Advertisement

OPINI: Program Pengungkapan Sukarela: What's Next?

Nuritomo, Dosen Departemen Akuntansi, Fakultas Bisnis dan Ekonomika, Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Kamis, 30 Juni 2022 - 06:07 WIB
Maya Herawati
OPINI: Program Pengungkapan Sukarela: What's Next? Nuritomo, Dosen Departemen Akuntansi, Fakultas Bisnis dan Ekonomika, Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Advertisement

Program Pengungkapan Sukarela (PPS) akan berakhir pada jam 12.00 malam nanti. Sampai dengan 28 Juni 2022, jumlah peserta PPS telah mencapai 172.676 wajib pajak dengan jumlah harta yang diungkapkan secara sukarela sebesar Rp 424,87 triliun. Pemerintah juga telah menerima pajak penghasilan atas pengungkapan ini sebesar Rp43,18 triliun. Tentu jumlah ini masih akan bertambah lagi sampai dengan penutupan PPS ini pada 30 Juni 2022 pukul 12.00 malam ini.

Program Pengungkapan Sukarela telah menjadi bahasan yang hangat belakangan. Sebagai praktisi perpajakan, saya juga menerima banyak sekali pertanyaan terkait program ini. Hal ini tentu merupakan bukti keberhasilan pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melakukan sosialisasi program ini. Jutaan surat imbauan PPS dikirimkan kepada wajib pajak untuk dapat memanfaatkan kesempatan ini. Tak jarang dalam surat-surat imbauan yang dikirimkan oleh DJP, diinformasikan juga adanya ketidaksesuaian data antara SPT Tahunan wajib pajak dan data DJP. Surat-surat imbauan ini tampaknya memberikan dampak yang cukup besar. Wajib pajak menjadi sadar pentingnya melaksanakan kewajiban perpajakannya dengan benar.

Advertisement

Sesuai dengan aturan PPS, wajib pajak yang melakukan PPS maka SPT Pembetulan yang disampaikan untuk tahun pajak 2016 sd 2020 dianggap tidak disampaikan. Artinya, wajib pajak diminta untuk memilih: melakukan pembetulan atau PPS. Tentu ini bukan pilihan yang mudah, karena kedua pilihan ini memiliki konsekuensinya masing-masing. Bagi wajib pajak yang melakukan PPS, diberikan jaminan untuk tidak dilakukan pemeriksaan sejauh tidak ditemukan harta yang tidak sesuai dengan SPPH. Tetapi bagi wajib pajak yang melakukan pembetulan, maka kemungkinan pemeriksaan akan selalu terbuka. Nah, jika wajib pajak akan melakukan PPS tetapi selama ini SPT belum disampaikan secara benar, bisa jadi jumlah PPh Final PPS yang harus dibayarkan menjadi lebih besar lagi.

PPS juga membuka mata wajib pajak yang selama ini menganggap sistem administrasi perpajakan kita sama seperti jaman dahulu, padahal sistem administrasi perpajakan DJP saat ini sudah berkembang sangat maju. Teknologi informasi membantu DJP dalam membangun basis data yang kuat dalam perpajakan. Tidak mengherankan jika terdapat jutaan surat yang dikirimkan kepada wajib pajak, dan di antaranya juga menjelaskan data-data aset yang belum dilaporkan oleh wajib pajak. Beberapa wajib pajak terheran-heran bagaimana uang mereka, investasi mereka, aset tanah maupun bangunan, bahkan kendaraan mereka bisa diketahui oleh DJP. Wajib pajak seolah terbangun dari mimpi dan menjadi dasar bahwa sistem administrasi perpajakan saat ini sudah berubah jauh.

Sistem administrasi perpajakan saat ini sudah terkoneksi dengan banyak sekali database. Data-data perbankan secara otomatis dilaporkan kepada DJP, termasuk data KSEI (Kustodian Sentral Efek Indonesia), data perusahaan sekuritas, data SLIK (Sistem Layanan Informasi Keuangan OJK), data AHU, serta data transaksi lainnya.

Seluruh informasi itu akan membentuk suatu basis data yang kokoh untuk digunakan sebagai bahan konfirmasi kepada wajib pajak. Wajib pajak yang disuguhkan data ini tentu akan sulit mengelak dan perlu membuktikan keberadaan aset-aset tersebut.

 

Pelaporan Pajak

Wajib pajak harus sadar bahwa informasi berkaitan dengan aset saat ini mudah untuk diakses oleh DJP, sehingga pelaporan pajak dengan benar mutlak dibutuhkan di masa depan. Terlebih lagi pada tahun 2023 mendatang, pemerintah berencana menggunakan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), sehingga integrasi data kependudukan akan semakin cepat terjadi. Informasi yang tidak sinkron antara data DJP dan SPT tentu akan melahirkan SP2DK yang harus dijelaskan dan jawab oleh wajib pajak. Bagi yang tidak mampu memberikan jawaban yang memadai, tidak jarang timbul pemeriksaan. Tentu wajib pajak tidak berharap hal ini terjadi, karena selain dapat menghasilkan kurang bayar dan denda yang besar, pemeriksaan juga akan menghadirkan kerepotan baru bagi wajib pajak.

Masa depan perpajakan seluruh dunia akan mengarah pada digitalisasi dengan mengedepankan sistem teknologi informasi. Hari-hari sekarang juga sudah cukup terasa bahwa kita menerima banyak sekali surat dari DJP melalui saluran email yang terdaftar. Hal ini berarti bahwa semakin sempit ruang bagi wajib pajak untuk dapat mengelak untuk menunaikan kewajiban perpajakannya.

Maka sudah semestinya PPS ini harus mampu dimanfaatkan oleh wajib pajak untuk menjadi tonggak memperbaiki pemenuhan kewajiban perpajakannya di masa depan.

Terakhir, bagi wajib pajak yang belum memanfaatkan PPS ini tetapi memiliki aset yang belum dilaporkan maka patut untuk mempertimbangkan kesempatan ini. Mumpung masih ada waktu sampai tengah malam ini. Tarif 14% tentu adalah angka yang besar, tetapi sesuai dengan aturan bahwa jika diketahui terdapat aset yang belum dilaporkan dalam SPT di masa mendatang bukan tidak mungkin besarnya pajak yang harus dibayarkan bisa menjadi lebih besar sampai dengan 30% bahkan denda yang mencapai 200% jika penambahan aset tersebut tidak mampu kita pertanggungjawabkan.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : JIBI/Bisnis Indonesia

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Usulan Formasi PPPK-CPNS 2024 Disetujui Pusat, Pemkab Bantul: Kami Tunggu Kepastian Alokasinya

Bantul
| Jum'at, 29 Maret 2024, 16:07 WIB

Advertisement

alt

Rela, Ungkapan Some Island tentang Kelam, Ikhlas dan Perpisahan

Hiburan
| Jum'at, 29 Maret 2024, 09:07 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement