Advertisement

OPINI: Mengendalikan Inflasi Pangan

Aris Rudianto
Selasa, 26 Maret 2024 - 06:37 WIB
Bhekti Suryani
OPINI:  Mengendalikan Inflasi Pangan Aris Rudianto - JIBI

Advertisement

Inflasi 2023 telah sukses mendarat dengan mulus di level 2,61%. Angka ini berada di rentang sasaran yang diharapkan yaitu 3+1%. Atraksi pengendalian inflasi telah ditampilkan secara apik oleh seluruh pihak khususnya TPIP dan TPID dalam melewati berbagai turbulensi ‘awan gelap’ 2023.

Namun perekonomian domestik belum sepenuhnya terbebas dari tekanan inflasi. Imported inflation masih menjadi momok berbahaya, terlebih tingkat ketergantungan terhadap impor domestik cukup tinggi. Walhasil, narasi abu-abu masih membayangi capaian inflasi di tahun ini. Apalagi target inflasi 2024 menjadi kian menantang yaitu 2,5+1%. Salah satu tantangan inflasi yang melibatkan hajat hidup orang banyak yaitu inflasi pangan.

Advertisement

Dimensinya sangat luas dan berpotensi menambah pundi-pundi kemiskinan. Hal ini mengingat pihak yang paling terdampak dari inflasi pangan adalah masyarakat golongan menengah ke bawah (Heady dan Martin, 2016).

Inflasi pangan juga memiliki keterkaitan yang cukup tinggi dengan dinamika global. Kita tentu masih ingat bagaimana kurva inflasi pangan melonjak drastis dari 0,56% (ytd) pada Januari 2022 menjadi 8,39% (ytd) pada Juli 2022. Hal ini disinyalir akibat dampak konflik Rusia-Ukraina yang lalu diikuti dengan pembatasan ekspor oleh sejumlah negara.

Jika ditelisik lebih jauh, pemantik tekanan inflasi pangan selalu bersumber dari dua hal yaitu faktor domestik dan global. Bicara faktor global, spektrum cakupannya sangat luas dan memerlukan anggaran besar untuk mitigasinya. Lain halnya dengan faktor domestik yang relatif lebih bisa dikelola lika-likunya, meskipun tidak bisa disebut mudah juga.

Salah satu kelompok komoditas makanan yang acap menjadi penyumbang inflasi pangan di Tanah Air yaitu hortikultura. Sebut saja cabai, tomat, kangkung, sawi hijau dan bayam. Meskipun rata-rata andil inflasinya masih di bawah beras, namun secara frekuensi cukup sering menghiasi papan lima besar komoditas penyumbang inflasi pangan. Data historis perdagangan buah dan sayur juga konsisten mengalami defisit perdagangan rata-rata Rp19 triliun per tahun dalam 11 tahun terakhir. Makanya tidak heran, gaung gerakan tanam cabai atau hortikultura di pekarangan selalu dikumandangkan oleh TPID di berbagai wilayah. Hanya, gagasan menanam hortikultura di pekarangan ini cenderung belum dilakukan secara terintegrasi dan acap bersifat temporer tanpa diikuti aspek keberlanjutan.

Reformasi Struktural
Gerakan menanam hortikultura di pekarangan sejatinya telah jamak diimplementasikan di berbagai wilayah. Kendala mendasar yang sering terjadi yaitu pihak penerimanya belum memiliki keahlian untuk menanam cabai/hortikultura di pekarangan. Untuk menambal celah tersebut, perlu upaya menjadikan gerakan menanam di pekarangan ini sebagai langkah reformasi struktural.

Gagasan yang diusulkan setidaknya mencakup tiga hal. Pertama, penguatan aspek regulasi berupa standardisasi petunjuk teknis secara end-to-end mulai dari penanaman, pemupukan, hingga distribusi tata niaga. Kedua, penguatan aspek public private partnership dengan bekerja sama dengan BUMD lokal atau distributor. Ketiga, penggunaan teknologi sederhana untuk budi daya secara hidroponik dan pembuatan pupuk hijau.

Dengan menerapkan skema tersebut, diharapkan dapat mengintervensi inflasi pangan dari sisi produksi secara lebih efektif dan efisien. Jika hal ini dijalankan, maka efek domino gerakan menanam di pekarangan akan melebar. Cakupan skemanya tidak hanya memberikan bantuan benih dan sosialisasi tentang cara penanaman, tetapi lebih komprehensif mencakup pengaturan mekanisme distribusi dan integrasi ke sistem rantai niaga yang telah ada sebelumnya.

Dengan demikian diharapkan pasokan komoditas hortikultura bisa lebih stabil dan tidak terlalu bergantung pada faktor cuaca. Hal ini mengingat volatilitas harga komoditas hortikultura seringkali dipengaruhi oleh faktor cuaca.

Dukungan pemerintah mutlak diperlukan dalam mendukung reformasi struktural terkait gerakan menanam di pekarangan tersebut. Misalnya melalui pemberian dana insentif daerah (DID) kepada kabupaten/kota yang paling banyak memproduksi hortikultura di pekarangan selama tiga kali periode panen beruntun. Perbankan juga bisa turut mendorong misalnya dengan menjadikan lahan hortikultura di pekarangan sebagai bagian dari credit scoring. Selain itu, peran elemen pemerintah terkecil dari masyarakat seperti Ketua RT/RW dan PKK perlu lebih dilembagakan sebagai ambasador.

Dari sisi demand, para pelaku di bidang makanan olahan juga perlu didorong untuk terlibat dalam rantai niaga dari hasil gerakan menanam di pekarangan tersebut. Hal ini senapas dengan langkah yang ditempuh oleh Singapore Food Agency (SFA) dalam mengimplementasikan “Strategi 30 by 30” menggenjot ketahanan pangan melalui konsep urban farming.

Sederhananya, Negeri Singa tersebut berambisi memproduksi 30% kebutuhan pangannya secara lokal pada 2030. Kondisi ini lantaran tingkat ketergantungan yang mencapai 90% terhadap impor bahan pangan (SFA, 2019). Upaya meredam inflasi pangan secara regional, bukan hanya agregat, menjadi cita-cita yang juga fundamental untuk diwujudkan. Melalui reformasi struktural gerakan menanam di pekarangan secara serentak, diharapkan dapat menjadi antidot untuk mengurangi isu ketimpangan inflasi nasional. 

Aris Rudianto
Analis di Kantor Perwakilan Bank Indonesia Balikpapan

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : JIBI/Bisnis Indonesia

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Joko Pinurbo Sempat Menitipkan Pesan Ini lewat Harianjogja.com Dua Tahun yang lalu

Jogja
| Sabtu, 27 April 2024, 14:27 WIB

Advertisement

alt

Giliran Jogja! Event Seru Supermusic Superstar Intimate Session Janji Hadirkan Morfem

Hiburan
| Jum'at, 26 April 2024, 17:07 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement