Advertisement

OPINI: Kepastian Hukum Kemitraan

Ningrum Natasya Sirait
Rabu, 21 September 2022 - 06:07 WIB
Maya Herawati
OPINI: Kepastian Hukum Kemitraan Warga berjalan di depan gedung Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kemayoran, Jakarta, Rabu (7/10/2020). - Antara

Advertisement

Kemitraan yang berfokus pada kerja sama terasa manfaatnya oleh berbagai pihak. Kemitraan dan persaingan antarpelaku usaha berada dalam pengaturan berbeda. Kenyataannya tidak semua kemitraan berjalan baik. Terdapat permasalahan yang bermuara dari para pemitra itu sendiri.

Kemitraan diatur dalam UU No. 20/2008 tentang UMKM mencakup kerja sama melibatkan pelaku UMKM dengan usaha besar dalam keterkaitan usaha, langsung maupun tidak langsung, atas dasar prinsip saling memerlukan, memercayai, memperkuat, dan menguntungkan. PP No. 44/1997 menyatakan kemitraan adalah pembinaan dan pengembangan usaha bersama dalam bentuk perjanjian kerja sama yang dilaksanakan dengan pola inti-plasma, subkontrak, waralaba, perdagangan umum, distribusi, dan keagenan; dan bentuk-bentuk kemitraan lain, seperti bagi hasil, kerja sama operasional, joint venture, dan outsourcing.

Advertisement

Kemitraan diawasi oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang bertugas mengawasi persaingan usaha berfokus pada larangan bagi usaha besar memiliki atau menguasai UMKM. PP No. 17/2013 menentukan pelaksanaan tugas KPPU dalam kemitraan diatur melalui Peraturan KPPU.

Sejak awal ada dilema pelaksanaan pengawasan kemitraan apakah benar dilaksanakan oleh KPPU yang didasarkan pada PP 17/2013? Keraguan ini berakhir ketika UU Cipta Kerja melalui PP 7/2021 tentang Kemudahan, Pelindungan, dan Pemberdayaan Koperasi Dan UMKM, mengatur bahwa KPPU dalam melakukan pengawasan evaluasi pelaksanaan kemitraan berkoordinasi bersama kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian terkait.

KPPU diberikan kewenangan mengaturnya dalam Peraturan KPPU. Pengenaan sanksi administratif dilakukan terhadap usaha besar atau menengah yang melakukan pelanggaran terhadap laporan timbulnya kerugian. KPPU kemudian melakukan pemeriksaan pendahuluan dan bila ada bukti awal dugaan pelanggaran, maka KPPU mengeluarkan peringatan tertulis kepada usaha untuk melakukan perbaikan atas dugaan pelanggaran.

Bila pelaku usaha tidak mematuhi peringatan tertulis sebanyak tiga kali berturut-turut dalam tenggang waktu yang ditetapkan, KPPU melanjutkan proses pada pemeriksaan lanjutan. Selanjutnya, KPPU berwenang menjatuhkan putusan berupa pengenaan sanksi administratif, termasuk memerintahkan pencabutan izin usaha melalui pejabat pemberi izin, yang wajib dilaksanakan dalam waktu 30 hari setelah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap.

Sejak awal, pendekatan pengawasan kemitraan yang ditawarkan adalah soft approach (pencegahan) dan bukan penegakan hukum. Alasannya karena hubungan mitra adalah hubungan kerja sama dan bukan persaingan antara pelaku usaha dengan pesaing. Dalam kurun waktu terakhir, terlihat KPPU proaktif dan mulai menyidangkan dugaan perkara pelanggaran perjanjian kemitraan. Perkara kemitraan ada yang didasarkan pada laporan maupun inisiatif. Hukum acaranya mengacu kepada Peraturan KPPU No. 4/2019 tentang Tata Cara Pengawasan dan Penanganan Perkara Kemitraan.

Hal menarik terjadi ketika dalam salah satu kasus kemitraan tentang pelanggaran pelaksanaan kemitraan pola inti-plasma di sektor peternakan ayam dalam pengembangan dan modernisasi kandang. Dalam perkara tersebut KPPU menjatuhkan denda sebesar Rp10 miliar. Pelaku usaha yang dijatuhi denda tidak menerima putusan KPPU dan berniat mengajukan keberatan. Harap dicatat bahwa upaya hukum keberatan yang tersedia saat ini berada dalam ranah perkara persaingan usaha yang diatur dengan UU Persaingan Usaha dan bukan perkara kemitraan yang diatur dalam UU UMKM. UU Cipta Kerja dan ditegaskan PP 44/2021 memindahkan kewenangan mengadili perkara keberatan dari pengadilan negeri ke pengadilan niaga.

Ketidakpastian muncul dalam kondisi ini. Keberatan terhadap putusan perkara kemitraan menjadi kompetensi mengadili di mana? UU UMKM tidak mengatur upaya keberatan terhadap putusan KPPU, tetapi dalam Peraturan KPPU No. 4/2019 menentukan putusannya bersifat final. Namun, dari kedudukan pihak yang dinyatakan bersalah dan adanya denda, dapat dipastikan akan ada upaya hukum dilakukan oleh pencari keadilan. Dapat dicatat juga bahwa PP No. 7/2021 tidak menyebutkan bahwa putusan KPPU dalam perkara kemitraan bersifat final atau berkekuatan hukum tetap (BHT).

Pengadilan manakah yang berkompeten dalam hal ini? Bila ada keberatan, apakah menjadi kompetensi pengadilan niaga yang notabene hanya mengatur kewenangan mengadili kepailitan, PKPU, HAKI, dan sekarang ditambahkan dengan persaingan usaha. Pengadilan niaga menjadi alternatif karena putusan KPPU diinstruksikan untuk diperiksa di pengadilan niaga. Pilihan lain adalah ke pengadilan negeri karena pada dasarnya pengadilan negeri untuk perkara perdata bisnis dapat saja menerima sesuai kompetensinya walau tidak diatur dalam PP 7/2021. Selain itu, opsi lainnya yang dimungkinkan adalah PTUN dengan pertimbangan bahwa putusan KPPU adalah putusan administratif dari suatu lembaga negara.

Ketiga opsi ini menjadi pintu masuk yang perlu segera mendapat perhatian Mahkamah Agung. Ketika UU belum mengaturnya, maka Mahkamah Agung dapat mengambil jalan cepat melalui alternatif pembentukan Peraturan Mahkamah Agung (Perma). Perma dapat memberikan jawaban dalam memastikan hukum acara agar ada kepastian hukum penegakan perkara Kemitraan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : JIBI/Bisnis Indonesia

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Top 7 News Harianjogja.com Sabtu 20 April 2024: Normalisasi Tanjakan Clongop hingga Kuota CPNS

Jogja
| Sabtu, 20 April 2024, 09:47 WIB

Advertisement

alt

Peringatan Hari Kartini 21 April: Youtube Rilis Dokumenter Perempuan Kreator

Hiburan
| Sabtu, 20 April 2024, 06:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement