dari perjumpaan manusia dan alam.

Wisata ekologis tentunya menjadi solusi dan jawaban tidak hanya terhadap krisis manusia, tetapi juga sebagai bentuk apresiasi manusia terhadap alam. Dengan konsep wisata ini pula relasi antara manusia dan alam bukan lagi merupakan relasi yang transaksional, melainkan partner manusia di dalam mengembangkan hidupnya. Oleh karena itu, perlu digali terus-menerus konsep-konsep bisnis yang seperti ini sehingga lebih mengapresiasi alam dan – tentunya– membangun manusia itu sendiri.

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Masa Jabatan Lurah Diperpanjang, Apdesi Bantul: Harus Dioptimalkan Untuk Peningkatan Kinerja Lurah

Bantul
| Jum'at, 29 Maret 2024, 13:57 WIB

Advertisement

alt

Rela, Ungkapan Some Island tentang Kelam, Ikhlas dan Perpisahan

Hiburan
| Jum'at, 29 Maret 2024, 09:07 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement