Advertisement

OPINI: Kolaborasi Dalam BI7DRR

I Made Satyaguna, Portfolio Strategic PT UOBKayhian Sekuritas
Senin, 19 September 2022 - 06:07 WIB
Maya Herawati
OPINI: Kolaborasi Dalam BI7DRR Karyawan melintas di dekat logo Bank Indonesia (BI) di Jakarta, Senin (25/2/2019). - Bisnis/Abdullah Azzam

Advertisement

Dalam per­kem­­bangan ekonomi global, cukup banyak issue tanpa batas yang dihadapi baik negara maju maupun berkembang. Tahun 2020, menurut penulis, dapat dikatakan sebagai periode perubahan cukup signifikan dari sudut pandang ekonomi, sosial-politik, budaya hingga keamanan yang dikaitkan dengan bentuk ketergantungan, kebijakan proteksionisme serta kemampuan berinovasi.

Menilik ragam issue yang terjadi sejak tahun tersebut, hampir seluruh negara secara merata menghadapi 5C yaitu Covid-19, Crypto, Climate, Conflict, dan CPI. Selain memiliki dampak serius bagi perkembangan ekonomi, juga mendorong terjadinya per­ubahan konsep pemikiran dan nilai-nilai sosial yang dapat memengaruhi kualitas kebijakan.

Advertisement

Ketidakseimbangan antara pasokan dan kebutuhan atas sumber daya seperti energi dan pangan sangat berpengaruh pada laju inflasi (CPI), secara tidak langsung juga berdampak bagi perbaikan dan pertumbuhan ekonomi dalam negeri. Salah satu kebijakan yang cukup menyita perhatian adalah keputusan bank sentral atas kenaikan 25 bps BI-7 days reverse repo rate (BI7DRR) yang dirasakan tidak sesuai dan lamban oleh pelaku pasar.

Benarkah asymmetric public governance memengaruhi bank sentral ketika memutuskan kenaikan suku bunga tersebut?

Ekonomi dunia sebelum terjadinya masalah 5C yang pertama yaitu Covid-19 sudah mengalami tren perlambatan yang disebabkan oleh konflik perdagangan, krisis shadow banking, serta pelemahan tingkat konsumsi global.

Dalam menghadapi pelemahan tren ekonomi tersebut, bank sentral negara utama melakukan beberapa upaya melalui kebijakan seperti stimulus ECB dengan implementasi TLTRO (Targeted Longer-Term Financing Operations), Fed dengan penurunan fund rate-nya maupun PBoC dengan kebijakan moneter secara terbatas.Pembatasan aktivitas ekonomi dalam negeri akibat pandemi Covid-19 sempat mendorong terjadinya deflasi akibat penurunan harga sejumlah bahan pangan.

Berkaca atas perbaikan dan perkembangan ekonomi di masa issue 5C yang masih berjalan, beberapa indikator lainnya seperti konsumsi rumah tangga meningkat 5,51% YoY, indeks manufaktur (PMI) masih kuat tercatat 51,7, neraca perdagangan tercatat surplus berlanjut US$3,69 miliar serta tingkat pengangguran terbuka yang tercatat 5.83% YoY, menunjukan fase perbaikan telah berjalan dengan baik.

Momentum untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi seperti ini sudah tepat, walaupun dibayangi oleh tekanan inflasi atas energi dan pangan ke depan. Kekhawatiran resesi akibat inflasi tinggi berkepanjangan yang notabene sudah dialami oleh negara utama dan global, hal ini menjadi pemicu dikeluarkannya kebijakan kenaikan suku bunga yang agresif.

Jerome Powell selaku ketua Fed dalam pidatonya pada simposium kebijakan ekonomi tahunan di Jackson Hole mengatakan “meredam inflasi tidaklah cepat dan mudah, diperlukan komitmen pada kebijakan yang tepat walaupun berujung penderitaan”.

Kondisi dalam negeri juga dapat mengalami hal yang sama jika faktor subsidi BBM dan LPG di kurangi atau extreme-nya dihilangkan, inflasi tentunya melesat tajam.

Dampak yang ditimbulkan sangatlah mahal karena dapat memicu issue keresahan sosial, keamanan dan bahkan mengganggu pertumbuhan ekonomi. Sudah sangat tepat bank sentral melakukan kolaborasi governansi dengan pemerintah dan masyarakat sebelum memutuskan kenaikan BI7DRR sebagai langkah win-win solution atas issue inflasi maupun perbaikan ekonomi yang terjadi.

Mengacu pada UU No. 3/2004, Bank Indonesia dikatakan sebagai lembaga negara independen yang terlepas dari pengaruh pemerintah maupun lembaga legislatif. Independensi bank sentral secara konstitusi bukan berarti menutup arus informasi yang diterima sebelum suatu kebijakan diputuskan.

Kolaborasi governansi (collaborative governance) justru sangat baik dilakukan oleh bank sentral dalam hal berkomunikasi dan bekerja sama dengan pemerintah, masyarakat dan sektor swasta untuk mencapai lebih dari yang dapat dicapai oleh satu sektor sendiri. Kebijakan BI7DRR yang melibatkan kerja sama pemerintah dan masyarakat termasuk konsep reformasi birokrasi yang akuntabel dan tidak melemahkan integritas maupun independensi bank sentral.

Hal ini justru menghindari keputusan yang didasari atas tidak tepat atau tidak berimbangnya informasi yang diterima (asymmetric public governance). Collaborative governance sangat penting menunjang pembangunan ekonomi berkelanjutan serta menguatkan pemerintahan yang efektif-efisien dalam mengeluarkan kebijakan maupun pelayanan yang baik.

Terkadang memang kita tidak sepenuhnya memahami hubungan sebab-akibat jangka panjang di banyak bidang governansi, tetapi perlu di­ingat bahwa daya saing dan kesuksesan adalah hasil kerja tim yang mewujudkan kontribusi dari berbagai penyedia sumber daya yang berbeda.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : JIBI/Bisnis Indonesia

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Stok Darah di DIY Menipis, PMI: Aktivitas Donor di Luar Belum Banyak

Jogja
| Sabtu, 20 April 2024, 20:37 WIB

Advertisement

alt

Film Dua Hati Biru Ajarkan Para Aktor Belajar Mengelola Rumah Tangga

Hiburan
| Sabtu, 20 April 2024, 18:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement